Krisis Eksistensialis dan Dehumanisasi Birokrasi dalam Kasus Tambang Raja Ampat


Kerusakan lingkungan akibat izin tambang nikel di kawasan Raja Ampat menjadi cermin kegagalan tanggung jawab etis dalam pengelolaan sumber daya alam. Meski secara hukum formal izin tersebut dikeluarkan berdasarkan regulasi yang berlaku, dampak ekologis dan sosialnya menimbulkan pertanyaan mendasar: sejauh mana aktor-aktor yang terlibat, baik negara maupun korporasi, bertanggung jawab secara moral atas tindakan mereka?
Dalam konteks ini, pendekatan filsafat eksistensialis, terutama dari Jean-Paul Sartre dan Emmanuel Levinas, bersama pemikiran Hannah Arendt, menjadi relevan untuk membongkar ketimpangan moral dan kemanusiaan dalam rezim perizinan.
Kebebasan yang Ditinggalkan
Jean-Paul Sartre menyatakan, manusia dikutuk untuk bebas. Kebebasan merupakan kodrat manusia, dan setiap tindakan adalah hasil dari pilihan sadar yang tidak bisa disangkal. Namun banyak individu dan institusi justru menolak kebebasan ini dengan dalih “tidak punya pilihan” — sikap yang disebut Sartre sebagai itikad buruk (bad faith). Itikad buruk bukanlah penipuan terhadap orang lain, melainkan terhadap diri sendiri (self-deceptive). Ini terjadi saat seseorang menyangkal kebebasannya atau menolak kenyataan dari situasinya.
Izin tambang nikel di Raja Ampat, wilayah dengan kekayaan ekologis unik, telah menimbulkan kerusakan besar. Para pengambil kebijakan berdalih bahwa izin telah sesuai prosedur, sementara perusahaan mengklaim investasinya sudah ada izin. Dalam perspektif Sartre, ini merupakan penghindaran terhadap kebebasan eksistensial. Para aktor sadar akan dampaknya, namun memilih bersembunyi di balik legalitas formal. Mereka hidup dalam itikad buruk, mengorbankan otentisitas dan integritas moral demi kenyamanan birokratis dan keuntungan ekonomi.
Padahal, regulasi lingkungan telah mengatur pembatasan tersebut. UU 27/2007 jo. UU 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menegaskan bahwa pulau-pulau kecil (kurang dari 2.000 km2) diprioritaskan untuk konservasi, pendidikan, pariwisata, perikanan, dan pertahanan negara — bukan pertambangan. Putusan Mahkamah Konstitusi No 35/PUU-XXI/2023 mempertegas larangan tersebut. Pulau Gag, lokasi tambang PT Gag Nikel, hanya seluas 60 km², jelas masuk dalam kategori pulau kecil. Dalam perspektif Sartre, regulator dan investor telah memilih untuk tidak tahu, untuk pura-pura tidak berdaya, padahal mereka memiliki kebebasan untuk berkata tidak dan bertanggung jawab.
Kasus tambang nikel di Raja Ampat menunjukkan bahwa kerusakan ekologis bukan hanya soal kelalaian teknis atau kelemahan regulasi, melainkan juga persoalan hilangnya kepekaan etis dan tanggung jawab hakiki sebagai manusia dan pejabat publik. Pengambil kebijakan dan keputusan menghindar untuk mengakui kebebasannya dan bertanggung jawab atasnya.
Kritik Levinas atas Kekuasaan Tanpa Empati
Menurut Levinas, tanggung jawab bukan muncul dari kontrak sosial atau aturan hukum, tetapi dari kehadiran “Yang Lain”. Wajah “Yang Lain” di sini yaitu masyarakat adat, generasi mendatang, dan alam — memanggil kita untuk bertindak etis. Bagi Levinas, tatapan wajah adalah seruan etis yang tidak bisa ditawar, bahkan sebelum permintaan dibuat. Namun dalam praktik perizinan, kepentingan masyarakat dan lingkungan hidup sering direduksi menjadi data atau dokumen. Mereka dihilangkan dari pusat keputusan, tidak dianggap sebagai subjek moral, hanya objek kebijakan.
Kekuasaan dalam sistem ini telah kehilangan wajah. Birokrasi tidak lagi melihat masyarakat, tetapi hanya melihat Amdal, angka pendapatan negara, atau target investasi. Sistem administratif tidak lagi hadir untuk melayani, tetapi untuk menyaring dan menyingkirkan resistensi. Bahasa teknokratis seperti “optimalisasi sumber daya”, “pengalihan fungsi”, atau “izin operasional” menjadi selimut yang membungkus kekejaman ekologis dan sosial. Dalam logika totalitas, negara mengasumsikan bahwa kepentingan rakyat sama dengan kepentingan negara dan pasar, sehingga suara berbeda dianggap sebagai gangguan.
Birokrasi yang Tidak Berpikir
Hannah Arendt, dalam “Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil-1963”, menyatakan bahwa kejahatan besar tidak selalu dilakukan oleh monster, tetapi oleh birokrat biasa yang tidak berpikir. Adolf Eichmann, pegawai yang mengatur logistik deportasi orang Yahudi, bukanlah pelaku sadis yang menikmati kekerasan. Ia hanya menjalankan perintah, mengikuti prosedur, dan taat hukum. Namun di situlah letak banalitasnya, ketiadaan refleksi etis dalam tindakan teknokratis. Ketika manusia berhenti bertanya apakah tindakannya adil, dan hanya mematuhi sistem, ia telah kehilangan sisi kemanusiaannya.
Fenomena ini sangat relevan dengan praktik birokrasi perizinan tambang. Banyak aparatur merasa tidak bertanggung jawab secara pribadi karena mereka “hanya melaksanakan tugas” atau “mengikuti sistem”. Mereka menyingkirkan moralitas demi legalitas. Dalam ketiadaan refleksi ini, kekejaman terhadap lingkungan, komunitas adat, dan generasi masa depan menjadi sesuatu yang banal. Legalitas dijadikan tameng untuk menolak tanggung jawab.
Ketika Hukum Kehilangan Etika
UU Administrasi Pemerintahan No 30/2014, khususnya Pasal 39 ayat (1), telah menegaskan bahwa keputusan izin harus berdasarkan peraturan perundang-undangan dan asas umum pemerintahan yang baik (AUPB), salah satunya adalah asas kemanfaatan — yang menuntut perizinan memperhatikan keberlanjutan, keadilan, dan kepentingan masyarakat. Namun dalam praktik, AUPB menjadi hiasan retoris, bukan pijakan etis.
Pasal 5 ayat (2) (e) UU Aparatur Sipil Negara No 5/2014 sebenarnya sempat memuat kewajiban ASN untuk menolak perintah yang melanggar hukum atau etika. Namun dalam UU ASN terbaru No 20/2023, klausul tersebut dihapus. Ini menciptakan kekosongan tanggung jawab etis dalam birokrasi. ASN tidak lagi memiliki dasar hukum eksplisit untuk menolak perintah tidak etis. Dalam perspektif Arendt, ini adalah bentuk organized irresponsibility — sistem yang dengan sadar menyingkirkan tanggung jawab personal demi kelancaran mesin birokrasi.
Menuju Birokrasi yang Menghadiri Wajah
Untuk melawan dehumanisasi ini, birokrasi perlu menghidupkan kembali kesadaran eksistensial. Keputusan administratif harus dilandasi refleksi moral, bukan sekadar kepatuhan prosedural.
Bagi petugas pemberi izin, jika ada perintah atasan yang bertentangan dengan peraturan undang-undang dan etika, maka ia dapat: (a) meminta perintah tertulis jika ragu, (b) melaporkan ke atasan yang lebih tinggi, (c) menggunakan kanal pengaduan seperti Aparat Pengawas Intern Pemerintah/APIP, Ombudsman, dan whistleblowing. Di sisi lain, perlu dibangun solidaritas etis dalam tubuh birokrasi agar nilai-nilai moral tidak tenggelam dalam hirarki otoritas. Dari tataran makro kebijakan, penting segera merevisi UU ASN untuk memasukan klausul kepatuhan berbasis hukum dan etika atau setidaknya ditegaskan dalam kode etik ASN.
Etika lingkungan yang otentik, dalam semangat Sartre dan Levinas, mengajak kita bertindak sebagai manusia utuh, yang bebas, bertanggung jawab, dan peka terhadap kehadiran yang lain. Retret pejabat publik sebagaimana dilakukan Presiden Prabowo sebaiknya bukan hanya ruang koordinasi antarlembaga dengan menanamkan semangat nasionalisme dan patriotisme, tetapi juga ajang tahunan untuk merefleksikan tanggung jawab moral dan etika lingkungan dalam kehidupan bernegara. Tujuannya adalah membentuk birokrasi yang tidak hanya melayani hukum, tetapi juga keadilan dan kemanusiaan.
Dari aspek regulasi, segerakan pengesahan RUU Masyarakat Hukum Adat. Dengan keberadaan undang-undang ini, maka pengakuan wilayah adat bisa menjadi instrumen hukum untuk menyetujui dan menolak izin pertambangan. Kemudian pastikan penerapan Amdal dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis bersifat substantif, bukan formalitas.
Menata ulang sistem perizinan artinya mengembalikan manusia ke dalam pusat kebijakan. Bukan sekedar prosedur, bukan dokumen, bukan angka, tapi wajah yang mengingatkan bahwa keputusan birokrasi bukan soal kertas, tetapi kehidupan manusia dan alam seisinya. Di balik setiap izin, ada wajah yang harus kita lindungi. Dan hanya dengan memandang wajah itu, kita bisa tetap menjadi manusia.
Edisi Khusus Sumitro Djojohadikusumo ini didukung oleh:
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.