Hilirisasi Bukan Solusi untuk Segala Persoalan


Dalam beberapa tahun terakhir, kata “hilirisasi” menjadi jargon utama pembangunan nasional. Pemerintah menggencarkan industrialisasi berbasis sumber daya alam sebagai strategi untuk meningkatkan nilai tambah dan memperkuat kemandirian ekonomi. Strategi ini berhasil mencuri perhatian, khususnya di sektor pertambangan seperti nikel. Namun, ketika pendekatan serupa mulai diterapkan secara seragam ke sektor sumber daya hayati mulai dari hasil hutan, pertanian, herbal, hingga kelautan, pertanyaan krusial pun muncul: apakah hilirisasi bisa menjadi solusi bagi semua komoditas di Indonesia?
Indonesia menempati peringkat kedua sebagai negara dengan kekayaan megabiodiversitas tertinggi di dunia. Indonesia memiliki 21 tipe ekosistem dan 75 vegetasi berbeda dengan lebih dari 30.000 spesies tanaman. Dari hutan hujan Kalimantan, lautan tropis di Raja Ampat, hingga pegunungan endemik Papua, Indonesia menyimpan sumber daya hayati yang melimpah yang tidak hanya penting bagi ketahanan ekologi, tetapi juga menyimpan potensi besar untuk transformasi ekonomi.
Namun, potensi ini belum sepenuhnya mendukung transformasi ekonomi berbasis nilai tambah. Sebagian besar sumber daya hayati Indonesia masih diekspor dalam bentuk bahan mentah atau setengah jadi, seperti minyak atsiri, rumput laut kering, hasil hutan bukan kayu (HHBK), dan simplisia herbal. Bahan baku ini selanjutnya diolah, dikemas, dan dijual kembali sebagai produk dengan harga berlipat ganda menggunakan label negara lain. Indonesia pun tetap terjebak dalam posisi sebagai penyedia pasokan murah, tanpa kendali atas teknologi, merek, maupun pasar. Bahkan, dalam tata kelola rantai nilai global, produk Indonesia masih banyak yang tertinggal secara kualitas, daya saing, dan diferensiasi.
Hilirisasi Penting, Tapi Tak Cukup
Di tengah upaya mengurangi ketergantungan ekspor bahan mentah, hilirisasi memang menjadi langkah penting dalam meningkatkan nilai tambah domestik. Di sektor tambang, hilirisasi telah menunjukkan dampak ekonomi langsung melalui pertumbuhan investasi smelter, peningkatan ekspor produk logam, dan penciptaan lapangan kerja. Namun, ketika logika industrialisasi mineral ini diterapkan secara seragam pada sektor sumber daya hayati, tantangan yang dihadapi jauh lebih kompleks dan multisektoral.
Sumber daya alam hayati tidak seharusnya dipandang semata sebagai komoditas mentah yang cukup ditingkatkan nilainya melalui proses pengolahan. Hilirisasi, yang secara teknis merujuk pada pengolahan bahan mentah menjadi produk setengah jadi atau produk jadi dengan nilai tambah lebih tinggi, sering kali dipahami secara sempit sebagai aktivitas fisik industrialisasi belaka. Pemahaman ini terlalu berfokus pada aspek mekanis dari rantai produksi, namun mengabaikan tantangan struktural yang lebih mendasar, seperti peningkatan mutu, pengembangan inovasi, akses terhadap pasar global, serta posisi tawar Indonesia dalam rantai nilai global.
Pasar internasional saat ini menuntut lebih dari sekadar produk olahan. Produk berbasis hayati dituntut untuk memenuhi standar mutu yang tinggi, memiliki jejak asal-usul yang transparan (traceability), serta tersertifikasi secara internasional (HACCP, ISO, GMP, bahkan sertifikasi organik atau keberlanjutan). Di sisi lain, preferensi konsumen global juga semakin bergeser ke produk yang tidak hanya berkualitas, tetapi juga memiliki legitimasi yang kuat: siapa produsennya, dari mana bahannya, bagaimana dampaknya terhadap keberlanjutan lingkungan.
Lebih jauh lagi, hilirisasi tidak otomatis membuat produk Indonesia naik kelas dalam rantai nilai global. Tanpa diferensiasi produk, dukungan riset yang kuat, serta strategi merek dan pemasaran yang solid, produk hasil hilirisasi hanya akan menjadi varian lain dari komoditas generik, mudah digantikan dan sulit bertahan dalam pasar global.
Tantangan di Dalam Negeri
Meskipun hilirisasi sering digadang-gadang sebagai solusi untuk meningkatkan nilai tambah, tantangan di dalam negeri menunjukkan bahwa pendekatan ini tidak bisa berjalan sendiri. Tantangan tersebut menyangkut aspek riset dan inovasi, kapasitas pelaku usaha, infrastruktur pendukung, hingga keterlibatan dalam rantai nilai global.
Pertama, dari sisi riset dan pengembangan (R&D), Indonesia menghadapi keterbatasan serius. Anggaran nasional untuk riset masih stagnan di angka 0,28% dari Produk Domestik Bruto (PDB), jauh di bawah Korea Selatan (4,8%) atau bahkan tetangga dekat seperti Malaysia (1,03%). Akibatnya, banyak potensi hayati belum dikembangkan secara maksimal menjadi produk bernilai tinggi berbasis riset. Sebagian besar penelitian berhenti di laboratorium dan tidak berhasil dikomersialisasi karena minimnya dukungan lintas sektor antara peneliti, pelaku usaha, dan regulator.
Kedua, pelaku utama sektor hayati Indonesia adalah UMKM, yang menghadapi berbagai hambatan untuk bisa naik kelas. Menurut BPS (2022), 99,9% unit usaha di Indonesia merupakan UMKM, namun hanya 8,5% yang memiliki akses ke pasar ekspor. Mereka kerap kesulitan memenuhi standar mutu dan sertifikasi global seperti HACCP, ISO, GMP, atau sertifikasi organik. Tanpa dukungan infrastruktur, transfer knowledge, dan literasi pasar, mendorong UMKM terjun ke hilirisasi justru bisa memunculkan tantangan baru: biaya tinggi, pasar tak tersedia, dan produk tak kompetitif.
Ketiga, dukungan infrastruktur pasca-panen dan logistik di daerah penghasil sumber daya hayati masih lemah. Di wilayah-wilayah kaya biodiversitas seperti Papua, Maluku, atau Kalimantan, akses ke laboratorium uji mutu, fasilitas pengeringan, pengemasan, hingga cold chain sangat terbatas. Ini menyebabkan kualitas bahan baku tidak terjaga, umur simpan pendek, dan produk tidak bisa memenuhi standar ekspor. Tanpa logistik yang efisien, nilai tambah hasil hilirisasi tak bisa dimaksimalkan.
Keempat, Indonesia masih lemah dalam menguasai tahapan bernilai tinggi dalam rantai nilai global. Ambil contoh minyak nilam: Indonesia merupakan produsen utama dunia, namun lebih dari 90% minyak nilam diekspor dalam bentuk mentah (Kemenperin, 2022). Nilai tambah justru diraih oleh negara pengolah seperti Prancis atau Jepang, yang mengemasnya menjadi parfum kelas atas. Situasi serupa terjadi pada komoditas seperti rumput laut, kopi, atau bahan herbal yang belum terintegrasi dengan baik ke pasar global berbasis merek dan formulasi.
Membutuhkan Pendekatan yang Lebih Holistik
Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa hilirisasi, meskipun penting, tidak bisa menjadi satu-satunya jawaban. Justru, jika dijalankan tanpa pendekatan holistik, ia hanya akan menghasilkan “nilai tambah semu” yaitu produk berubah bentuk, tapi tetap tak berdaya dalam rantai nilai global. Untuk itu, Indonesia memerlukan kerangka transformasi ekonomi hayati yang lebih luas dan menyentuh akar persoalan.
Indonesia membutuhkan kerangka transformasi ekonomi hayati yang lebih holistik mencakup investasi dalam riset dan inovasi, penguatan UMKM dan koperasi lokal, pembangunan infrastruktur berbasis ekosistem, strategi branding nasional, serta perlindungan terhadap keberlanjutan dan kearifan lokal. Semua itu harus dilihat sebagai satu kesatuan kebijakan, bukan agenda sektoral yang berjalan sendiri-sendiri.
Maka, hilirisasi seharusnya tidak lagi diposisikan sebagai tujuan akhir, tetapi sebagai bagian dari strategi yang lebih besar yakni membangun sistem ekonomi hayati yang berdaya saing, berbasis pengetahuan, dan berkelanjutan. Sudah saatnya kita berhenti melihat hilirisasi sebagai mantra universal dan mulai mengolah strategi dengan keberanian intelektual dan ketajaman visi. Sebab, kekayaan hayati Indonesia bukan hanya soal potensi, tetapi juga tentang bagaimana bangsa ini membangun posisi yang lebih kuat dan berdaulat dalam rantai nilai global.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.