Bekerja di Luar Negeri, Solusi Mengatasi Pengangguran?

Yohanes Ivan Adi Kristianto
Oleh Yohanes Ivan Adi Kristianto
14 Juli 2025, 07:05
Yohanes Ivan Adi Kristianto
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Setelah sebelumnya tagar #KaburAjaDulu dengan cara mencari kerja di luar negeri menuai kontra akibat dianggap tidak nasionalis, publik kali ini didorong untuk bekerja di luar negeri. Menteri Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Abdul Kadir Karding menyatakan bahwa dengan meningkatnya masyarakat yang bekerja di luar negeri, angka pengangguran terbuka di Jawa Tengah.

Benarkah saran dari Menteri Karding akan menjadi solusi paten terhadap jumlahnya pencari kerja?

Faktor Negara Asal vs Negara Tujuan

Persoalan pasar tenaga kerja global perlu diamati seperti apa dukungan dari negara asal, dalam hal ini Indonesia, dan negara tujuan tempat calon pekerja migran Indonesia (PMI).

Indonesia dalam aspek ekonomi relatif mendukung pencari kerja untuk mencari peruntungan di luar negeri. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2025 mencatat sebanyak 7,28 juta warga negara Indonesia menganggur. Sementara itu, beberapa pasar tenaga kerja di luar negeri masih membutuhkan tenaga kerja.

Sebagai contoh, Komisi Eropa menyatakan ada 42 jenis pekerjaan yang kekurangan tenaga kerja. Bahkan, diperkirakan sampai 2050, Eropa akan kehilangan 1 juta tenaga kerja per harinya. Hal yang sama terjadi di Jepang, Korea, dan negara-negara Timur Tengah. Khusus di Jepang dan Korea, keduanya disebabkan populasi warga negara yang menurun.

Namun, pembagian jenis pekerja migran, yakni pekerja migran berketerampilan tinggi (high-skilled migrant workers) dan pekerja migran berketerampilan rendah (low-skilled migrant workers), layak diperhatikan. Perbedaan antara keduanya biasanya dilihat dari kualifikasi dan kompetensi.

Pekerjaan yang membutuhkan keterampilan sifatnya khusus, memiliki kualifikasi pendidikan tinggi, dan membutuhkan kemampuan manajerial dikategorikan sebagai pekerja migran berketerampilan tinggi. Contoh pekerjaan yang termasuk kategori ini misalnya dokter, perawat, peneliti, kontraktor, analis, dan insinyur.

PMI pada 2024, menurut BP2MI, didominasi oleh profesi yang membutuhkan keterampilan yang dianggap rendah seperti asisten rumah tangga, pekerja kasar di berbagai sektor, pengasuh, dan pekerja lepas.

Bandingkan, data BPS pada Februari 2025 memperlihatkan jumlah tingkat pengangguran terbuka didominasi oleh lulusan sekolah kejuruan (SMK), sekolah menengah atas (SMA), dan lulusan perguruan tinggi (diploma, sarjana, magister, dan doktor).

Sementara itu, sebagian negara tujuan membutuhkan pekerja berketerampilan tinggi. Jepang, sebagai ilustrasi, memproyeksikan kebutuhan tenaga kesehatan sebesar 570 ribu pada 2024. Sama dengan Jepang, sebagian dari 42 jenis pekerjaan yang dibutuhkan di Eropa membutuhkan jenis pekerja yang sama.

Gambaran ini mengindikasikan adanya kejanggalan yakni mengapa jumlah pengangguran Indonesia justru didominasi oleh lulusan SMK, SMA, dan perguruan tinggi? Menurut saya, ada indikasi lulusan kelompok ini belum disiapkan untuk bersaing di level global.

Sebagai pemantik, apakah lulusan perguruan tinggi, SMK, dan SMA sudah mampu berbahasa asing, selain bahasa Inggris, pada level menengah? Bahasa adalah pintu awal untuk menembus pasar tenaga kerja global.

Kedua, kekuatan paspor Indonesia menghambat pencari kerja untuk menembus persaingan. Menurut Henley Passport Index, kekuatan paspor Indonesia saat ini menempati peringkat 71 dunia. Lemahnya paspor Indonesia menyebabkan pencari kerja perlu memenuhi sederetan persyaratan administratif untuk diterima di luar negeri.

Persyaratan ini kadangkala mendorong pemberi kerja di luar negeri mencari kandidat yang lebih mudah dalam urusan keimigrasian. Selain itu, pencari kerja cenderung lebih susah untuk mengeksplor negara target karena mobilitas tidak efektif.

Dengan kondisi seperti ini, apakah Indonesia sebaiknya berfokus mendukung pekerja berketerampilan rendah saja untuk bekerja di luar negeri?

Dependensi

Sebelum menjawab pertanyaan ini, situasi pasar tenaga kerja global berbeda dengan level nasional. Pasar tenaga kerja nasional atau domestik cenderung masih tertata kelola, sementara pada tingkat global lebih anarki. Anarki di sini diartikan sebagai kondisi tanpa aturan. Keberadaan Kementerian Ketenagakerjaan dan dinas tenaga kerja di daerah membantu pekerja untuk mengadu jika ada permasalahan ketenagakerjaan.

Sementara itu, di level internasional, pemerintah tidak bisa menjaga sepenuhnya karena yurisdiksi negara lain. Tidak ada aktor politik diatas negara, setidaknya sampai saat ini, yang bisa memaksa negara untuk memberikan ruang aman bagi pekerja secara universal.

Terhitung pada 2024, ada 1.500 pengaduan PMI dengan isi aduan meliputi gaji yang tidak dibayar, permasalahan jaminan sosial, deportasi, penipuan, dan keinginan untuk kembali ke Indonesia. Memang, pemerintah bisa memberikan Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) atau menginisiasi kesepakatan dengan negara tujuan untuk melindungi kepentingan warga.

Namun, jaminan terhadap keamanan dalam bekerja tidak sepenuhnya efektif karena otoritas penuh negara tujuan tempat PMI bekerja.

Lambat laun jika warga “dipaksa” untuk mencari pekerja di luar negeri dengan segala risikonya akan menimbulkan situasi yang tidak setara bagi Indonesia saat berhadapan dengan negara lain, khususnya pada isu ketenagakerjaan. Indonesia dihadapkan pada kondisi membutuhkan negara lain untuk memberikan pekerjaan bagi warganya.

Jepang, salah satu negara yang sangat membutuhkan tenaga kerja berketerampilan tinggi, membatasi pekerja migran untuk bekerja selama maksimal 5 tahun. Hanya jenis-jenis pekerjaan tertentu yang basisnya cukup kontrak kerja dengan institusi pemberi kerja. Artinya, ada indikasi negara tujuan cenderung memiliki posisi tawar lebih tinggi daripada negara asal pekerja migran.

Perkuat Internal

Hemat saya, untuk mengatasi pengangguran, opsi mendorong pencari kerja untuk mencari pekerjaan di luar negeri bukan dijadikan satu-satunya solusi atau prioritas utama dalam mengatasi permasalahan pengangguran.

Memperkuat sektor formal bisa dijadikan sebagai opsi prioritas untuk memperlancar perputaran uang. Pekerja sektor formal menerima upah atau gaji rutin setiap bulannya.

Keberadaan mereka dapat berkontribusi pada peningkatan konsumsi dari barang atau jasa yang disediakan sektor informal. Jayani (2021) menemukan bahwa pemasukan dari sektor formal membantu masyarakat untuk naik kelas ke kelas menengah.

Sementara itu, untuk mempersiapkan persaingan tenaga kerja tingkat global, mata kuliah bahasa asing selain bahasa Inggris patut dipertimbangkan dengan catatan tidak memberatkan beban kuliah atau sekolah agar siap bersaing di negara yang membutuhkan pekerja.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Yohanes Ivan Adi Kristianto
Yohanes Ivan Adi Kristianto
Ketua Centre of Politics and International Studies (POLIS) dan Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) Universitas Tidar

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...