Revisi UU Kehutanan, Ujian Komitmen pada Alam dan Rakyat


Wacana revisi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan kembali menggema. Meski langkah formalnya belum menunjukkan capaian berarti, sinyal politik ini tak bisa dipandang sebelah mata. Mengingat, hutan alam di Indonesia pada 2020 hanya tersisa sekitar 89,7 juta hektare.
Sebab itu, revisi regulasi kehutanan bukan sekadar urusan teknis, melainkan cermin dari arah politik hukum pembangunan yang tengah ditempuh negara di sektor kehutanan. Menjadi pertanyaan, apakah revisi ini akan menjadi tonggak baru untuk melindungi hutan alam yang tersisa, menyelesaikan soal tata batas hutan yang masih bergejolak, atau justru membuka jalan bagi babak baru ekstraktivisme atas nama pembangunan?
Dalam lanskap hukum yang terus bergolak, perumusan rancangan perubahan undang-undang kehutanan kini berdiri di persimpangan paradigma, yakni antara paradigma hukum dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 atau paradigma hukum dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja juncto Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023.
Kita paham bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 bukan sekadar keputusan hukum. Ia adalah tonggak sejarah yang mengguncang fondasi tata kelola kehutanan, memberi tempat terhormat bagi hak-hak masyarakat adat dalam konstitusi hukum Indonesia.
Namun, semangat perubahan itu hanya bergema di atas kertas. Lebih dari satu dekade, Putusan Mahkamah Konstitusi justru terjebak sebagai simbol semu, dipajang indah dalam etalase hukum, tetapi tak pernah benar-benar diwujudkan dalam realitas kebijakan. Pascaputusan tersebut, Undang-Undang Kehutanan Tahun 1999 tak kunjung direvisi secara substansial. Amanat konstitusional Mahkamah Konstitusi hanya dijawab dengan regulasi turunan undang-undang yang setengah hati, sekadar formalitas yang tak menyentuh akar ketimpangan.
Contoh, pengaturan hutan adat hingga kini masih dilakukan secara setengah-setengah dan terjebak dalam kerumitan birokrasi. Prosesnya melibatkan berbagai lembaga, mulai dari pemerintah daerah (melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat), Kementerian Kehutanan (dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 9 Tahun 2021 tentang Perhutanan Sosial), hingga Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (melalui Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Administrasi Pertanahan dan Pendaftaran Tanah Hak Ulayat).
Dengan kerumitan birokrasi yang ada, wajar jika muncul keraguan terhadap kinerja Satuan Tugas Percepatan Penetapan Status Hutan Adat yang baru dibentuk oleh Menteri Kehutanan lewat Surat Keputusan Nomor 144 Tahun 2025 pada 27 Maret 2025. Satuan tugas ini, secara tidak langsung, juga harus berpacu dengan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan yang lebih dahulu dibentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan pada 21 Januari 2025.
Amanat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 belum sepenuhnya dijalankan, namun arah kebijakan kehutanan di Indonesia sudah digeser untuk mendukung kepentingan industri berbasis kayu. Perubahan ini menguat dalam rezim Undang-Undang Cipta Kerja, yang melahirkan sekitar 52 aturan turunan, termasuk 13 regulasi yang secara khusus mengatur sektor kehutanan. Sayangnya, regulasi teknis kehutanan yang muncul di bawah payung Cipta Kerja belum menyentuh akar persoalan utama, yakni soal kepastian hukum tata batas kawasan hutan negara. Menurut laporan Forest Watch Indonesia, hingga tahun 2025 terdapat tumpang tindih kawasan hutan seluas 5,5 juta hektare.
Alih-alih menyelesaikan masalah tersebut, kebijakan dalam rezim Cipta Kerja justru membuka jalan selebar-lebarnya bagi ekspansi industri kehutanan. Hutan dipandang semata sebagai aset ekonomi yang harus dieksploitasi secara maksimal, bukan sebagai ruang hidup yang harus dijaga keberlanjutannya. Dari sinilah lahir skema perizinan multiusaha kehutanan, satu izin yang mencakup berbagai jenis kegiatan usaha kehutanan. Skema ini diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan. Penyederhanaan izin di sektor kehutanan ini sebenarnya lebih menguntungkan pihak swasta. Sebaliknya, negara justru dirugikan.
Secara ekonomi, negara kehilangan potensi penerimaan yang seharusnya bisa diperoleh dari izin-izin yang sebelumnya menjadi sumber Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Dengan satu izin yang mencakup berbagai aktivitas usaha, berbagai bentuk kontribusi keuangan dari sektor kehutanan justru dihapuskan. Situasi ini membuat potensi pemasukan negara menyusut secara signifikan, padahal sektor ini memiliki nilai ekonomi yang potensial.
Dari sisi pengawasan, skema multiusaha kehutanan justru mempersulit kontrol di lapangan. Pemerintah mengalami kesulitan memantau kegiatan usaha yang dijalankan secara bersamaan dalam satu area dengan satu izin. Penelitian dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) tahun 2024 menemukan bahwa pengawasan terhadap skema ini menghadapi dua tantangan.
Pertama, regulasi pengawasan di tingkat teknis, khususnya di level direktur jenderal yang memiliki kewenangan, belum diatur secara rinci sehingga membuka celah bagi perusahaan untuk melanggar aturan tanpa menghadapi konsekuensi hukum yang jelas. Kedua, lembaga pengawas seperti Unit Pelaksana Teknis Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi masih menghadapi keterbatasan sumber daya manusia, infrastruktur, dan pemanfaatan teknologi, yang pada akhirnya melemahkan efektivitas pengawasan di lapangan.
Selain itu, aturan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja juga membuka peluang bagi praktik penambangan terbuka di kawasan hutan lindung. Padahal, aktivitas ini berisiko menurunkan permukaan tanah, mengubah fungsi utama hutan, hingga merusak lapisan air tanah (akuifer). Namun, berdasarkan Pasal 92 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021, penambangan terbuka tetap diperbolehkan selama perusahaan menyatakan komitmen dalam dokumen lingkungan untuk meminimalkan dampaknya.
Ketentuan ini jelas bertolak belakang dengan Pasal 38 Undang-Undang Kehutanan Tahun 1999. Meski demikian, regulasi ini tetap berlaku karena merupakan bagian dari implementasi Undang-Undang Cipta Kerja.
Lebih lanjut, Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 menunjukkan bahwa pembukaan kawasan hutan bisa dilakukan dengan berbagai cara, selama tujuannya untuk mendukung proyek strategis nasional, pemulihan ekonomi, atau ketahanan pangan dan energi. Artinya, pemerintah cukup menetapkan sebagian wilayah hutan sebagai bagian dari agenda-agenda tersebut.
Contohnya, suatu kawasan hutan bisa dijadikan proyek strategis nasional seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2021. Atau, bisa juga dialihfungsikan menjadi hutan energi untuk mendukung transisi energi di sektor ketenagalistrikan, sebagaimana tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022. Konsekuensinya, apapun status hutannya—baik hutan lindung, konservasi, maupun jenis lainnya—semuanya bisa ditebang jika sudah ditetapkan untuk kepentingan tersebut.
Politik hukum regulasi ini hadir sebagai pendukung proyek co-firing biomassa yang sudah masuk dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034 milik Perusahaan Listrik Negara. Secara teori, jika co-firing biomassa difokuskan pada pemanfaatan limbah pertanian, limbah industri, atau sampah rumah tangga, tentu tidak akan menimbulkan banyak polemik.
Namun yang menjadi soal, dalam RUPTL 2025, pemerintah justru menekankan penggunaan biomassa yang bersumber dari kawasan hutan yang dikategorikan sebagai “hutan energi”. Dalam RUPTL tersebut juga disebut luas hutan energi yang harus tersedia setidaknya mencapai 27 juta hektar, semata-mata demi mengejar target pasokan biomassa sebesar 10,2 juta ton per tahun. Setali dengan kebijakan co-firing biomassa, Kementerian Kehutanan bahkan telah memasang target pembukaan lahan baru hingga 20 juta hektare untuk tujuan memenuhi kebutuhan tersebut.
Karena itu, penyusunan Rancangan Undang-Undang Kehutanan yang baru perlu diawasi ketat agar arah politik hukumnya tidak terus-menerus berpihak pada kepentingan industrialisasi berbasis ekstraksi sumber daya hutan. Justru, undang-undang ini seharusnya difokuskan untuk melindungi sisa hutan alam yang tersisa dan menyelesaikan persoalan laten berupa tumpang tindih batas antara hutan negara, hutan hak, dan hutan ulayat milik masyarakat adat.
Selama ini, tumpang tindih tersebut telah menjadi pemicu utama konflik agraria di sektor kehutanan, sekaligus memperparah ketimpangan dalam tata kelola hutan di Indonesia. Inilah masalah-masalah mendasar yang semestinya dijadikan alasan utama untuk merevisi Undang-Undang Kehutanan, bukan justru menguatkan lagi rezim penguasaan hutan yang eksploitatif.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.