Peran Rasa Takut dan Ancaman di Balik Perang Israel - Iran


Eskalasi konflik Israel - Iran menyibak satu proyeksi geopolitik paling mengerikan: ancaman bom nuklir. Meski sama-sama diafirmasi sebagai senjata mematikan, keberadaannya sulit dimusnahkan.
Sepanjang bom nuklir eksis, sepanjang itu pula kekhawatiran akan penggunaannya terus mengintai. Bahaya nuklir secara konstan mengancam kehidupan umat manusia selama komitmen untuk mencegah proliferasinya tidak pernah diindahkan. Dunia hanya butuh pemimpin sembrono dan gegabah untuk menyulut perang nuklir menjadi kenyataan.
Sementara itu, Perang Dunia Ketiga amat berpotensi dimulai dari perang Israel-Iran ini. Perang ini semakin mempertajam friksi antarblok politik yang sudah terbentuk sebelumnya. Riwayat panjang konflik keduanya juga berpotensi memuntahkan akumulasi kepingan dendam menjadi bencana besar.
Pasalnya, dalam kondisi perang, kita tidak bisa sepenuhnya mengharapkan kehadiran pemimpin yang arif. Kearifan, meski diharapkan muncul saat perang, acapkali dikalahkan oleh rasa benci dan geram. Amarah lebih cenderung menjadi panglima tertinggi sewaktu perang berkecamuk. Sedangkan kebijaksanaan, seringkali dikesampingkan.
Narasi ini tidak dimaksudkan untuk menakut-nakuti atau melebih-lebihkan. Situasi ini adalah kondisi faktual, apa adanya, yang harus sebisa mungkin dihadapi umat manusia sebagai kepahitan maksimum dari takdir kehidupan. Perang, kekerasan, dan pembunuhan, telah ada, sepurba manusia menjejakkan kakinya di muka bumi.
Realita hubungan antarnegara tidak selamanya berjalan manis. Kadang perang, kadang damai. Sialnya, kecenderungan paling pahit dari peperangan: kemusnahan, adalah probabilitas yang akan selalu hadir di tengah-tengah kita. Tidak ada hukum absolut yang menjamin kecenderungan manusia – sebagai makhluk rasional – untuk tidak terlibat dalam perang paling mematikan. Rasionalitas manusia selalu rentan dan tak kuasa bertahan dari gempuran emosi dan ambisi.
Menghindari eskalasi perang mematikan antara Israel dan Iran tentu menjadi tugas berat yang saat ini kita hadapi. Bukan saja karena dendam akibat perbedaan kepentingan nasional di antara keduanya telah lama terpendam, tapi masing-masing aktor faktanya tiada henti menyimpan rasa takut luar biasa mengenai persepsi masing-masing tentang lawan dan ancaman.
Mearsheimer (2001), dalam magnum opusnya The Tragedy of Great Power Politics pernah berkata, “Seberapa besar negara saling takut sangatlah penting, karena tingkat ketakutan di antara mereka sangat menentukan (derajat) kesengitan kompetisi keamanan mereka, serta kemungkinan mereka akan berperang. Semakin besar rasa takut, semakin sengit pula kompetisi keamanan, dan semakin besar peluang terjadinya perang.”
Persepsi Ancaman
Dalam beberapa dekade ke belakang, upaya Iran untuk terus meningkatkan kapasitas nuklir dan manuver rudalnya telah menciptakan ketakutan tak terkira di internal Israel. Ancaman Iran dianggap sebagai ancaman eksistensial dan konstan. Kedekatan wilayah di antara keduanya memperparah beban ketakutan itu. Ancaman ini semakin besar di tengah dugaan Iran banyak membantu kelompok-kelompok proxy lainnya di kawasan.
Selama Iran tidak menghentikan program nuklirnya, serta komitmen memperkuat proxy-nya, selama itu pula Israel akan terus merasa terancam. Ketenangan menjadi harga mahal yang harus Israel bayar di tengah kebangkitan kekuatan Iran dan polarisasi ancaman di sekelilingnya. Satu-satunya cara lari dari rasa takut berkepanjangan tak lain melalui perang yang akhirnya ia lancarkan. Ya, Israel akhirnya memilih untuk mengobarkan perang!
Invasi Israel ke jantung kota Teheran pada Jumat, 13 Juni 2025, mendasari operasi militer menghilangkan ancaman permanen yang ia persepsikan. Rasa takut, sekali lagi, sukses mendorong perang berkobar. Ironisnya, takut pada ancaman melebihi rasa takut pada perang itu sendiri.
Tak bisa dipungkiri, rasa takut dan ancaman yang dirasakan oleh dua aktor atas ketidakpastian niat masing-masing lawan di masa depan menjadi penyebab utama terjadinya intensitas ketegangan. Bukan hanya di pihak Israel semata, namun juga Iran. Iran menyimpan perasaan serupa tentang ancaman!
Iran merasa eksistensi Israel di wilayah Palestina sama mengancamnya karena ia adalah seteru yang berbahaya. Kehadirannya tak diinginkan sebab, pertama, Israel dipandang sebagai negara boneka yang keberadaannya lebih merepresentasikan kepentingan barat. Kedua, Israel dianggap sebagai penjajah yang hidup secara ilegal di tanah bangsa Palestina yang merdeka. Ancaman penjajah dan status pion bagi kepentingan lawan mendasari momok kengerian Iran.
Tapi kengerian Iran tidak hanya berhenti di situ. Status Israel yang terbukti autentik memiliki nuklir, semakin memperbesar bobot rasa takut yang Iran rasakan. Hal inilah yang menjadi pertimbangan utama Iran di balik pengembangan nuklir domestiknya. Rasa takut, sekali lagi, berhasil mendasari motif negara untuk saling unjuk kekuatan. Agar, mereka tetap bertahan dalam struktur dunia yang anarki.
Perang yang Kompleks
Konflik Israel-Iran semakin kompleks karena kalkulasi atas kondisi faktual level kekuatan masing-masing negara tampak kabur.
Dalam penjelasannya soal dinamika pra-kondisi perang, Mearsheimer (2001) menyinggung bahwa tidak ada satu pun aktor yang benar-benar mampu membaca kondisi kekuatan masing-masing lawan secara utuh. Membaca kondisi aktual lawan secara jeli menurutnya merupakan perkara pelik. “Negara hampir tidak pernah memiliki informasi yang lengkap atas situasi apa pun yang mereka hadapi,” kata Mearsheimer.
Itulah gambaran yang saat ini terjadi. Israel menaksir Iran masih dalam tahap pengembangan nuklir yang belum sempurna penuh, sehingga menyerang Iran di masa-masa sekarang dipandang menjadi waktu termujurnya.
Meski langkah penyerangan pendahuluan bisa dibilang strategik, namun satu hal yang disepelekan Israel dari kalkulasi taktis perang ini adalah ia tampak mengenyampingkan kohesivitas persekutuan yang semakin erat antara Iran dengan Rusia, Cina, juga Korea Utara – dalam perkembangan geopolitik pada dekade ini.
Kohesi ketiganya semakin menguat di tengah rivalitas dan kompetisi antarblok kekuatan politik dunia yang semakin kentara. Kemunculan BRICS, Perang Rusia-Ukraina, Perang Tarif AS-Cina, serta strategi pengepungan AS terhadap “Kebangkitan Cina” lewat ragam jejaring strategis seperti QUAD dan AUKUS, menjadi kepingan momentum geopolitik yang semakin memperkuat jalinan aliansi Iran-Rusia-Cina. Ketiganya menjadi representasi anti-blok barat paling vokal. Fragmentasi bisa saja terjadi, namun tidak akhir-akhir ini.
Dalam banyak pemberitaan, Iran bahkan dicurigai terlibat membantu Rusia dalam peperangannya dengan Ukraina. Dan bukan tidak mungkin Rusia akan melakukan hal yang sama.
Selain itu, Cina juga membutuhkan mitra setia untuk kepentingan reunifikasi Taiwan di masa depan. Dan bukan tidak mungkin, Cina akan terlibat membantu Iran secara diam-diam.
Membantu sekutu dalam dunia yang terbelah menjadi kewajiban dan bentuk komitmen mitra aliansi untuk bisa saling menopang dan menguatkan supaya survivalitas di antara mereka bisa terjamin.
Seandainya Israel dengan gegabah dan bersikeras memutuskan membombardir Iran dengan bom nuklir, respons balasan serupa berpeluang datang dari mitra Iran yang lain. Dan kondisi ini akan semakin membuat runyam kondisi geopolitik global sebab kemungkinan aktor-aktor yang beragam di luar kawasan untuk terlibat amat besar.
Jalan dan Solusi
Mungkin, jalan terbaik menghindari eskalasi nuklir Israel-Iran saat ini adalah melalui dukungan moral yang tak memihak dan dorongan substansial urgensi ‘peredaan’ ketegangan dari para negara sahabat. Juga, upaya Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk segera mungkin mengambil langkah pencegahan agar perang tidak berkelanjutan. Inilah satu-satunya cara paling logis dan paling memungkinkan. Setidaknya untuk saat ini.
Kita harus ingat pesan Mearsheimer (2021) saat dirinya membahas pencegahan paling rasional dalam proyeksi rivalitas AS-Cina di masa depan. Kata Mearsheimer, “…para pembuat kebijakan AS harus terus menerus mengingatkan dirinya – dan para pemimpin Cina – tentang kemungkinan eskalasi nuklir yang selalu ada di masa perang”.
Saran Mearsheimer amat berharga untuk juga ikut digemakan dalam kompleksitas konflik Israel-Iran saat ini. Bahwa kedua negara, mengacu pada pesan Mearsheimer tadi, juga harus terus menerus diperingatkan akan munculnya bahaya konflik nuklir jika ketegangan di antara mereka tidak segera dihentikan.
Eskalasi yang dibiarkan, selain menambah jumlah korban, juga mempertebal dendam. Dendam, bila tidak segera dihentikan akan melahirkan depresi dan keputusasaan. Pemimpin-pemimpin yang sembrono selalu berpotensi muncul di tengah depresi dan keputusasaan.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.