Menghadang Greenwashing di Era Keberlanjutan

Image title
Oleh Ditto Santoso
20 Juni 2025, 07:05
Ditto Santoso
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Dalam beberapa tahun terakhir, isu greenwashing menjadi sorotan publik seiring dengan semakin banyak perusahaan yang mengklaim ramah lingkungan. Di Indonesia, salah satu contoh satu kasus yang mengemuka belakangan ini adalah aktivitas eksploitasi tambang nikel di gugus kepulauan di ujung timur negeri. 

Di tengah narasi global tentang transisi energi dan kebutuhan bahan baku nikel untuk produksi baterai kendaraan listrik, beberapa perusahaan tambang menampilkan citra sebagai bagian dari solusi energi bersih. Namun, di sisi lain, aktivitas pertambangan yang dilakukan justru merusak ekosistem laut yang menjadi sumber penghidupan masyarakat lokal dan kawasan konservasi penting. Narasi hijau yang dibangun seakan menutupi konsekuensi sosial dan lingkungan yang ditimbulkan. 

Kasus serupa juga pernah terjadi di sektor lainnya. Pada September 2015, sebuah perusahaan pembuat mobil asal Jerman diketahui menggunakan perangkat lunak untuk mencurangi uji emisi di Amerika Serikat terhadap 11 juta unit kendaraan bermesin diesel yang dipasarkan antara 2009 dan 2015. Perangkat lunak tersebut mendeteksi kondisi apakah kendaraan sedang menjalani uji emisi, lalu menyalakan panel elektronik untuk mengendalikan kinerja mesin dan perangkat kendali emisi sedemikian rupa sehingga emisi yang dikeluarkan berada dalam jangkauan batas aman. 

Hal ini mengakibatkan mobil-mobil tersebut lolos uji EPA (United States Environmental Protection Agency). Perusahaan ini meminta maaf atas tindakan tersebut dan menghadapi tindakan-tindakan pidana, penyelidikan peraturan, dan tuntutan atas tindakan kolektif di beberapa negara.

Medio 2021, sebuah LSM lingkungan di Amerika mengajukan gugatan terhadap perusahaan minuman multinasional asal Amerika, atas penggambaran yang dipandang salah dan menipu sebagai perusahaan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Menurut lembaga tersebut, produsen minuman itu menghasilkan lebih banyak polusi plastik daripada perusahaan lain di dunia. 

LSM lingkungan ini mengajukan kasus tersebut di Pengadilan Tinggi Distrik Columbia, dengan tuduhan bahwa mereka melanggar Undang-Undang Prosedur Perlindungan Konsumen (Consumers Protection Procedure Act/CPPA) Distrik Columbia. Pada Agustus 2024, pengadilan membatalkan gugatan tersebut. Menurut pengadilan, satu pernyataan saja tidak dapat dituntut berdasarkan CPPA.

Berkaca dari sejumlah kasus tersebut, inisiatif-inisiatif keberlanjutan perusahaan yang dikomunikasikan atau diklaim secara berlebihan (overclaim) justru memberikan dampak negatif bagi perusahaan. Misalnya, kerusakan reputasi, liputan negatif dari media, konsekuensi legal, serta dampak finansial seperti denda, tuntutan, sanksi, dan pengaruh pada pasar. Praktik-praktik ini umumnya disebut sebagai greenwashing.

Memahami Greenwashing

Greenwashing dipahami sebagai “pendekatan strategis” yang digunakan korporasi untuk menekankan inisiatif mereka yang diduga ramah lingkungan. Cara ini dilakukan untuk meyakinkan konsumen tentang manfaat ekologi produk mereka, namun melaporkan secara tidak memadai kekurangan apa pun yang terkait. Taktik ini bertujuan untuk menumbuhkan persepsi yang menguntungkan di antara konsumen, sehingga menghasilkan dampak yang bermanfaat pada keputusan pembelian mereka (Lyon dan Montgomery, 2015).

Istilah greenwashing  dikemukakan pertama kali pada 1986 oleh Jay Westerveld, seorang aktivis lingkungan hidup dari bagian utara New York. Jim Montavalli dalam artikelnya berjudul “A History of Greenwashing: How Dirty Towels Impacted the Green Movement” yang dimuat di Daily Finance pada 12 Februari 2011 menceritakan bagaimana Jay Westerveld menemukan istilah ini. 

Jay menginap di sebuah hotel di Fiji yang meminta tamu-tamunya untuk menggunakan kembali handuk dengan alasan demi menyelamatkan alam. Penggunaan kembali handuk ini dipandang oleh pihak hotel hanya sebagai kebijakan untuk mengurangi biaya operasional. Sementara, hotel itu juga sedang melakukan tahap perluasan bangunan yang dapat merusak lingkungan sekitar. 

Sejak saat itu, greenwashing menjadi istilah umum untuk berbagai praktik manipulatif serupa yang dimungkinkan terjadi karena beberapa sebab, seperti kebutuhan pasar, celah regulasi, kompetisi, dan keuntungan finansial.

Aktivitas greenwashing dapat dikategorikan dalam beberapa jenis berikut ini (Wills et al, 2023):

  1. Greenlighting: Menyoroti sebuah upaya keberlanjutan yang minim untuk mengalihkan perhatian dari praktik-praktik yang merusakkan lingkungan secara lebih luas.
  2. Greenhushing: Kesengajaan untuk tidak melaporkan atau menyembunyikan inisiatif keberlanjutan untuk menghindari pengawasan atau reaksi keras.
  3. Greenrinsing: Mengubah target-target keberlanjutan secara berkala untuk menghindari akuntabilitas pelaporan sebelum bisa mencapainya.
  4. Greenshifting: Mengarahkan kesalahan mengenai dampak lingkungan kepada konsumen daripada menjadikannya sebagai tanggung jawab perusahaan.
  5. Greencrowding: Menyembunyikan praktik-praktik buruk dengan cara menggabungkan diri dengan inisiatif dari grup atau industri yang lebih luas, sehingga dapat menghindari akuntabilitas individual (perusahaan itu sendiri).
  6. Greenlabelling: Menggunakan label lingkungan yang salah atau menyesatkan untuk memberikan kesan tampilan keberlanjutan tanpa bukti pendukung.

Upaya Regulator Menghadapi Greenwashing

Di Indonesia, kesadaran terhadap bahaya greenwashing semakin menguat, termasuk di kalangan regulator. Contohnya, upaya yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui kerja sama dengan United Nations Environment Programme Finance Initiative (UNEP FI) dengan cara mendorong langkah kolaboratif untuk mencegah praktik greenwashing khususnya di sektor jasa keuangan. Kedua lembaga ini merilis dan mendiskusikan hasil riset kolaborasi kedua lembaga yang berjudul The Greenwashing Trap: How to Build Public Awareness yang diselenggarakan di Jakarta pada 5 Desember 2024. 

Pada acara tersebut, Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK, Mirza Adityaswara, menekankan pentingnya transparansi sebagai fondasi menjaga kredibilitas produk keuangan berkelanjutan. OJK memandang bahwa transparansi, akuntabilitas, serta pelaporan ESG yang konsisten menjadi kunci mencegah klaim keberlanjutan yang menyesatkan. Untuk itu, OJK mengingatkan perlunya standar pelaporan ESG yang lebih kuat, pengawasan regulasi, serta kerja sama lintas pemangku kepentingan, mulai dari regulator, lembaga keuangan, investor, hingga masyarakat luas.

Menurut Mirza, seperti ditulis Antaranews.com, greenwashing adalah praktik memasarkan produk atau jasa keuangan yang seolah-olah ramah lingkungan atau selaras dengan mitigasi perubahan iklim dibandingkan kondisi faktualnya. Melalui acara ini, OJK ingin meningkatkan kesadaran publik mengenai praktik greenwashing di industri jasa keuangan, termasuk konsep, tipe, dampak dan rekomendasi untuk mencegah praktik tersebut.

Greenwashing dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

Fenomena greenwashing dalam beragam contoh yang disebutkan di atas merupakan salah satu tantangan etika terbesar dalam praktik keberlanjutan korporasi dewasa ini. Ketika perusahaan mengklaim diri ramah lingkungan secara berlebihan tanpa didukung bukti memadai, mereka sesungguhnya sedang mengaburkan kenyataan dan menyesatkan publik. Klaim semu seperti ini bukan hanya persoalan komunikasi yang keliru, tetapi juga menunjukkan kegagalan perusahaan dalam menjalankan tanggung jawab moral secara utuh. 

Menurut filsuf Prancis, Domenec Mele, tanggung jawab merupakan bagian dari sebuah keutamaan (virtue) – yaitu sifat karakter positif yang mendorong individu maupun organisasi untuk bertindak dengan mempertimbangkan konsekuensi dari setiap tindakan. Bertanggung jawab merupakan tanda kedewasaan moral dan berkaitan erat dengan sifat dapat dipercaya (Mele, 2020). Ini sejalan dengan pandangan Aristoteles yang memandang tanggung jawab sebagai salah satu keutamaan moral yang menuntut seseorang melakukan sesuatu sebaik-baiknya (Aristoteles, 2004).

Mele juga menjelaskan bahwa tanggung jawab melekat tidak hanya secara pribadi, tetapi juga secara struktural dalam organisasi bisnis. Setiap peran dalam perusahaan membawa konsekuensi moral atas keputusan yang diambil, yang mencakup kesadaran atas penyebab, akibat, serta siapa saja yang terdampak. Dalam kerangka tersebut, Mele membagi tanggung jawab menjadi empat: moral, hukum, sosial dan lingkungan. Dalam konteks sosial, perusahaan berkewajiban memastikan bahwa aktivitas tidak merugikan masyarakat atau kelompok yang terkena dampak.

Persoalannya, praktik greenwashing terjadi justru ketika perusahaan gagal menjalankan keempat jenis tanggung jawab secara seimbang. Perusahaan mengemas narasi keberlanjutan yang positif di ruang publik, padahal faktanya belum sepenuhnya memperbaiki praktik internalnya. Maka yang menjadi pertanyaan, apakah perusahaan sudah mengomunikasikan inisiatif keberlanjutannya secara bertanggung jawab? 

Komunikasi yang bersifat overclaim dalam praktik greenwashing memiliki kecenderungan mendorong atau mengarahkan konsumen untuk memiliki preferensi pembelian pada produk tertentu. Ketika tindakan pembelian terjadi dan konsumen menikmati produk yang telah dibeli akibat terbujuk adanya overclaim, ada kemungkinan muncul dampak negatif. Seperti pada kasus kendaraan yang disebutkan pada awal tulisan ini, akan ada efek emisi berlebih yang ditimbulkan. Hal ini akan membuat konsumen yang memiliki kesadaran lingkungan tinggi akan merasa tercederai. Dan dampak ikutannya ialah ketidakpercayaan terhadap merek dan produk perusahaan yang berakibat pada penurunan reputasi serta akibat-akibat lainnya.

Lantas, apa sebaiknya yang dilakukan perusahaan agar praktik komunikasi tidak jatuh menjadi praktik greenwashing? Hal paling dasar yang perlu menjadi perhatian ialah melengkapi data yang menjadi rujukan dalam melakukan komunikasi serta memberikan informasi yang rinci, tidak samar, sehingga tidak terjadi overclaim. Untuk lebih memperkuat keyakinan, maka dapat dilengkapi dengan proses assurance dan sertifikasi dari pihak ketiga yang teruji dan tepercaya (Humas Indonesia, 2023).

Akhirnya, menurut Domenec Mele, ketika tanggung jawab (termasuk sosial) merupakan salah satu keutamaan, maka organisasi (perusahaan) yang bertanggung jawab harus selalu mempertimbangkan perbuatan dan konsekuensinya, termasuk dampak dari seluruh aktivitasnya terhadap semua pemangku kepentingan. Dengan demikian, ketika perusahaan melakukan praktik greenwashing terkait inisiatif keberlanjutan dan tanggung jawab sosialnya, maka sejatinya perusahaan tersebut bukanlah entitas yang bertanggung jawab.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Ditto Santoso
Ditto Santoso
Mahasiswa Magister Manajemen Konsentrasi ESG & Sustainability Universitas Sanata Dharma

Edisi Khusus Sumitro Djojohadikusumo ini didukung oleh:

Logo Edisi Khusus Sumitro Djojohadikusumo

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...