Menyulam Kohesi Sosial di Tengah Fragmentasi Digital

Yusrizal Hasbi
Oleh Yusrizal Hasbi
17 Juni 2025, 07:05
Yusrizal Hasbi
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Kita hidup di era yang sangat dipengaruhi oleh teknologi. Kita menggunakan internet setiap hari untuk berkomunikasi, bekerja, belajar, mencari hiburan, bahkan bersosialisasi. Di permukaan, terlihat seolah dunia digital mempermudah interaksi antarindividu. Namun, jika diperhatikan, banyak dari kita yang semakin merasa terasing dari orang lain. Kita bisa saling menghubungi, tetapi tidak bisa bersatu. 

Di sini muncul persoalan besar, bagaimana kita bisa memelihara kebersamaan antaranak bangsa di tengah problematika sosial yang semakin individualistik, yang pada akhirnya mengikis nilai-nilai kebersamaan.

Berdasarkan data laporan masyarakat yang masuk ke Patroli Siber Bareskrim Polri, sepanjang waktu pelaporan, tercatat ribuan kasus kejahatan digital yang meresahkan, di antaranya adalah ancaman kekerasan dan pemerasan online dengan 8.614 laporan, serta pencemaran nama baik sebanyak 6.556 laporan—sebuah bukti bahwa ujaran di dunia maya bisa sangat merusak reputasi dan kondisi psikologis seseorang. 

Bentuk lain seperti doxxing (perbuatan membuka data diri seseorang dan membagikannya di ruang publik tanpa persetujuan) berupa pelecehan, pemerasan yang bersifat mempermalukan dengan 3.675 laporan. Pornografi dan eksploitasi seksual anak secara online sebanyak 952 laporan, berita bohong dan disinformasi sebanyak 778 laporan, manipulasi data dan identitas digital sebanyak 597 laporan, ujaran provokatif dan penghasutan sebanyak 499 laporan. Ini menandakan maraknya kasus yang menyerang privasi dan martabat korban.

Retaknya Kohesi Sosial

Mencermati data di atas, maraknya kasus-kasus dalam dunia digital, yang pada akhirnya sebagai bangsa perlu menyulam kembali kohesi sosial. Sebagaimana dijelaskan oleh sosiolog Emile Durkheim (1897), yaitu kekuatan yang memungkinkan individu dalam suatu masyarakat untuk merasa terikat dan cenderung peduli satu sama lain. Dalam masyarakat tradisional, ini terwujud melalui solidaritas mekanis di mana kesamaan nilai dan tujuan bertindak sebagai perekat. Sementara dalam masyarakat modern, solidaritas organik muncul dari diferensiasi fungsi dan saling ketergantungan antarpribadi. Sekarang, dalam masyarakat digital, tampaknya kita memasuki bentuk ketiga ini, solidaritas algoritmik, di mana saling keterhubungan ditentukan oleh logika perangkat lunak yang memutuskan siapa yang kita lihat, dengar, dan bahkan pikirkan.

Kohesi sosial kita mulai luntur. Masyarakat jadi gampang curiga, mudah tersinggung, dan cepat marah. Lihat saja kolom komentar di media sosial—satu postingan beda pandangan bisa langsung memicu perang opini. Di ruang digital, semua orang ingin menang, tapi tak ada yang benar-benar ingin memahami. Padahal, bangsa ini sejak dulu dibangun di atas keberagaman. Kita beda-beda, tapi bisa bareng-bareng. Itulah kekuatan kita. Tapi kalau ruang digital terus jadi ajang pertengkaran, bagaimana bisa kita menjaga rasa kebersamaan?.

Situasi ini telah menyebabkan terjadinya polarisasi di tengah masyarakat. Dalam diskusi politik, perbedaan pandangan dan dukungan sering kali memunculkan komentar yang kabur maknanya dan cenderung bersifat tendensius. Emosi yang memuncak kerap membuat individu saling melontarkan hinaan tanpa berusaha memahami perspektif lain. Akibatnya, kohesi sosial—yakni rasa persatuan dan kebersamaan dalam masyarakat—perlahan mengalami keretakan.

Fragmentasi digital sangat paradoksal karena diperkuat oleh ilusi kebebasan. Internet memberikan anggapan bahwa kita dapat memilih komunitas, cerita, dan bahkan persona yang ingin diadopsi dengan bebas, tetapi kenyataannya, ada algoritma yang dengan cermat mengkurasi kotak di mana kita ditempatkan. Inilah yang disebut Jean Baudrillard (1929-2007) sebagai simulacra—dunia yang tidak otentik dibuat untuk terlihat nyata. Alih-alih berpartisipasi dalam dialog politik yang konstruktif, kita terjebak hidup di dalam ruang gema mendengar versi ulang dari opini dan ide yang ada di dalamnya. Di bawah keadaan seperti itu, bukan hanya kohesi sosial yang rapuh, tetapi juga kurang memiliki dasar epistemik.

Padahal, masyarakat yang kuat adalah masyarakat yang mampu hidup dalam keberagaman. Kita tidak harus selalu setuju dalam semua hal, tapi kita perlu bisa saling menghargai dan hidup berdampingan. Kalau kita terus-menerus dikelilingi oleh kebisingan digital yang memperbesar perbedaan, maka rasa saling percaya pun bisa hilang. Dan kalau rasa percaya sudah hilang, akan sangat sulit membangun kerja sama di antara warga.

Solidaritas Baru di Era Algoritma

Meski begitu, dunia digital tidak sepenuhnya buruk. Internet tetap punya potensi besar untuk mempererat hubungan antarorang, asalkan digunakan dengan cara yang bijak. Kuncinya ada pada literasi digital. Kita perlu belajar bukan cuma soal cara pakai teknologi, tapi juga bagaimana bersikap bijak di dunia maya. Misalnya, bagaimana mengenali hoaks, bagaimana menyampaikan pendapat tanpa menyakiti, dan bagaimana tetap terbuka dengan orang yang berpandangan berbeda.

Peran keluarga, sekolah, komunitas, dan pemerintah sangat penting dalam membentuk sikap ini. Di rumah, anak-anak perlu belajar bagaimana menggunakan ponsel atau media sosial dengan tanggung jawab. Di sekolah, pelajaran tentang teknologi harus diimbangi dengan pendidikan karakter dan dialog. Di tingkat negara, perlu ada aturan dan kebijakan yang mendorong ruang digital yang sehat, adil, dan bebas dari ujaran kebencian.

Kita juga bisa melihat contoh-contoh baik yang sudah ada di masyarakat. Di banyak kota, warga menggunakan grup WhatsApp atau Telegram untuk saling membantu, menyebarkan informasi penting, atau sekadar menyapa tetangga. Ini bukti bahwa dunia digital bisa jadi tempat membangun solidaritas, bukan hanya tempat saling serang.

Satu hal penting yang perlu kita bangun di dunia digital adalah kemampuan untuk mendengarkan. Hari ini, semua orang berlomba-lomba bicara—tapi jarang yang mau sungguh-sungguh mendengarkan. Padahal, dengan mendengarkan, kita bisa lebih memahami perasaan dan pikiran orang lain. Ini adalah langkah awal untuk membangun empati. Dan empati adalah dasar dari kohesi sosial. Tanpa empati, kita hanya akan jadi penonton yang terus menyalahkan tanpa pernah mau memahami.

Kita juga perlu bersama-sama merawat nilai-nilai dasar seperti keadilan, kebersamaan, dan penghargaan terhadap perbedaan. Ini bisa menjadi benang merah yang menyatukan kita di tengah riuhnya informasi. Kalau setiap orang memegang nilai itu, maka ruang digital pun bisa menjadi tempat yang ramah, aman, dan membangun.

Namun, kita harus jujur saat ini, banyak platform digital justru didesain untuk membuat kita ketagihan dan marah. Algoritma media sosial sering kali lebih suka menampilkan konten yang sensasional dan memecah belah, karena itu lebih banyak menarik perhatian. Maka, kita perlu sadar dan melawan secara kultural. Kita bisa memilih untuk tidak ikut menyebar berita bohong, tidak terpancing provokasi, dan memilih untuk berdialog secara baik. Kita juga bisa lebih selektif dalam menghabiskan waktu di media sosial—mengurangi scroll tanpa arah, dan lebih banyak berinteraksi secara bermakna.

Akhirnya, menyulam kohesi sosial di tengah fragmentasi digital adalah proyek panjang yang menuntut keberanian untuk melampaui kenyamanan gelembung kita masing-masing. Kita tidak bisa menghindari perkembangan teknologi. Tapi kita bisa mengarahkan bagaimana teknologi digunakan. Kita bisa membangun ruang digital yang lebih manusiawi, di mana setiap orang merasa dihargai, didengar, dan diterima. Dan kalau itu bisa kita lakukan bersama, maka benang-benang sosial yang sempat terurai bisa kita rajut kembali—menjadi kain kebersamaan yang kuat dan indah.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Yusrizal Hasbi
Yusrizal Hasbi
Kepala Pusat Studi Hukum, Sosial, dan Politik Universitas Malikussaleh

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...