Deepfake: Ketika Identitas Jadi Komoditas Teknologi

Dylan Aldianza Ramadhan
Oleh Dylan Aldianza Ramadhan
26 Juli 2025, 07:05
Dylan Aldianza Ramadhan
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Di zaman ketika realitas bisa direka ulang dan kepercayaan bisa dibajak dalam hitungan klik, wajah manusia kini bukan lagi sekadar representasi diri. Ia telah menjadi komoditas. Deepfake, teknologi berbasis kecerdasan buatan (AI) yang mampu mereplikasi wajah, suara, dan ekspresi manusia dengan presisi mengerikan, menjelma menjadi pedang bermata dua. Di tangan para kreator, deepfake menjanjikan hiburan futuristik dan efisiensi produksi. Namun, di tangan yang salah, ia menjadi senjata paling halus untuk mencuri, menipu, dan menghancurkan kredibilitas seseorang.

Tak perlu lagi studio besar atau tim efek visual. Hanya dengan potongan video dan data digital yang tersebar bebas di media sosial, siapa pun bisa menciptakan versi digital Anda—tanpa izin, tanpa ampun. Inilah titik di mana istilah “wajah paten AI” mulai menggema: praktik mengkomersialisasikan identitas digital seseorang, baik untuk kepentingan hiburan maupun kejahatan. Identitas manusia bukan lagi milik pribadi. Ia sedang dijajakan di pasar algoritma.

Memang, peluang ekonominya luar biasa. Tokoh sejarah bisa “dihidupkan” kembali untuk iklan produk, selebritas virtual bisa berinteraksi tanpa harus hadir secara fisik, bahkan influencer AI, entitas fiktif yang dirancang untuk menjual dan memengaruhi telah merebut panggung dunia maya. Bagi perusahaan, ini efisien dan tak terbantahkan. Namun di balik segala kecanggihan itu, bayang-bayang bahaya makin pekat.

Laporan DTrust (2025) mencatat, teknologi deepfake kini menjadi alat utama dalam penipuan keuangan bernilai miliaran. Salah satu kasus mencengangkan terjadi di Hong Kong, ketika seorang karyawan ditipu mentransfer US$25 juta (sekitar Rp392,97 miliar) kepada sosok yang ia yakini sebagai atasannya padahal itu hanyalah rekayasa video berbasis AI. Di Prancis, wajah aktor Brad Pitt dipakai untuk memikat seorang perempuan dalam modus asmara palsu, yang berujung pada kerugian US$800 ribu. Ini bukan sekadar pencurian uang. Ini pencurian identitas dalam bentuk paling brutal dan sistematis.

Pertanyaannya, siapa pemilik sejati dari wajah digital kita? Jika identitas kita bisa direplikasi, dijual, bahkan dimanipulasi, apakah kita masih berdaulat atas diri sendiri? Dunia hukum kini menghadapi krisis definisi. Identitas, yang dulunya bersifat biologis dan privat, kini telah berubah menjadi kumpulan data yang bisa ditransfer, dikloning, dan dimonetisasi. Hak atas citra diri (right to one’s own image) yang sebelumnya cukup jelas di ranah fisik, kini terombang-ambing di lautan digital.

Ironisnya, sistem hukum Indonesia belum siap menghadapi kenyataan ini. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) hanya menyentuh permukaan, mengatur manipulasi data elektronik di Pasal 32 ayat (1), namun tak menyebut konten sintetis dari AI. UU Perlindungan Data Pribadi (UU No. 27/2022) juga terbatas pada data yang secara eksplisit dikumpulkan, bukan visual atau suara yang dibentuk ulang oleh mesin.

UU Hak Cipta (UU No 28/2014) lebih ketinggalan zaman lagi, karena hanya mengakui karya manusia sebagai objek perlindungan, bukan hasil kerja AI. UU Paten (UU No 13/2016) pun belum menyentuh ranah identitas sebagai kekayaan tak berwujud. Bahkan KUHP baru melalui Pasal 433 hanya mampu menjerat pencemaran nama baik, tak sanggup menjerat pencurian identitas yang kini berlangsung dalam bentuk deepfake. Singkatnya, wajah kita bisa dipakai siapa pun, tanpa kita punya dasar hukum kuat untuk menuntut.

Sementara itu, ancaman sosial dan politik akibat deepfake sudah menunggu di tikungan. Bayangkan video palsu seorang kandidat politik menyebar jelang pemilu, atau CEO sebuah perusahaan terlihat “mengakui” penipuan dalam video yang sepenuhnya palsu, pasar bisa anjlok, reputasi hancur, dan publik termakan disinformasi. 

Di ranah privat, deepfake pornografi kian brutal. Wajah perempuan, termasuk publik figur, ditempel ke tubuh tanpa izin, lalu disebarluaskan sebagai “konten dewasa”. Ini adalah kekerasan digital yang mengguncang martabat dan keamanan perempuan secara sistematis. Serangan face swap secara global dilaporkan meningkat hingga 295% hanya dalam paruh kedua 2022 (iProov, t.th.). Ini adalah gelombang tsunami yang hanya akan membesar jika tak segera ditanggulangi.

Melihat kekacauan yang terjadi, beberapa negara mulai mengambil sikap tegas. Denmark, misalnya, mengusulkan revisi UU Hak Cipta yang revolusioner: memberi warga hak eksklusif atas wajah dan suara mereka sendiri. Menteri Kebudayaan Jakob Engel-Schmidt secara gamblang menyatakan bahwa “setiap warga negara berhak atas tubuh, suara, dan fitur wajah mereka sendiri.” RUU tersebut tak hanya melindungi seniman, tapi semua individu, dari eksploitasi digital tanpa izin. Denmark bahkan mendorong pendekatan ini menjadi standar Uni Eropa.

Indonesia perlu menyalakan alarm. Kita tak bisa lagi menambal undang-undang lama untuk menjawab masalah baru. Kita butuh kerangka hukum baru regulasi yang tidak hanya melindungi, tapi juga memberdayakan. Identitas digital adalah bagian dari kedaulatan pribadi. Negara harus hadir bukan sekadar sebagai pengawas, tapi sebagai pelindung hak dasar warga negara di ruang digital.

Kementerian Riset dan Teknologi (atau badan penggantinya) bisa memainkan peran vital di sini. Berdasarkan Peraturan Menteri Ristek No. 2 Tahun 2014, lembaga ini punya mandat menilai aset tak berwujud hasil riset dan inovasi. Mandat ini harus diperluas agar mencakup identitas digital hasil replikasi AI. Bahkan, sudah saatnya dibentuk badan khusus yang mengatur etika dan tata kelola AI, bukan untuk menghambat inovasi, tapi memastikan inovasi tidak berubah menjadi perampasan.

Ini adalah momen menentukan. Jika kita tetap diam, wajah kita akan menjadi milik siapa pun yang lebih dulu menyalinnya. Suara kita bisa digunakan untuk membenarkan narasi yang tak pernah kita ucapkan. Identitas bukan lagi soal siapa kita, tapi siapa yang lebih dulu mengunggahnya ke server.

Teknologi deepfake telah membuka kotak pandora. Kini saatnya negara dan masyarakat memutuskan: apakah kita akan membiarkan wajah kita dipatenkan oleh mesin, atau kita akan bangkit mempertahankan kedaulatan identitas di tengah badai algoritma. Ini bukan semata pertarungan teknologi. Ini adalah pertaruhan eksistensial atas makna menjadi manusia di era digital.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Dylan Aldianza Ramadhan
Dylan Aldianza Ramadhan
Mahasiswa S2 Jurusan Hukum Bisnis UGM

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...