Hilirisasi Nikel dan Peminggiran Masyarakat Lokal


Hilirisasi menjadi tema yang kembali hangat diperbincangkan di media sosial. Apalagi, setelah munculnya pemberitaan adanya aktivitas penambangan nikel di Raja Ampat, Papua Barat. Salah satu destinasi wisata yang dianggap banyak orang sebagai surganya Indonesia. Di sana terkenal akan keindahan alam serta pusat keanekaragaman hayati dunia. UNESCO juga mengakui bahwa wilayah tersebut sebagai geopark global.
Pada sisi lain, bagi Indonesia, nikel memiliki tempat khusus. Data Kementerian Ekonomi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan Indonesia sebagai negara dengan produksi bijih nikel terbesar di dunia. Sulawesi, Maluku, dan Papua adalah pulau yang memiliki cadangan nikel terbesar. Dengan cadangan sekitar 23,7% maka melalui hilirisasi nikel ini, diharapkan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Sesuai dengan salah satu langkah besar dalam Asta Cita pemerintahan Prabowo. Harapannya, kebijakan ini bukan hanya sebagai strategi ekonomi. Lebih dari itu, adalah langkah penting dalam menghadirkan ekonomi yang inklusif, menciptakan lapangan kerja berkualitas, pemerataan pembangunan, dan keadilan sosial.
Keterlibatan yang Terbatas
Namun, laporan dari Center of Economic and Law Studies (2024) menunjukkan anggapan sebaliknya. Hilirisasi nikel justru meminggirkan masyarakat lokal. Berdasarkan laporan itu, masyarakat lokal di sekitaran industri hilirisasi nikel yang cenderung masih tradisional tetap melakukan pekerjaan mereka. Yang bertani masih ke sawah dan nelayan masih harus ke laut untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Peminggiran itu juga terlihat dari adanya tenaga kerja lokal yang diambil dari provinsi yang lain. Padahal, salah satu harapan dari adanya kebijakan tersebut adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal di sekitaran industri hilirisasi nikel.
Secara sosiologis, kondisi itu mencerminkan adanya perbedaan habitus masyarakat lokal dengan kegiatan hilirisasi nikel. Habitus, menurut Bourdieu (1998) adalah hasil keterampilan yang menjadi tindakan praktis yang kemudian diterjemahkan menjadi suatu kemampuan yang kelihatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu. Lebih lanjut, habitus menghasilkan perbedaan gaya hidup dan praktik-praktik kehidupan. Contohnya masyarakat dengan karakteristik pertanian, maka akan mengembangkan kemampuan/keahlian, gaya hidup, maupun praktik-praktik kehidupan dalam bidang pertanian.
Oleh karena itu, apabila dihadapkan dengan hilirisasi nikel yang merupakan industri ekstraktif, maka masyarakat lokal akan mengalami kesulitan. Pada dasarnya, diperlukan keahlian yang cukup kompleks dalam industri ekstraktif. Sedangkan, keahlian masyarakat lokal kurang mendukung. Pada akhirnya, keterlibatan masyarakat lokal dari adanya hilirisasi nikel masih terbatas.
Pembangunan Inklusif
Tampaknya, logika pembangunan yang diambil oleh pemangku kebijakan masih mengedepankan prinsip trickle down effect. Yaitu, anggapan yang mengatakan bahwa pembangunan akan memberikan peluang terhadap daya serap tenaga kerja. Termasuk dalam konteks hilirisasi nikel ini. Namun, kenyataannya, masyarakat lokal yang terkena langsung dampak pembangunan cenderung menjadi korban. Karena kurang memiliki keahlian yang dibutuhkan. Perbedaan keahlian maupun praktik-praktik kehidupan masyarakat lokal harus diperhatikan. Dengan demikian, masyarakat lokal dapat menikmati adanya hilirisasi nikel pada daerah mereka.
Oleh karena itu, perlu paradigma pembangunan yang inklusif agar keterlibatan masyarakat lokal semakin meningkat. Alih-alih mengambil pekerja dari luar daerah terdampak, pemangku kebijakan seharusnya membekali masyarakat lokal dengan keahlian sesuai kebutuhan hilirisasi nikel. Dengan kata lain, berbagai pelatihan untuk meningkatkan keahlian dalam industri ekstraktif penting untuk diberikan.
Maka, seiring pembangunan sarana fisik untuk produksi, penyiapan sumber daya manusia lokal juga tidak boleh dikesampingkan. Sehingga, masyarakat lokal akan lebih siap dan ikut terlibat dalam proses hilirisasi nikel tersebut. Adanya kesiapan masyarakat lokal akan berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan. Karena, esensi pembangunan adalah menyejahterakan masyarakat. Pada akhirnya, masyarakat lokal tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga dapat menikmati adanya hilirisasi nikel yang sedang digencarkan itu. Dengan demikian, logika trickle down effect tersebut akan sesuai harapan.
Edisi Khusus Sumitro Djojohadikusumo ini didukung oleh:
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.