Modal Simbolik di Balik Kasus Perundungan

Deni Aries Kurniawan
Oleh Deni Aries Kurniawan
11 Juni 2025, 07:05
Deni Aries Kurniawan
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Kasus perundungan masih marak terjadi, bahkan mengakibatkan korban meninggal dunia. Pada 26 Mei lalu, siswa kelas 2 SD di Riau berinisial KB meninggal akibat perundungan yang dilakukan kakak kelasnya. Kejadian yang sama terjadi di Makassar pada 30 Mei yang menimpa MRA siswa kelas 6 SD yang menghembuskan napas terakhir karena mendapatkan kekerasan dari teman-temannya. 

Dua kasus yang belum lama terjadi itu, telah menjadi sorotan publik dan mendapatkan perhatian dari Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Fauzi. Ia menegaskan bahwa negara akan hadir untuk menyelesaikan kasus-kasus perundungan yang terjadi. Dua kejadian yang berdekatan tersebut sudah cukup untuk menjelaskan bahwa perundungan merupakan masalah sosial serius yang harus segera dicari solusinya. Apalagi dilakukan oleh anak-anak yang harapannya bisa melanjutkan tongkat estafet pembangunan bangsa.

Kekerasan Simbolik 

Mengikuti kategori yang terdapat dalam Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan, maka perundungan tidak hanya berbentuk fisik, melainkan juga psikis. Yang membedakan dengan kekerasan adalah perundungan terjadi secara berulang, kemudian meningkat menjadi kekerasan fisik.

Dalam sudut pandang sosiologis, perundungan bisa dikatakan sebagai salah satu bentuk kekerasan simbolik. Bourdieu (2001) mengatakan bahwa kekerasan simbolik adalah suatu bentuk kekerasan yang halus dan tak tampak, yang dibaliknya tersembunyi praktik dominasi. Lebih lanjut, dominasi itu terjadi karena adanya ketimpangan kepemilikan modal simbolik di dalam interaksi sosial. Status sosial (kelompok dominan identitas sosial, kelas atas, senior) adalah modal simbolik yang seringkali digunakan ketika terjadi kasus perundungan. 

Tujuan dari adanya kekerasan simbolik adalah kehendak menguasai orang lain. Oleh karena itu, tidak jauh berbeda dengan sistem kekuasaan, maka mereka yang mendominasi akan memaksakan pandangan kelompok mereka atas kelompok yang “terpinggirkan.” Contohnya dalam kasus perundungan yang dialami oleh KB di Riau. Identitas (agama dan suku) yang dimiliki oleh KB bukan merupakan identitas sosial dominan. Sedangkan, kakak kelasnya merupakan bagian dari kelompok dominan. 

KB sering mendapatkan olok-olok dari kakak kelasnya yang melakukan kekerasan— salah satunya disebabkan oleh perbedaan identitas. Secara halus, kakak kelasnya tersebut memaksakan pandangannya sebagai kelompok dominan. Selain itu, modal simbolik berupa senior di sekolahan juga muncul dalam kasus ini. Maka, kasus perundungan bukan hanya berkaitan dengan kekuatan fisik yang dimiliki oleh seseorang. Lebih dari itu, melibatkan hal yang lebih kompleks dan tidak terlihat, salah satunya yaitu kepemilikan modal simbolik. Dengan demikian, penanganan dalam berbagai kasus perundungan pun harus lebih mendalam dan komprehensif.

Internalisasi Nilai Penghargaan

Tampaknya, berbagai kasus perundungan yang masih terjadi hingga detik ini, membutuhkan upaya keras untuk bisa dikurangi bahkan diselesaikan. Apalagi melibatkan modal simbolik di dalam berbagai kasus. Tentu, kepemilikan modal simbolik tidak bisa dicegah ataupun dibatasi. Hal yang bisa dilakukan ialah memberikan pemahaman agar modal simbolik itu tidak disalahgunakan. Maka penyelesaiannya pun tidak cukup hanya di bagian hilir, tapi juga hulu. Pada wilayah hulu, internalisasi nilai-nilai penghargaan terhadap perbedaan itu harus terus diupayakan. Sekaligus menekankan pentingnya pendidikan karakter yang ditanamkan sejak dini. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal dan informal harus mengambil peran untuk misi kebaikan bersama ini. 

Sekolah, sebagai lembaga pendidikan formal harus memberikan pengertian bahwa yang berbeda – status ekonomi, identitas, kondisi fisik— tidak berbeda dan harus diperlakukan sama layaknya manusia. Di lain sisi, keluarga sebagai lembaga pendidikan informal juga harus ikut serta dalam menanamkan nilai-nilai penghargaan ini. Keluarga, terutama yang dominan modal simboliknya, harus memberikan pengertian bahwa hidup bersama harus saling menghargai dan menghormati. Tanpa melihat berbagai perbedaan yang ada. 

Upaya untuk menimbulkan kepekaan sosial tersebut, bisa juga melalui perjumpaan dengan kelompok yang selama ini terkesan “terpinggirkan.” Mengunjungi panti asuhan, mendatangi mereka yang berbeda identitas, merasakan tinggal dengan kelompok kelas bawah adalah hal lain yang bisa dilakukan oleh sekolah maupun keluarga. Berbagai kegiatan itu, akan menghadirkan interaksi sosial. 

Lebih lanjut, dalam tradisi interaksionisme simbolik, interaksi sosial akan memunculkan pemaknaan. Pemaknaan terhadap mereka yang selama ini dianggap “berbeda” maupun “liyan”, sekaligus yang terbatas modal simboliknya. Dengan demikian, pemaknaan tersebut akan memunculkan kepekaan sosial. Kepekaan sosial untuk mengikis tindakan yang mengarah pada perundungan.

Saya kira, apabila sekolah dan keluarga sebagai bagian dari tri sentra pendidikan mau mengambil peran, maka upaya untuk mengurangi bahkan menghilangkan perundungan ini perlahan bisa tercapai. Tentu, tak ketinggalan juga keterlibatan pemerintah. Memang bukan cara yang instan, sebab yang diperbaiki adalah bagian hulu, bukan hilir. Akan tetapi, ketika kerusakan bagian hulu ini diperbaiki, kerusakan pada bagian hilir bisa diatasi. Pada akhirnya, kasus-kasus perundungan yang dilakukan oleh anak-anak karena kepemilikan modal simboliknya itu, tidak kembali terulang.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Deni Aries Kurniawan
Deni Aries Kurniawan
Dosen Sosiologi Universitas Sriwijaya

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...