Maluku Utara dan Eksperimen Hilirisasi


Narasi besar kebijakan pemerintah yang memfokuskan pada hilirisasi rupa-rupanya potensial mengalami keterpatahan empiris. Apa yang terjadi secara faktual di berbagai daerah menjelaskan fakta itu. Hilirisasi minerba yang digagas Presiden Jokowi mengalami anomali, tidak mewartakan karakter kerakyatan sebagaimana yang diharapkan. Berbagai paket investasi ambisius ternyata belum mampu mengangkat martabat ekonomi masyarakat. Inilah yang terjadi secara nyata di Maluku Utara, sebuah provinsi yang kaya dengan nikel. Primadona sumber daya mineral ini dikeruk dengan masif, namun menyisakan luka bagi rakyat di sekitarnya.
Postulat Hilirisasi
Hilirisasi selalu bersandar pada argumen pokok: peningkatan nilai tambah. Tetapi sisi positif ini tidak berarti hilirisasi nihil kritik (Ostensson dan Lof, 2017). Meskipun biaya transportasi seringkali menjadi argumen yang mendukung keunggulan hilirisasi, faktor teknis lainnya—seperti skala ekonomi, ketersediaan bahan baku, ukuran pasar domestik, dan jarak ke pasar konsumen—dapat mengungguli keunggulan alami tersebut. Bahkan secara paradoksal, beberapa negara maju kurang fokus dalam hilirisasi. Contohnya adalah Australia dalam komoditas bauksit dan bijih besi, Chile dalam tembaga, dan Swedia dalam bijih besi.
Selain itu, hilirisasi di Indonesia belum sampai ke tahap industrialisasi. Peningkatan nilai tambah hanya sebatas mengonversi barang mentah menjadi barang setengah jadi. Semua pabrik pemurnian (smelter) hanya mengubah sebagian fungsionalitas dari komoditas ekstraktif, tidak sampai menjadi barang siap pakai. Namun begitu, pengarusutamaan hilirisasi menjadi pilihan kebijakan progresif dan berdampak bagi ekonomi, utamanya pendapatan negara dan daerah.
Berdasarkan Laporan Kementerian ESDM (2025), realisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Minerba mengalami lonjakan mulai tahun 2022. Jika dibandingkan tahun 2021, misalnya, kontribusi minerba hanya Rp75 triliun. Ini memang sudah jauh lebih besar ketimbang tahun-tahun sebelumnya. Namun besaran PNBP selama tiga tahun terakhir justru mengalami penurunan. Pada 2022, negara mampu mendapatkan Rp180,44 triliun, menurun menjadi Rp Rp172,13 triliun pada 2023 dan Rp140,26 triliun pada 2024.
Tetapi paradoks muncul. Kontribusi nikel terhadap total PNBP minerba mengalami divergensi. Lonjakan PNBP pada 2022 justru tidak ditopang oleh hilirisasi nikel. Faktanya, dari 93,73 juta ton nikel yang ditambang, hanya 18,14 juta ton yang diolah atau realisasinya hanya 19%. Smelterisasi nikel mengalami optimalisasi pada tahun 2023 yang mampu menambang 175,6 juta ton dan semuanya diolah (100%). Hal yang sama terjadi pada 2024 dimana dari 176 juta ton nikel yang ditambang, semuanya mengalami pemurnian.
Nikel dan Maluku Utara
Potensi nikel di Indonesia tidak terdapat di semua wilayah. Namun sumbangsih sub-sektor ini terhadap perekonomian daerah sangat signifikan. Hal ini terjadi, khususnya, di Maluku Utara. Badan Pusat Statistik (2025) mencatat pada tahun 2024, industri pengolahan dan pertambangan berkontribusi 52,44 persen terhadap produk domestik regional bruto (PDRB). Fakta ini menandaskan perekonomian Maluku Utara sangat bergantung dengan industri ekstraktif, khususnya nikel.
Di sisi lain, dalam catatan Kementerian Keuangan (2025), pertumbuhan kedua komponen pembentuk PDRB ini sangat tinggi. Industri pengolahan mencapai pertumbuhan tahunan yang impresif sebesar 75,3%, terutama didorong oleh hilirisasi nikel. Secara tahunan, ferronickel tumbuh 33,5%, nickel matte (137,45%), serta MHP (mixed hydroxide precipitate) yang melonjak 101,67%. Hal itu sejalan dengan pertumbuhan tahunan sektor pertambangan dan penggalian sebesar 48,38%. Fakta ini juga menjelaskan smelterisasi ini Maluku Utara berjalan dengan maksimal.
Dalam hal investasi, kontribusi nikel juga sangat tinggi. Dalam Laporan Kementerian Investasi/BKPM, sebanyak 99,5% dari Rp57,6 triliun investasi di Maluku Utara pada 2024 tertuju untuk hilirisasi nikel. Ini ekuivalen dengan 37,41% dari total investasi nikel di Indonesia. Pada 2023, nilai investasinya bahkan pernah berada di angka Rp74 triliun.
Oleh karenanya, tidak mengherankan jika pertumbuhan ekonomi Maluku Utara sangat tinggi, tertinggi di Indonesia. Kementerian Keuangan (2025) mencatat pada awal 2025 Maluku Utara mampu tumbuh 34,58% (yoy), jauh melampaui rata-rata nasional yang hanya tumbuh 4,87%. Secara kumulatif tahunan, Maluku Utara mampu tumbuh 13,73% pada tahun 2024, 20,49% (2023), dan 22,94% (2022).
Namun demikian, besarnya investasi dan tingginya pertumbuhan ekonomi belum mampu menjamin peningkatan kemakmuran rakyat. Selama lima tahun terakhir Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Maluku Utara selalu lebih rendah dari rerata nasional. Pada 2020, misalnya, IPM Maluku Utara tercatat berada pada angka 68,49. Angka lebih rendah dari rerata nasional yang mencapai angka 71,94. Pada 2024 juga kondisinya sama. Maluku Utara hanya mencatat angka IPM pada 71,03, lebih rendah dari angka nasional yang mencapai 74,2.
Padahal, IPM adalah indikator untuk menilai apakah pembangunan itu berdampak. Jika pertumbuhan yang meroket hanya menghasilkan IPM yang melandai, tentu arah pembangunan belum berjalan dengan seharusnya. Dengan tingginya pertumbuhan, berarti aktivitas ekonomi di wilayah itu melejit. Pendapatan rakyat meninggi, daya beli juga meroket. Pada akhirnya kesejahteraan rakyat membaik. Teorinya demikian.
Selain itu, terjadi fluktuasi dalam penciptaan lapangan kerja. Pada awal 2025, tingkat pengangguran terbuka (TPT) justru mengalami kenaikan ketimbang sebelumnya. Naik dari 4,16 menjadi 4,26. Artinya, kesempatan kerja bagi penduduk lokal dalam histeria tambang mengalami penyempitan. Ini menandaskan ekonomi Maluku Utara bersifat ekstraktif, yakni kekayaan dan sumber daya hanya dinikmati segelintir elit, tidak bagi publik (Acemoglu dan Robinson, 2012).
Tantangan bagi Pemerintahan Baru
Terpilihnya Sherly Tjoanda sebagai Gubernur Maluku Utara dimulai dengan euforia. Pemimpin pertama di daerah itu yang punya latar minoritas berganda. Ini tentu menjadi sejarah baru. Akan tetapi, euforia yang tidak berjangka waktu hanya menjebak pada keterlenaan, ujungnya kegagalan dalam mewujudkan kebijakan yang berdampak. Ini menjadi tantangan awal bagi pemimpin baru di tanah yang kaya akan tambang.
Dengan gempita industri ekstraktif, pemerintah punya tantangan mendasar dalam menghindari kutukan sumber daya (resource curse), yakni paradoks kelimpahan dan kegagalan mendorong kemajuan ekonomi (Auty, 1993). Kebijakan hilirisasi memang membantu negara naik dalam rantai nilai, menghasilkan produk bernilai tambah lebih tinggi, dan memperkuat perekonomian lokal (Chen, dkk, 2025). Namun, lagi-lagi, postulat ini mesti berdampak nyata bagi rakyat.
Di sinilah peran kunci pemerintah memastikan redistribusi pendapatan dari sektor pertambangan digunakan untuk ekonomi berkelanjutan dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Hal paling utama adalah memastikan semua penerimaan tersebut digunakan untuk pendanaan program-program berdampak, tidak menjadi sumber bancakan. Jika ini mampu diwujudkan oleh gubernur baru, maka mungkin untuk optimis: kekayaan alam Maluku Utara bukanlah kutukan, namun berkah.
Edisi Khusus Sumitro Djojohadikusumo ini didukung oleh:
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.