Strategi Mengembalikan Kejayaan Nikel


Sejak awal 2023, harga nikel dunia mengalami tren penurunan yang tajam dan konsisten. Dari posisi puncaknya pada 2022 sebesar lebih dari US$25 ribu per ton, kini pada awal 2025, harga nikel telah turun ke kisaran US$15 ribu per ton. Penurunan ini sangat merugikan Indonesia sebagai produsen nikel terbesar di dunia.
Kementerian ESDM menyebutkan bahwa anjloknya harga nikel kemungkinan disebabkan oleh perlambatan industri global, khususnya di Tiongkok (Antara, 6 Mei 2025). Namun, data International Nickel Study Group (INSG) menunjukkan permintaan justru terus naik dari tahun ke tahun: 3,03 juta ton (2022); 3,19 juta ton (2023); dan diproyeksikan mencapai 3,35 juta ton pada 2024. Bahkan pada 2025 diprediksi naik lagi sekitar 5% menjadi 3,51 juta ton.
Artinya, permintaan bukan masalah, pasar bukan masalah. Masalahnya adalah produksi berlebihan (oversuplai) dari Indonesia. Ketika produsen nikel di Australia, Amerika, dan Afrika mulai memangkas produksi akibat harga rendah, Indonesia justru terus menambah kapasitas, dari 1,58 juta ton (2022), naik menjadi 2,03 juta ton (2023), lalu naik lagi ke 2,2 juta ton (2024). Hanya dalam dua tahun, Indonesia menambahkan lebih dari 600 ribu ton nikel ke pasar dunia—jumlah yang tidak dapat diserap secara wajar oleh permintaan global.
Peningkatan produksi besar-besaran ini tidak terjadi secara alami, melainkan karena kebijakan pemberian insentif yang berlebihan. Demi menarik investasi smelter, pemerintah menawarkan berbagai insentif: tax holiday hingga 20 tahun, diskon royalti sampai 80%, jaminan pasokan batu bara dengan harga murah, bebas bea masuk barang modal, dan kemudahan perizinan. Hasilnya, dalam tujuh tahun terakhir, kapasitas smelter di Indonesia melonjak 15 kali lipat—dari hanya 200 ribu ton per tahun (2016) menjadi lebih dari 3 juta ton (2023), dan masih terus naik. Aktivitas pertambangan nikel tumbuh seperti jamur bahkan sampai merambah kawasan hutan dan pulau-pulau kecil yang seharusnya dilindungi.
Akibatnya, produksi nikel Indonesia membanjiri dunia dan harga anjlok. Pihak yang paling dirugikan tentu Indonesia sebagai negara produsen terbesar di dunia. Nilai ekspor menurun, pendapatan negara dari royalti menyusut, pendapatan pajak kecil karena banyak pembebasan pajak. Ironisnya, sebagian besar smelter dikuasai asing. Kita sedang merusak pasar kita sendiri.
Cina adalah pasar terbesar produk nikel Indonesia melalui produk baja tahan karat (stainless steel). Ironisnya, Cina memberlakukan tarif impor 20,2% karena menuduh Indonesia melakukan praktik dumping pada baja tahan karat, karena harganya terlalu murah. Jadi pemerintah Indonesia memberikan subsidi produk nikel dengan tax holiday dan berbagai insentif lainnya, sementara Cina justru mengambil pajak dari produk tersebut.
Solusi: Kendalikan Produksi, Naikkan Harga
Karena mayoritas tambang dan smelter nikel dikuasai oleh swasta dan asing, pemerintah tidak bisa melakukan intervensi menurunkan produksi secara langsung. Pemerintah hanya bisa melakukan intervensi secara tidak langsung melalui regulasi. Ada dua model kebijakan yang tersedia:
Pertama, sistem kuota produksi. Pemerintah menetapkan batas produksi maksimal setiap tahun, mengikuti permintaan global, dan mendistribusikan kuota ke perusahaan smelter. Sistem ini dapat membatasi produksi nasional dan akhirnya menaikkan harga.
Kedua, sistem tarif ekspor. Pemerintah mengenakan tarif atau pajak atas setiap ekspor produk nikel dan turunannya. Ini akan menaikkan harga produk ekspor secara langsung dan akhirnya mendorong perusahaan mengurangi produksi.
Kedua sistem ini terbukti efektif dalam mengurangi produksi dan menaikkan harga. Namun dari kepentingan publik, tarif ekspor memberikan manfaat publik lebih banyak. Dalam sistem kuota, pihak yang mendapatkan keuntungan adalah perusahaan (asing) yang mendapatkan kuota dan menikmati kenaikan harga. Sementara itu, dalam sistem tarif, pendapatan tarif mengalir ke pemerintah dan dapat digunakan untuk kepentingan publik.
Selain itu, tarif ekspor membuat produk nikel di dalam negeri lebih murah daripada di luar negeri, sehingga menjadi insentif tidak langsung bagi industri nikel lanjutan—seperti produsen baterai EV dan industri tinggi lainnya—untuk relokasi ke Indonesia. Ini menciptakan ekosistem yang memperkuat industrialisasi lanjutan, tanpa perlu insentif fiskal tambahan.
Ada dua alasan mengapa tarif ekspor efektif. Pertama, berdasarkan analisis Transisi Bersih, elastisitas konsumsi nikel global terhadap harga sangat rendah, hanya sekitar 0,07. Artinya, jika harga nikel naik 10%, konsumsi hanya turun 0,7%. Dengan kata lain, kenaikan harga tidak terlalu berpengaruh pada konsumsi nikel. Indonesia tidak perlu khawatir karena kenaikan harga tidak akan banyak mengurangi ekspor.
Kedua, Indonesia menguasai 42,3% cadangan dan 62% produksi nikel dunia. Secara alami Indonesia memegang posisi “monopoli natural”.
Dengan dua alasan ini, biaya produksi dan harga nikel Indonesia berpengaruh sangat signifikan terhadap harga nikel dunia. Setiap kenaikan biaya produksi dan harga di Indonesia otomatis akan menaikkan harga nikel dunia. Indonesia sebenarnya dapat mengontrol harga nikel dunia untuk kepentingan manfaat ekonomi nasional yang lebih besar. Indonesia sebenarnya bisa menjadi price maker, bukan price taker seperti sekarang.
Dalam jangka pendek, kombinasi kuota dan tarif (kebijakan combo) bisa diterapkan untuk menstabilkan pasar dengan cepat. Ini akan memberikan jaminan lebih baik ketika tarif ditetapkan harga global akan naik sehingga bisa memberikan kepastian bagi industri smelter di Indonesia. Setelah kapasitas produksi dan harga stabil, pelan-pelan pemerintah bisa mencabut kuota dan hanya mengandalkan tarif ekspor.
Dalam jangka panjang, Indonesia perlu mendorong terbentuknya organisasi produsen nikel global, bersama Australia, Brasil, Rusia, dan negara produsen lainnya—seperti OPEC di sektor minyak. Tujuannya sederhana: menjaga keseimbangan antara pasokan dan permintaan agar harga tetap sehat dan adil.
Nikel termasuk sumber daya alam critical yang bernilai ekonomi tinggi. Dia akan tetap bernilai tinggi jika dikelola dengan baik. Sebaliknya, dia akan menjadi barang murahan ketika diobral dengan produksi sebanyak-banyaknya bahkan sampai membabat hutan dan menggali pulau kecil seperti sekarang. Tambang-tambang bermasalah perlu segera ditutup untuk mengurangi produksi dengan cepat. Harga nikel anjlok bukan karena dunia tak membutuhkan nikel, bukan karena pasar dunia melemah, tapi karena kita memproduksinya terlalu banyak, terlalu tamak, dan tanpa strategi.
Edisi Khusus Sumitro Djojohadikusumo ini didukung oleh:
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.