Amunisi Hukum Mencabut Izin Tambang di Pulau Kecil

Image title
Oleh Melky Nahar
15 Juli 2025, 07:05
Melky Nahar
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia seharusnya mencabut semua izin usaha pertambangan di pulau-pulau kecil di Indonesia. Sudah ada landasan hukum dan preseden hukum yang membatalkan aktivitas penambangan di pulau-pulau kecil di Indonesia. Ini bisa menjadi amunisi bagi Bahlil untuk mencabut izin usaha pertambangan di pulau-pulau mini tersebut.

Isu pertambangan di pulau-pulau kecil mencuat kembali setelah muncul protes pertambangan nikel di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya. Pemerintah menanggapi protes itu dengan membekukan empat dari lima izin usaha pertambangan di sana. Satu izin perusahaan yakni PT Gag Nikel belum dicabut dengan berbagai alasan. 

Dalam konferensi pers di Istana Presiden, 10 Juni 2025 bersama Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni dan Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya, Bahlil menjelaskan alasan mengapa izin PT Gag Nikel belum dicabut. 

Pertama, Bahlil berdalih PT Gag Nikel sudah mempunyai kontrak karya dan mengantongi dokumen Analisis mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Kedua, pemerintah beralasan anak usaha PT Aneka Tambang (Antam) sudah mempunyai Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB). 

Ketiga, posisi Pulau Gag berada di luar kawasan geopark Raja Ampat. Pulau itu berjarak sekitar 42 kilometer dari Geopark Raja Ampat dan posisi lebih dekat dengan Provinsi Maluku Utara. Keempat, dari hasil kunjungan lapangan ke lokasi, Bahlil belum menemukan adanya indikasi kerusakan lingkungan dari aktivitas penambangan Gag Nikel.

Dari berbagai alasan itu, Bahlil tak menyebutkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Entah karena tidak tahu atau mungkin lupa. Bisa juga dia menyembunyikannya. 

Tapi mungkin ini bisa menyegarkan ingatan Bahlil bahwa undang-undang itu secara lugas dan tegas melarang penambangan di pulau yang luasnya di bawah 2.000 kilometer persegi atau 200.000 hektare. Luas Pulau Gag sendiri hanya sekitar 6.500 hektare dan sudah pasti masuk kategori pulau kecil.

Pasal 23 ayat 2 undang-undang tersebut menyatakan secara tegas bahwa pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk konservasi, pendidikan, penelitian, budidaya laut, pariwisata, perikanan, pertanian organik, dan pertahanan negara. Pertambangan tidak termasuk dalam daftar tersebut. 

Lalu ada pasal 35 yang secara nyata sekali melarang pemanfaatan pulau kecil untuk penambangan mineral yang secara teknis dan atau ekologis dan atau sosial budaya menimbulkan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan dan atau merugikan masyarakat.

Mahkamah Konstitusi juga telah menguatkan undang-undang ini. Dalam putusan Nomor 35/PUU-XXI/2023, majelis hakim konstitusi menegaskan, penambangan tidak boleh dilakukan di pulau-pulau kecil dalam permohonan uji materi yang diajukan PT Gema Kreasi Perdana. Seperti diketahui, putusan Mahkamah Konstitusi adalah putusan yang bersifat final dan mengikat.

Amunisi bagi Bahlil bukan hanya undang-undang dan putusan Mahkamah Konstitusi. Dalam lima tahun terakhir, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mencatat perlawanan masyarakat pulau-pulau kecil terhadap aktivitas pertambangan di wilayah mereka sudah dimenangkan oleh Mahkamah Agung. Mulai dari Pulau Bangka, Sangihe hingga Pulau Wawonii.

Dalam putusan kasasi gugatan masyarakat Pulau Wawonii terhadap PT Gema Kreasi Perdana, majelis hakim kasasi mengabulkan seluruh gugatan warga. Majelis hakim kasasi menyatakan, Pulau Wawonii sebagai pulau kecil karena luas wilayahnya di bawah 2.000 kilometer persegi sehingga pengelolaan dan beserta ekosistemnya dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat seperti diatur dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Majelis hakim kasasi juga mendasarkan putusannya pada pasal 35 huruf k dan huruf I Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007, yang secara tegas melarang pemanfaatan pulau kecil untuk penambangan mineral yang secara teknis dan atau ekologis dan atau sosial budaya menimbulkan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan dan atau merugikan masyarakat. 

Dalam hal ini, aktivitas penambangan Gema Kreasi Perdana telah terbukti mencemari sungai yang digunakan penggugat dan masyarakat Wawonii. Hal ini telah menimbulkan rasa ketakutan bagi masyarakat akan tempat tinggal, tanah garapan dan kampung halaman mereka akan menjadi lubang-Iubang tambang yang dilakukan Gema Kreasi Perdana. Mahkamah Agung juga menyatakan anak usaha Harita Group itu telah beberapa kali melakukan penyerobotan lahan milik masyarakat.

Putusan gugatan ini sudah ditindaklanjuti oleh Kementerian Kehutanan yang mencabut Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) PT Gema Kreasi Perdana di Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara pada 16 Juni 2025. Dengan pencabutan izin pemanfaatan kawasan hutan seluas 707,10 hektare, Gema Kreasi Perdana tidak lagi mempunyai dasar hukum untuk menambang di Pulau Wawonii.

Pencabutan IPPKH ini bukan hanya sekadar mengoreksi kebijakan administratif pemerintah melainkan harus dipahami sebagai bentuk pengakuan negara atas pelanggaran hukum, pelanggaran hak asasi manusia, dan kerusakan lingkungan yang telah lama terjadi di Pulau Wawonii. Ini adalah suatu kebijakan korektif terhadap praktik perampasan ruang hidup rakyat yang selama ini dilanggengkan oleh negara melalui instrumen hukum yang menyimpang dari keadilan dan keberlanjutan.

Bahlil seharusnya mencontoh Kementerian Kehutanan. Dia bisa segera mencabut izin usaha pertambangan (IUP) Gema Kreasi Perdana sebagai bentuk penghormatan dan pengakuan negara atas putusan Mahkamah Agung yang berkekuatan hukum tetap (inkracht). 

Pencabutan IUP ini tetap bisa dilakukan meskipun anak usaha Harita Group akan mengajukan upaya permohonan kembali. Sebab, permohonan peninjauan kembali sama sekali tidak menunda atau membatalkan pelaksanaan keputusan administratif sepanjang berdasarkan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap.

Bukan hanya izin pertambangan di Pulau Wawonii saja. Bahlil seharusnya juga mencabut seluruh izin usaha pertambangan yang ada di pulau-pulau kecil. Sebab, menurut data Forest Watch Indonesia pada 2021, ada konsesi tambang seluas 245 ribu hektare di 242 pulau kecil di Indonesia. Seluas 135,8 ribu hektare hutan berada dalam lahan konsesi tambang. Sepanjang 2017 hingga 2021, aktivitas mengeruk perut pulau-pulau kecil itu telah menggundulkan hutan seluas 13,1 hektare atau sedikit lebih besar dari Kota Bogor.

Data dikuatkan oleh Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA). Hingga pertengahan 2023, KIARA menyebutkan sebanyak 226 pulau kecil telah diprivatisasi atas nama tambang, pariwisata, dan konservasi. Padahal, 20% penduduk Indonesia tinggal di wilayah pulau kecil dan pesisir—zona paling rentan terhadap perubahan iklim.

Belajar dari kasus Pulau Wawonii, seperti yang diyakini oleh majelis hakim kasasi, praktik kegiatan ekstraktif di pulau kecil selalu berujung pada konflik horizontal dan kriminalisasi warga. Ada 44 warga Wawonii dijerat dengan pasal-pasal karet seperti Pasal 162 Undang-Undang Mineral dan Batubara yang menyasar siapa saja yang dianggap “menghalangi kegiatan tambang.” JATAM mencatat selama rentang 2022-2023, sebanyak 100 orang warga telah dikriminalisasi karena menolak tambang. 

Praktik penambangan juga memicu kehancuran ekologis permanen dan marginalisasi sosial-ekonomi masyarakat lokal. Analisis citra satelit yang dilakukan JATAM, deforestasi Pulau Gag sepanjang 2017 hingga 2024 telah mencapai 262 hektare. 

Ini belum termasuk dengan kerusakan wilayah pesisir akibat sedimentasi bekas galian, kerusakan terumbu karang akibat sedimentasi yang terbawa hingga ke laut dan lalu lalang kapal tongkang pengangkut nikel, serta pantai yang tertutup lumpur. 

Ketika praktik penambangan di pulau-pulau kecil terus dibiarkan, Bahlil atau pemerintah bukan sekedar mengeruk perut bumi, melainkan juga sedang mengubur masa depan manusia pesisir anak bangsa.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Melky Nahar
Melky Nahar
Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)

Edisi Khusus Sumitro Djojohadikusumo ini didukung oleh:

Logo Edisi Khusus Sumitro Djojohadikusumo

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...