PLTU Ombilin dan Ilusi Emisi Net Zero


Di Desa Sijantang Koto, Kecamatan Talawi, Kota Sawahlunto (Sumatera Barat), PLTU Ombilin telah lama menjadi ancaman bagi warga sekitar. Sejak unit pertama dibangun pada 1996, dampak pencemaran telah melukai lingkungan dan kesehatan penduduk. Ini tak bisa dibantah. Jarak rumah penduduk hanya dipisahkan jalan ke area PLTU. Bahkan ada rumah yang berbatasan langsung dengan tembok PLTU.
Saat ini, kepulan asap hitam dari cerobong PLTU Ombilin sudah tak lagi tampak. Namun, bukan berarti udara bersih. Debu putih halus masih menyelimuti motor yang terparkir lebih dari satu jam di dekat pagar pembangkit. Tak sulit menebak: inilah jejak dari limbah Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) yang ditiup angin, lalu menyusup ke rumah, ke bak mandi, bahkan ke paru-paru warga.
Fly ash, residu hasil pembakaran batu bara berupa abu halus yang terbawa ke udara lewat gas buang cerobong. Residu ini mengandung partikel-partikel kecil, termasuk logam berat seperti arsenik, merkuri, hingga silika. Sedangkan bottom ash, abu lebih kasar yang jatuh dan mengendap di dasar tungku pembakaran. Kedua jenis limbah ini, bila tak dikelola dengan standar keselamatan tinggi, menjadi musuh tak terlihat di lingkungan padat pemukiman.
Di Nagari Sijantang Koto, FABA bukan sekadar istilah teknis. Ia hadir sebagai debu di lantai rumah dan loteng, masuk ke sumur dan kamar mandi, serta menempel di kulit warga. Bersin dan gatal sudah menjadi makanan sehari-hari. Kehadiran limbah ini di ruang hidup warga menjadi ancaman langsung terhadap kesehatan komunitas, terutama dalam jangka panjang.
Pada 2024, LBH Padang pernah melakukan uji laboratorium atas sampel paparan abu terbang (fly ash) di rumah warga yang menunjukkan sekitar 40% hingga 60% abu berasal dari bahan sisa pembakaran batu bara. Hasil uji total konsentrasi FABA juga menemukan kandungan boron yang melebihi standar pada sampel abu.
Paparan boron pada tingkat yang tinggi dapat memicu toksisitas perkembangan, seperti ukuran janin yang berkurang, kematian prenatal, anomali pada sistem saraf pusat, iritasi mata, gangguan kardiovaskular, sistem kekebalan tubuh terganggu, dan peradangan usus. Hasil pengujian air tanah yang juga dilakukan LBH Padang menunjukkan kontaminasi mangan pada dua sumur warga dekat titik penumpukan FABA PLTU Ombilin. Kontaminasi itu berkisar 29 sampai dengan 100 kali lipat dari standar air minum layak yang ditetapkan dalam Permenkes Nomor 2 tahun 2023.
Berbagai temuan ini semestinya cukup menjadi dasar intervensi cepat dari negara dan penegakan hukum lingkungan yang tegas. KLHK memang pernah mengeluarkan sanksi administratif pada 2018 atas kontaminasi FABA pada lingkungan. Sanksi itu memberikan waktu 180 hari bagi PLTU untuk memperbaiki izin lingkungan, menyelesaikan limbah FABA—yang pada saat itu termasuk kategori limbah B3, memperbaiki cerobong, dan memulihkan lingkungan.
Namun, bukti pelaksanaan sanksi itu tidak ada. Karena seperti yang dituturkan oleh Prof Andri Gunawan Wibisana—Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia—yang menjadi saksi ahli LBH dalam persidangan di PTUN, sanksi KLHK “penuh ketidakpastian, rancu, dan multitafsir”. Tak ada pengawasan ketat, tak ada transparansi, dan saat warga meminta bukti dilakukannya sanksi administratif—Komisi Informasi Publik menolak membuka dokumen Rencana Pemulihan Fungsi Lingkungan Hidup (RPFLH).
Padahal dampak dari pencemaran PLTU yang berada di tengah pemukiman penduduk sudah jelas. Ini terlihat dari dua kali hasil pemeriksaan kesehatan pada siswa SD Negeri 19 Sijantang Koto. Sekolah ini berjarak hanya 200 meter dari PLTU.
Pada pemeriksaan kesehatan pertama (Desember 2016 hingga Januari 2017) yang dilakukan terhadap lebih dari 50 siswa kelas III dan IV, ditemukan fakta bahwa lebih dari 76% dari anak-anak mengalami gangguan fungsi paru-paru, termasuk bronkitis kronis dan tuberkulosis (TB) paru. Temuan ini bahkan memperlihatkan korelasi langsung antara jarak rumah ke PLTU dan tingkat kerusakan paru, terutama bagi anak-anak yang beraktivitas tanpa masker.
Pada Desember 2017, pemeriksaan kesehatan kedua dilakukan pada 53 siswa SDN 19 Sijantang Koto. Hasilnya tak kalah mencemaskan: 66% anak mengalami gangguan paru-paru seperti bronkitis kronis dan TB. Bahkan pemeriksaan fungsi paru menunjukkan penurunan pada 33 siswa.
Ironisnya, ketika warga mengalami keluhan nyata dari hari ke hari, pihak PLTU menyatakan tak ada satupun pekerja mereka yang menderita penyakit paru-paru akibat emisi. Padahal, data dari Puskesmas Talawi menunjukkan bahwa ISPA masuk tiga besar penyakit paling umum di kawasan itu sejak 2009. Data BPS pada 2011–2022 mencatat adanya 53.704 kasus ISPA di Kecamatan Talawi.
Kenyataan ini tidak hanya sebuah statistik, tapi representasi nyeri yang sebenarnya: napas anak-anak menjadi taruhan dari keberlanjutan PLTU tua yang terus dipelihara.
Gugatan LBH Padang ke PTUN Jakarta pada Januari 2025 agar KLHK mencabut izin lingkungan PLTU Ombilin tidak diterima. Keputusan tersebut menyiratkan hakim abai akan fakta adanya pencemaran limbah beracun yang mengganggu kesehatan masyarakat selama puluhan tahun. Berapa banyak lagi bukti yang dibutuhkan agar negara bertindak tegas?
Ketika fungsi negara hanya menjadi simbol dan bukan pelindung, frustrasi warga pun tak terbendung—rezim hukum bagai bisu di tengah penderitaan anak-anak dengan paru-paru penuh jelaga.
Situasi ini bertentangan dengan ambisi iklim Indonesia yang tercermin dalam Nationally Determined Contribution (NDC). Indonesia melalui Enhanced NDC sejak 2022 menyatakan siap menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 31,89% secara mandiri, atau hingga 43,20% dengan dukungan internasional pada 2030.
Dalam COP 30 tahun ini di Brasil, Indonesia akan mengumumkan target penurunan emisi yang baru dalam Second NDC (SNDC). Dokumen ini selayaknya mencerminkan intensi negara menurunkan emisi sektor energi, terutama batu bara, agar sesuai dengan target penurunan emisi global.
Dalam dokumen itu, Indonesia memproyeksikan puncak emisi pada 2030–2035 dan net-zero dini sebelum 2060. Tren ini perlu didukung dengan realitas lapangan dengan pengurangan penggunaan batu bara dan pensiun dini PLTU.
Namun, di saat yang sama, kami meragukan ambisi tersebut karena tak ada rencana pensiun PLTU tua. Ambisi SNDC bisa menjadi “kertas kosong” jika PLTU seperti Ombilin yang sudah beroperasi sekitar 30 tahun dibiarkan tetap aktif.
Ironisnya lagi, dokumen-dokumen perencanaan seperti Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) dan SNDC sering kali tidak mencantumkan secara terbuka berapa lama usia operasional PLTU hingga titik balik modalnya tercapai, atau kapan tepatnya pembangkit-pembangkit itu akan dihentikan.
Informasi ini, ketika diminta publik, masuk kategori dikecualikan dengan alasan kerahasiaan bisnis. Padahal, bagaimana publik bisa mengawasi komitmen transisi energi bila informasi dasar seperti ini saja tak bisa diakses?
Presiden Prabowo Subianto mengatakan Indonesia akan menghentikan semua PLTU batubara dalam 15 tahun dan net-zero sebelum 2050. Juga disusun Just Energy Transition Partnership (JETP), skema dukungan G7 sebesar US$20 miliar untuk transisi, dan PLN dilaporkan sedang merancang fase pensiun PLTU melalui pembiayaan ini, namun dana yang cair baru sebagian kecil dari janji.
Untuk kasus PLTU Ombilin, transisi tersebut masih terasa jauh. Program JETP misalnya diarahkan ke PLTU Cirebon-1, bukan Ombilin. Sementara Ombilin terus melanggar: emisi melebihi baku mutu berkali-kali (Februari 2019, Juni 2019, Nov 2019, Nov 2022, Mei & Juli 2023) dan penumpukan abu B3 sejak 2017.
Jika pemerintah benar-benar ingin menjaga konsistensi antara target SNDC dan aksi nyata di lapangan, maka PLTU Ombilin mesti dipensiunkan segera—untuk menghindari sinyal pencitraan palsu.
Secara teknis, PLTU dapat beroperasi antara 30–40 tahun, tetapi operasionalnya menjadi tidak efisien, mahal, dan rentan kecelakaan lingkungan. Banyak studi, termasuk di Indonesia, mengusulkan pensiun dini pada usia 20–30 tahun agar mengurangi risiko kesehatan dan biaya eksternalitas tinggi. Ombilin sudah memasuki rentang tersebut: usia sekitar 29 tahun.
Dalam banyak studi, keberlanjutan operasi PLTU tua bukan hanya tidak efisien secara teknis, tetapi juga membahayakan publik. Membiarkan cerobong dan limbah B3 PLTU ini tetap aktif artinya abai terhadap hak hidup bersih dan sehat warga—terutama anak-anak yang paru-parunya sedang sekarat.
Second NDC di COP30 akan menjadi panggung penentu: apakah Indonesia akan mengakui bahwa pensiun PLTU tua adalah bagian dari solusi nyata? Ataukah tetap menambah rentetan janji kosong?
SNDC sejauh ini baru mengandalkan strategi konversi bahan bakar, energi bersih, efisiensi, dan pengurangan industri. Namun jika pensiun dini PLTU tidak masuk dalam roadmap energi dan jadwal implementasi, maka target 43,2% tetap akan jauh dari kenyataan. CCS dan pelepasan emisi pada PLTU tua seperti Ombilin masih tanda tanya besar.
Dengan begitu banyaknya angka-angka dampak kesehatan, apakah pantas negara masih mempertahankan PLTU tua ini? Bukan hanya demi emisi, tapi demi hak asasi hidup bersih dan sehat generasi mendatang. Menutup Ombilin adalah tindakan pro-lingkungan dan pro-kemanusiaan.
Ada beberapa rekomendasi dari kami, yang seharusnya mudah dilakukan pemerintah:
Pertama, PLTU Ombilin dipensiunkan secara resmi sebelum berusia 30 tahun pada 2026. Kedua, penerbitan roadmap pensiun dini PLTU tua yang disertai timeline dan finansial, dimasukkan dalam SNDC dan strategi transisi JETP. Ketiga, dana JETP diarahkan sebagian untuk Community Transition, bukan hanya investasi infrastruktur; warga terdampak mesti diberi kompensasi dan alternatif ekonomi. Keempat, KLH wajib membuka akses data emisi dan pemulihan (SSPLT dan lainnya) ke publik via layanan transparan dan platform daring. Kelima, penegakan hukum administratif diperkuat: denda, pencabutan izin, dan dukungan pihak ketiga untuk pemulihan B3. Keenam, percepatan energi terbarukan di Sumbar dengan dukungan PLN dan skema kaji lapangan
Ombilin adalah studi kasus lengkap di mana data kesehatan (ISPA tinggi, kondisi paru anak-anak), hukum lingkungan (sanksi dan gugatan PTUN), dan komitmen global (Second NDC) saling bertaut. Jika komitmen SNDC hanya berhenti sebagai dokumen diplomatik tanpa eksekusi di wilayah pinggir, maka Indonesia hanya menjual cerita kosong di atas panggung COP30.
Menutup PLTU Ombilin bukan sekadar definisi teknis, tetapi definisi moral: bahwa hidup bersih dan masa depan anak-anak lebih berharga daripada prolongasi umur pembangkit tua. Ujung dari semua ini kembali ke hal yang paling mendasar: keberanian negara menempatkan rakyat di atas kepentingan industri energi fosil. Hanya dengan langkah konkret seperti ini, Indonesia bisa membuktikan bahwa SNDC bukan sekadar ambisi, tapi janji yang akan ditepati.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.