Menyentuh Akar Masalah Pekerja Anak


Setiap tanggal 12 Juni, dunia memperingati Hari Menentang Pekerja Anak (World Day Against Child Labour). Selain menunjukkan upaya serius, peringatan ini juga mengindikasikan betapa pelik permasalahan pekerja anak.
Pekerja anak tidak hanya terjebak dalam lingkaran kemiskinan, tetapi juga terdapat unsur sosial budaya yang mengikatnya. Bahkan banyak ditemui keluarga yang seharusnya menjadi pelindung dan pengayom justru menjadi aktor utama dalam mempekerjakan anak. Orang tua bersama keluarga besar, om, dan tante turut berperan membuat anak-anak bekerja.
Di sisi lain, terdapat pengusaha yang mengambil kesempatan untuk mempekerjakan anak demi meraih keuntungan material. Anak cenderung mudah disuruh, dipaksa, bahkan tidak melawan ketika dieksploitasi. Akhirnya anak menjadi korban yang berdampak secara fisik, bahkan psikis, dalam jangka panjang.
Pada 2023, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat 2,39% pekerja anak di Indonesia. Angka ini merujuk pada anak usia 10–17 tahun yang seharusnya fokus sekolah, tetapi terpaksa bekerja. Angka ini menurun jika dibandingkan tahun sebelumnya, tetapi masih lebih tinggi dibandingkan sebelum pandemi.
Pada 2019 pekerja anak sebesar 2,35%, melonjak menjadi 3,25% tatkala pandemi tahun 2020. Tiga tahun setelahnya meskipun menurun, masih belum bisa mengimbangi lonjakan pekerja anak ketika pandemi.
Jika dihitung secara kasar, impian bebas pekerja anak pada 2045 dalam kerangka Indonesia Emas tidak akan tercapai. Periode 2018-2023, pekerja anak di Indonesia menurun sebesar 0,22 persen poin. Artinya setiap tahun turun dengan rata-rata 0,04 persen poin. Dengan asumsi keadaan yang sama, pekerja anak tahun 2045 masih sekitar 1,42%. Kondisi ini akan semakin parah ketika ada bencana, pandemi, ataupun krisis ekonomi.
Akar Permasalahan
Paradigma anak bekerja telah bergeser dari faktor ekonomi semata ke faktor keluarga dan lingkungan masyarakat. Ikatan keluarga yang lemah membuat anak tidak berdaya ketika dihadapkan pada pilihan antara sekolah atau bekerja. Ditambah lagi dengan terlilit kemiskinan membuat tekanan bagi anak untuk turut membantu kebutuhan keluarga.
Penyebab ikatan keluarga yang lemah bisa dipicu oleh dua hal yaitu kemiskinan keluarga dan disfungsi keluarga. Penelitian Lubis (2018) menemukan bahwa alasan krusial yang menjadikan anak untuk turut serta bekerja adalah kemiskinan keluarga. Keluarga yang terjerat dalam kemiskinan cenderung tidak memiliki keterampilan serta diiringi rendahnya pendidikan sehingga sulit untuk memiliki pendapatan yang memadai. Hal ini membuat anggota keluarga terutama anak rawan turut serta bekerja membantu menambah pendapatan.
UNICEF (2017) menyebutkan bahwa disfungsi keluarga termasuk perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, dan kematian orang tua berkontribusi signifikan terhadap kerentanan anak untuk bekerja. ILO (2021) menyatakan bahwa struktur keluarga yang rapuh dan minimnya dukungan orang dewasa menjadi faktor risiko utama anak masuk ke dalam dunia kerja. Minimnya keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak disertai lemahnya ikatan emosional menyebabkan anak tidak terlindungi.
Secara statistik, anak yang bekerja cenderung mengikuti pekerjaan orang tuanya. BPS (2024) dalam “Analisis Isu Terkini” menyebutkan bahwa mayoritas orang tua pekerja anak bekerja di sektor pertanian. Selaras dengan itu, mayoritas anak bekerja di sektor pertanian dan sebagian lagi sektor perdagangan. Sektor perdagangan yang mereka jalani hanyalah penjual eceran dengan keterampilan minim. Berdasarkan status pekerjaan, terdapat 68,72% anak bekerja dengan status pekerja keluarga, yang berarti mereka tidak dibayar dan sangat rentan terhadap eksploitasi.
Ketangguhan Keluarga
Anak yang bekerja adalah korban dari tidak hadirnya bimbingan dan perlindungan dari berbagai pihak. Pendekatan penegakan hukum (penertiban) dan rehabilitasi anak tidaklah cukup. Harus ada pendekatan yang langsung menyasar kepada akar permasalahan. Oleh karena itu, upaya perubahan perlu difokuskan pada peran keluarga dan lingkungan masyarakat.
Ada banyak kisah di mana sebuah keluarga, meskipun terlilit kemiskinan, tetap mampu melindungi anaknya dan menyekolahkannya hingga sarjana. Salah satunya kisah Ibu Sumirah yang membesarkan lima anaknya hingga salah satu anaknya (Sarjiya) menjadi Guru Besar Fakultas Teknik UGM. Orang tua hingga saudari-saudari Sarjiya kompak saling mendukung pendidikan Sarjiya. Ikatan keluarga yang solid telah membuahkan hasil yang manis meskipun di tengah tantangan kemiskinan.
Pendekatan peran keluarga ini harus juga didukung oleh kolaborasi lintas sektor oleh para pemangku kebijakan. Kolaborasi ini bertujuan untuk menyamakan tujuan, menciptakan komunikasi yang efektif, dan membuat kegiatan yang berkelanjutan. Pemangku kebijakan menjadi komando bersama masyarakat dalam menyuarakan stop pekerja anak.
Mari kita bangun ketangguhan keluarga, akhiri pekerja anak, dan mewujudkan manusia Indonesia yang berkualitas demi masa depan yang lebih baik.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.