Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Bulan madu antara Pemerintah Indonesia dan konsorsium LG dalam mega proyek baterai kendaraan listrik berakhir setelah hampir lima tahun tanpa kejelasan. Perusahaan asal Korea Selatan itu mundur dari konsorsium proyek senilai US$9,8 miliar dengan alasan ‘kondisi pasar dan ‘lingkungan investasi’. 

Pemerintah Indonesia menanggapi mundurnya LG dengan santai. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia bahkan menyebut pemerintah sendiri yang menyudahi kolaborasi dengan LG setelah negosiasi yang berlarut-larut tidak kunjung menemui titik terang. Bahlil menyebut proyek ini tetap akan berjalan dengan menggandeng investor baru. 

“(LG) telah digantikan oleh mitra strategis dari Cina, yaitu Huayou, bersama BUMN kita," ujar Bahlil seperti dikutip Antara, Rabu (23/4).

Zhejiang Huayou Cobalt Ltd. yang disebut Bahlil merupakan perusahaan manufaktur kobalt, nikel dan lithium asal Cina. Huayou menambang tembaga dan kobalt dari Republik Demokratik Kongo serta nikel dan lithium di Indonesia. Material ini kemudian diproses menjadi katoda dan lithium cobalt oxide yang banyak digunakan di industri kendaraan listrik di empat fasilitas perusahaan di Chengdu, Guangxi, Tianjin, dan Quzhou. 

Menteri Investasi/Kepala BKPM Rosan Roeslani bahkan menyebut Huayou berencana menambah investasi hingga US$ 20 miliar atau Rp 335 triliun. Dia mengatakan rencana ini akan menambah jumlah investasi Huayou di Indonesia yang saat ini sudah mencapai US$ 8,8 miliar. 

Rosan menyebut tambahan investasi senilai US$ 20 miliar ini dibedakan dalam dua jenis, yakni proyek Indonesia Grand Package ekosistem kendaraan listrik (EV), menggantikan posisi LG Energy Solution dan satu lagi untuk proyek baru yang segera diinvestasikan di Indonesia. 

“Termasuk untuk pengembangan klaster industri, industrial park seperti yang di Morowali, seperti yang di Weda Bay. Nah, ini rencananya berlokasi di Pomalaa, Sulawesi Tenggara,” jelas Rosan. 

Terkait dengan nasib LG, Rosan menyebut perusahaan asal Korea Selatan itu tetap akan meneruskan investasi senilai US$1,7 miliar atau setara dengan Rp 28,5 triliun di satu bagian dari proyek ekosistem baterai kendaraan listrik. Ini merupakan ekspansi atau perluasan dari investasi sebelumnya yang realisasinya sudah mencapai US$ 1,1 miliar, sehingga dengan ekspansi tersebut nilai investasi LG dalam proyek ini mencapai US$ 2,8 miliar. 

“Kami ada pembicaraan bahwa mereka akan memperluas investasi senilai US$ 1,7 miliar. Joint venture mengenai baterai dan ekspansinya akan dilakukan segera,” kata Rosan saat ditemui di kantornya, Selasa (29/4).

Dominasi Cina

Meskipun sudah digadang-gadang akan menggantikan peran LG, hingga saat ini Huayou belum memberikan pernyataan resmi soal keterlibatannya di proyek baterai. Apalagi selama ini Huayou lebih dikenal sebagai perusahaan tambang, bukan manufaktur baterai. 

“Bisnis Huayou sebetulnya bukan di pabrik baterai, tetapi lebih mengembangkan materialnya,” ujar Managing Director Energy Shift Institute Putra Adhiguna, kepada Katadata. 

Putra menyebut Huayou bukan padanan ideal untuk menggantikan LG. Data 2024 menunjukkan perusahaan asal Korea Selatan itu menempati posisi 3 dalam produksi baterai dunia, hanya kalah dari CATL dan BYD. Perusahaan Cina mendominasi dalam daftar 10 besar produsen baterai kendaraan listrik. Namun, tidak ada nama Zhejiang Huayou dalam daftar tersebut.

“LG itu padanannya CATL atau Panasonic,” kata Putra.

Meski demikian, diversifikasi bisnis merupakan hal yang lumrah bagi perusahaan Cina. Putra menyebut meski saat ini Huayou belum memiliki fasilitas pabrik baterai, tidak menutup kemungkinan perusahaan akan mulai merambah lini bisnis tersebut. Kendati demikian, perkembangan terkini terkait perang dagang dan kondisi bisnis baterai akan membuat proyek ini kian menantang.

Dalam hal baterai kendaraan listrik, perusahaan-perusahaan Asia terutama dari Cina, Jepang, dan Korea Selatan memang menguasai pasar. Raksasa manufaktur seperti CATL, BYD, dan LG mengalahkan para kompetitornya dari Eropa dan Amerika. Salah satu produsen utama baterai kendaraan listrik dari Swedia, Northvolt bahkan mengajukan kebangkrutan pada Maret 2025 setelah kalah bersaing dengan perusahaan-perusahaan Asia.

Seperti dikutip dari The Financial Times, Northvolt digadang-gadang menjadi jagoan Eropa untuk menantang dominasi Cina dan Korea Selatan. Perusahaan yang didirikan pada 2015 ini berhasil mengumpulkan investasi hingga US$15 miliar dan disebut sebagai salah satu start up terbaik Eropa dalam 10 tahun terakhir. 

Kegagalan Northvolt kini menjadi tanda bahaya bagi perusahaan baterai lain seperti Verkor asal Perancis dan PowerCo dari Jerman yang sedang berjuang melawan dominasi Cina. “Para investor kini menuntut perusahaan untuk membuktikan bahwa mereka bukan Northvolt selanjutnya,” kata salah seorang analis kepada the Financial Times. 

Salah satu faktor kegagalan Northvolt, menurut analis kepada the Financial Times’ adalah ambisi perusahaan untuk menciptakan rantai pasok baterai kendaraan listrik termasuk manufaktur katoda dan recycling. Ini membuat Northvolt harus membenamkan banyak investasi sehingga membuat perusahaan sangat rentan. 

“Northvolt punya kemewahan mengakses modal besar. Mungkin ini yang menyebabkan kejatuhannya,” kata salah seorang bankir kepada The Financial Times. 

Kompetisi di sektor baterai kendaraan listrik memang kian ketat. Hingga akhir 2023, setidaknya terdapat 230 pabrik baterai berskala besar yang beroperasi di seluruh dunia. Adapun di 2030, jumlahnya diperkirakan mencapai 400 pabrik. Cina kini menguasai sekitar 70% dari produksi baterai kendaraan listrik global.

“Ekspansi produksi baterai global lebih cepat dari permintaan,” kata Putra Adhiguna. 

Ekspansi masif produksi baterai global ini membuat posisi Indonesia kian sulit, terutama dalam hal meyakinkan investor. LG juga bukan satu-satunya perusahaan yang membatalkan investasinya di Indonesia. Perusahaan asal Perancis, Eramet dan BASF asal Jerman juga dikabarkan menunda investasinya senilai US$2,6 miliar atau sekitar Rp42,72 triliun. 

Perusahaan Jerman lainnya, PowerCo, juga sempat dikabarkan akan membangun pabriknya di Indonesia. Namun, perkembangan terbaru justru menunjukkan sebaliknya. Di negara asalnya, PowerCo bahkan merevisi rencana investasinya. Alih-alih membangun dua pabrik di Salzgitter, anak usaha Volkswagen ini dikabarkan hanya akan membangun satu unit saja.

Trend baterai LFP

Saat booming nikel mulai merambah ke seluruh dunia, posisi Indonesia berada di atas angin. Indonesia merupakan produsen nomor satu dunia yang menguasai setengah dari pangsa pasar dunia. Pemerintah pun mendorong hilirisasi nikel untuk menempatkan Indonesia di panggung utama industri kendaraan listrik dunia. 

Pada 2010-an, Indonesia melarang ekspor bijih nikel mentah untuk mendorong hilirisasi, dan memaksa banyak perusahaan membangun smelter di dalam negeri. Hingga saat ini, setidaknya terdapat 40 smelter yang sudah beroperasi. Dalam hal hilirisasi, Indonesia berhasil mengolah produk turunan nikel yang memberikan nilai tambah. 

“Sepertiga ekspor produk turunan nikel diperuntukkan bagi industri besi dan baja, bukan baterai kendaraan listrik,” kata Putra. 

Putra menyebut produksi nikel dunia didorong oleh adopsi kendaraan listrik global, yang melonjak hingga merebut 16% pangsa pasar penjualan mobil. Namun, kemunculan baterai alternatif seperti lithium ferro-phosphate (LFP) telah mengubah lanskap industri kendaraan listrik global. Putra menduga, perubahan ini menjadi salah satu alasan mengapa LG memutuskan mundur dari konsorsium.

“Tadinya kan baterai berbahan nikel ini untuk diekspor. Tetapi saat ini di Asia saja sudah beralih menggunakan LFP,” katanya. 

Seperti namanya, baterai LFP menggunakan bahan dasar besi dan fosfat sebagai material katoda. Ini membuat baterai jenis ini tidak membutuhkan nikel sama sekali. Dosen Teknik Elektro Universitas Airlangga, Agus Mukhlisin menyebut baterai LFP memiliki sejumlah keunggulan menarik.

“Besi dan fosfat dalam LFP lebih melimpah dan lebih mudah didaur ulang,” katanya. 

Kekhawatiran soal nasib cadangan melimpah nikel Indonesia di tengah tren adopsi baterai LFP ini memang bukan hal baru. Di masa pemilu, Thomas Lembong yang berada di belakang Anies Baswedan menyinggung soal tren ini. Kala itu, Gibran Rakabuming yang berjanji akan meneruskan program hilirisasi nikel menyebut Lembong sebagai anti-nikel. 

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia bahkan sempat membantah bahwa LFP kian populer. “Bohong itu kalau industri kendaraan listrik meninggalkan nikel,” katanya pada Januari 2024. 

Kini, perkembangan terbaru justru menunjukkan adopsi baterai LFP kian populer. Data International Energy Agency (IEA) menunjukkan LFP menguasai 17% pangsa pasar baterai pada 2020, tetapi diprediksi bakal mencapai 50% dalam beberapa tahun ke depan. LFP juga sudah diadopsi oleh sejumlah pabrikan otomotif ternama seperti Wuling dan BYD, yang kini sudah beroperasi di Indonesia. 

Senior Analyst S&P Global Mobility Srikant Jayanthan menyebut salah satu keunggulan LFP adalah harganya yang relatif murah. Sel bateri LFP misalnya, lebih murah 20% dibandingkan baterai berbahan nikel. 

“Harga rata-rata sel baterai LFP pada 2024 hanya sekitar US$60/kWh,” katanya.

Saat ini, Cina nyaris memonopoli produksi baterai LFP global. Namun, sejumlah laporan menyebut pabrik baterai LFP akan terus dibangun. CATL misalnya, menekan kesepakatan dengan Stellantis untuk merealisasikan pabrik baterai LFP di Zaragoza, Spanyol dengan nilai investasi hingga €4.1 miliar. Selain itu, LG juga dikabarkan berencana membangun pabrik LFP di Eropa. 

Selain produksi LFP yang kian melimpah, teknologinya juga semakin canggih. Pada Maret 2025, BYD mengumumkan teknologi baterai terbarunya bisa menempuh jarak 400 kilometer hanya dengan pengisian daya selama lima menit. Ini akan menjadi rekor terbaru mengalahkan teknologi super cepat milik Tesla yang mampu menempuh jarak 270 km dengan pengisian daya 15 menit. 

Teknologi pengisian daya super cepat akan berperan penting dalam adopsi EV dan persaingan baterai LFP versus nikel. Selama ini, tantangannya adalah menjaga ketahanan baterai saat diberikan arus tegangan tinggi dalam teknologi pengisian daya. Semakin besar dayanya, semakin cepat baterai terisi, tetapi menimbulkan risiko baterai akan terbakar. Teknologi anyar BYD mengurangi risiko baterai terbakar meskipun disuplai dengan daya listrik tinggi. 

Pada akhirnya, kepergian LG dari ekosistem baterai Indonesia bukan hanya persoalan investasi semata. “Ini saatnya kita berefleksi dan menyesuaikan ambisi hilirisasi nikel,” katanya. 

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Mela Syaharani

Cek juga data ini