Ancaman Generasi yang Hilang akibat Resesi Ekonomi


Ekonomi Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Angka pengangguran terus bertambah akibat gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK). International Monetary Fund (IMF) dalam World Economic Outlook edisi April 2025 menunjukkan, Indonesia memiliki angka pengangguran tertinggi di ASEAN.
Total jumlah pengangguran secara nasional mencapai 7,28 juta orang per Februari 2025. Kelompok usia 15-24 tahun memiliki proporsi tertinggi sebanyak 16,6%. Sedangkan di rentang usia 25-59 tahun berada di angka 3,04%. Anak-anak muda yang termasuk dalam angkatan kerja produktif—terutama generasi Z—paling terkena dampaknya. Angka ini dapat bertambah seiring banyak perusahaan yang melakukan PHK.
Selain dihadapkan pada persoalan PHK, penduduk muda juga menyaksikan Indonesia yang berada di tubir jurang resesi karena perlambatan pertumbuhan ekonomi, menurunnya daya beli masyarakat, hilangnya kelas menengah, dan deindustrialisasi.
Anak-anak muda mendapati masa transisi mereka sebagai seorang dewasa (come of age) penuh dengan ketidakpastian—baik dari segi karier, finansial, dan kehidupan personal. Mereka akan tumbuh dengan kondisi psikis yang diliputi disorientasi kognitif dan sosial, kekecewaan mendalam (disillusionment), kemuraman, kecemasan, hingga keputusasaan.
Situasi demikian bukan hal baru dalam realitas ekonomi politik. Generasi yang tumbuh di tengah keadaan yang tidak menguntungkan ini, pada akhirnya disebut sebagai generasi yang hilang (the lost generation).
Istilah “The Lost Generation” dicetuskan Gertrude Stein, penulis berkebangsaan Amerika yang tinggal di Paris sekitar 1920-an. Frase ini dipakai untuk merujuk pada generasi yang hilang di Eropa. Mereka adalah anak-anak muda yang tumbuh dewasa saat perang dunia pertama (1914-1918). Perang telah menimbulkan korban lebih 30 juta jiwa, serta menyebabkan kelaparan dan kemiskinan. Anak-anak muda berada dalam situasi ketidakpastian karena tidak adanya masa depan akan karier, pendidikan, dan pengembangan personal.
Dengan kata lain, mereka “hilang” karena jejak eksistensialnya dalam lintas sejarah dianggap nihil akibat kekacauan—terutama sosial, politik dan ekonomi. Keadaan yang tidak memungkinkan mereka untuk berkarya hingga menorehkan capaian yang monumental di berbagai bidang yang memberikan tonggak penting bagi peradaban sebuah negara-bangsa.
Di Amerika Serikat, generasi yang hilang kerap diasosiasikan mereka yang hidup saat terjadi depresi ekonomi (the great depression) pada 1930-an. Mereka disebut sebagai generasi senyap (silent generation).
Jepang pernah mengalami situasi serupa pada dekade 1990-an hingga 2005. Ketika itu, gelembung ekonomi akibat resesi berkepanjangan menyebabkan stagnasi ekonomi. Anak-anak muda Jepang kesulitan memperoleh pekerjaan, yang terjadi justru marak PHK, dan ketidakpastian sosial dan ekonomi merundung generasi X.
Saat itu, mereka merupakan angkatan kerja baru. Akibat sulit mendapat pekerjaan tetap, jaminan kesehatan, serta memiliki tabungan pensiun, banyak di antara mereka yang memilih mengisolasi diri. Mereka mengalami depresi berkepanjangan dan menjauhkan diri dari lingkungan sosial karena merasa gagal dan tidak berguna di tengah masyarakat, sehingga dapat dikategorikan sebagai the lost generation.
Anak-anak muda lebih rentan untuk mengalami kondisi tanpa harapan akan masa depan, termasuk di Indonesia. Mereka terjebak dalam pengangguran akibat lesunya perekonomian. Menurut Rothstein (2020), kesulitan mereka keluar dari krisis akibat ketidakmampuan untuk mengikuti perubahan dunia kerja dan struktur pasar tenaga kerja.
Dunia telah berubah begitu cepat. Bahkan, revolusi teknologi telah diproyeksikan menyebabkan banyak orang kehilangan pekerjaan. Artinya, untuk bisa keluar dari krisis ini diperlukan upaya akselerasi yang luar biasa untuk beradaptasi pada tuntutan zaman yang ditandai dengan berubahnya pasar.
Dalam menghadapi ancaman the lost generation ini, Indonesia perlu segera memperbaiki tata kelola negara. Bukan hanya dari sisi perekonomian, dengan mendongkrak industrialisasi, tetapi juga menghilangkan praktik korupsi yang telah mengakar. Di sisi lain, pemerintah perlu memperhatikan turunnya kualitas demokrasi yang menyebabkan kepercayaan investor luntur.
Kondisi ini dapat berakibat pada minimnya lapangan pekerjaan. Dampaknya, jutaan generasi muda Indonesia mengalami kecemasan dan berpikir bahwa mereka tidak memiliki masa depan. Jika ini berlangsung lama, the lost generation bakal benar-benar terjadi di Indonesia.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.