Kolonialisme Ekologis: Hijau di Negeri Sendiri, Gersang di Negeri Orang

Image title
Oleh Mohammad Kholid Ridwan
23 Juni 2025, 07:05
Mohammad Kholid Ridwan
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Tiongkok mendapat pujian global atas proyek ambisius penghijauan Gurun Gobi yang berhasil menurunkan laju penggurunan sebesar 3,3 juta hektare dalam dua dekade terakhir. Namun pada saat yang sama, perusahaan-perusahaan Tiongkok justru memperluas operasi tambang di kawasan tropis, termasuk Indonesia. 

Di Sulawesi, proyek smelter dan pertambangan nikel menyebabkan deforestasi lebih dari 10.000 hektare hutan sejak 2015. Raja Ampat pun tak luput: eksplorasi nikel mengancam ekosistem yang merupakan salah satu pusat keanekaragaman hayati laut dunia. Padahal, Raja Ampat bukan hanya rumah bagi lebih dari 1.400 spesies ikan dan 600 jenis terumbu karang, tetapi juga menjadi tumpuan hidup komunitas adat yang telah menjaga wilayah ini secara turun-temurun. 

Protes dari masyarakat adat Beser dan laporan WALHI Papua Barat menunjukkan bahwa ekspansi industri ekstraktif di kawasan ini mengabaikan prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC), dan berisiko merusak tatanan ekologis yang telah lama terjaga.

Fenomena ini bukan hanya terjadi karena Tiongkok. Jepang, Uni Eropa, dan Amerika Serikat pun menjalankan praktik serupa. Jepang, misalnya, masih mendanai lebih dari 30 proyek PLTU berbasis batu bara di Asia Tenggara meskipun mengklaim menjalankan transisi hijau di dalam negerinya. 

Uni Eropa memberlakukan aturan ketat atas deforestasi, tetapi terus mengimpor produk dari sawit dan kedelai yang ditanam di kawasan yang telah mengalami konversi hutan. Amerika Serikat, meskipun menjadi pemimpin dalam retorika dekarbonisasi, tetap mengandalkan pasokan kobalt dari Republik Demokratik Kongo, di mana lebih dari 40 ribu anak bekerja dalam kondisi berbahaya di tambang-tambang kecil.

Kebutuhan energi bersih global justru mendorong peningkatan eksploitasi mineral strategis di negara-negara berkembang. Indonesia memasok sekitar 30% nikel dunia, Argentina dan Bolivia menyumbang lebih dari 60% litium global, dan 70% kobalt berasal dari Afrika Tengah. Namun, laporan dari Global Witness dan Human Rights Watch menunjukkan bahwa proyek-proyek ini sering tidak melibatkan masyarakat lokal secara adil, menimbulkan konflik lahan, dan merusak sumber daya air.

Ini adalah bentuk baru dari kolonialisme ekologis: ketika negara maju mempertahankan kelestarian lingkungannya sendiri sambil mengekspor beban ekologis ke selatan global. Jika pada masa lalu kekuasaan dibangun lewat penaklukan dan perbudakan, kini melalui skema investasi, pinjaman, dan proyek-proyek infrastruktur besar yang berpihak pada korporasi.

Kolonialisme belum benar-benar berakhir—ia hanya berganti wajah. Kini ia hadir dalam kebijakan dagang, konsesi sumber daya, dan kontrak multinasional yang tidak transparan. Dunia belum bergerak ke arah yang lebih setara; sebaliknya, krisis iklim dan krisis energi justru memperdalam ketimpangan struktural antara negara maju dan berkembang. Ketika negara-negara Utara sibuk menurunkan emisi karbonnya, negara-negara Selatan harus menanggung konsekuensi dari ekstraksi dan pencemaran demi memenuhi kebutuhan industri global.

Dalam konteks ini, kita memerlukan visi penataan ulang ekologi global—suatu tatanan yang menempatkan hak-hak bumi dan hak masyarakat lokal sebagai prinsip utama, bukan sekadar dampak sampingan. Salah satu pendekatan inspiratif datang dari filosofi Buen Vivir di Amerika Latin, yang menekankan harmoni antara manusia dan alam serta pengakuan atas hak-hak kosmos. 

Sejalan dengan itu, Naomi Klein dalam bukunya This Changes Everything menegaskan bahwa “What the climate needs to avoid collapse is a contraction in humanity's use of resources. What our economic model demands to avoid collapse is unfettered expansion. Only one of these sets of rules can be changed.”

Hari Menentang Penggurunan dan Kekeringan pada 17 Juni seharusnya jadi momentum untuk melihat kembali akar-akar struktural dari degradasi lahan. Gurun bukan hanya hasil alam, tapi juga hasil kebijakan yang tak adil. Pembangunan yang tak berpijak pada ekologi dan hak masyarakat lokal akan selalu menciptakan “gurun sosial”—ruang hidup yang hilang, suara yang dibungkam, dan masa depan yang rapuh.

Transisi energi memang niscaya. Namun adilkah bila yang menikmati mobil listrik di kota-kota Eropa dan Asia Timur, sementara yang menanggung polusi dan kehilangan tanah adalah masyarakat adat di pedalaman Indonesia dan Afrika?

Kita butuh model pembangunan yang lebih adil: yang tidak hanya berorientasi pada pertumbuhan, tetapi juga keseimbangan ekologi dan sosial. Jika tidak, hijau hanya akan jadi label, dan kolonialisme akan terus berlanjut dalam wujud yang lebih rapi namun tetap merusak. 

Sebagaimana dikatakan oleh Vandana Shiva, fisikawan dan ekolog asal India: “The ecological crisis is a political crisis. The solutions must be democratic and rooted in justice—justice for the Earth and justice for people.” 

Pernyataan ini menjadi pengingat bahwa perjuangan lingkungan bukan hanya urusan teknokratis atau ilmiah, tetapi juga perjuangan politik untuk keadilan. Masyarakat global tidak cukup hanya menanam pohon di negerinya sendiri; mereka juga harus bertanggung jawab atas jejak ekologis yang ditinggalkan di negeri orang.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Mohammad Kholid Ridwan
Mohammad Kholid Ridwan
Dosen dan Peneliti Senior Universitas Gadjah Mada

Edisi Khusus Sumitro Djojohadikusumo ini didukung oleh:

Logo Edisi Khusus Sumitro Djojohadikusumo

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...