Krisis Mikroplastik: Mengapa ESG Belum Menjadi Solusi di Indonesia?


Indonesia saat ini tengah menghadapi krisis mikroplastik yang serius dengan tingkat dampak tinggi. Menurut Com (2024), Indonesia kini berada di posisi ketiga sebagai salah satu negara penyumbang polusi plastik terbesar di dunia dengan membuang 3,4 juta metrik ton plastik per tahun. Sampah plastik yang tidak terkelola dengan baik ini kemudian terfragmentasi menjadi mikroplastik, mencemari ekosistem laut dan mengancam kehidupan biota laut serta berdampak pada kesehatan manusia. Berbagai penelitian terbaru menemukan partikel plastik dalam darah manusia (Leslie et al., 2022) dan bahkan dalam plasenta bayi (Ragusa et al., 2021), menandai urgensi isu ini sebagai persoalan lintas sektor yang perlu ditangani secara sistemik.
Sejalan dengan meningkatnya kesadaran global akan pentingnya keberlanjutan, kerangka kerja Environmental, Social, and Governance (ESG) menjadi salah satu pendekatan yang semakin banyak diadopsi oleh pelaku usaha dan lembaga keuangan. Menurut Goodman (2024), ESG secara konseptual merupakan kerangka penilaian keberlanjutan yang dirancang untuk mengevaluasi dampak non-finansial dari aktivitas bisnis. Pilar “Environmental” mencakup berbagai isu ekologis krusial seperti hilangnya keanekaragaman hayati, emisi gas rumah kaca, efisiensi dan transisi energi, pengelolaan limbah, hingga penipisan ozon. Dimensi “Social” menyoroti aspek kemanusiaan seperti migrasi massal, kesenjangan distribusi kekayaan, akses terhadap layanan dasar, hak-hak pekerja, serta tanggung jawab sosial. Sementara itu, pilar “Governance” mencakup tata kelola perusahaan yang sehat mulai dari transparansi laporan, etika bisnis, hingga mekanisme pelaporan pelanggaran.
Di tengah ancaman krisis mikroplastik, harapan semestinya hadir melalui pendekatan ESG, sebuah kerangka yang menjanjikan transformasi cara perusahaan beroperasi bukan sekadar untuk meraih keuntungan, tapi juga menjaga bumi yang menjadi tempat kita hidup. Namun dalam praktiknya, ancaman mikroplastik terus terjadi dan kian meluas, mencemari laut, tanah, hingga tubuh manusia sementara respon korporasi masih belum dapat dilihat dampak keberlanjutannya secara nyata dalam mengatasi isu ini. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: sejauh mana keseriusan korporasi dan pemerintah dalam menerapkan ESG sebagai instrumen perubahan nyata?
ESG di Negara Berkembang
Studi Singhania dan Saini (2023) menunjukkan bahwa ESG di negara berkembang cenderung bersifat voluntary dan tidak diiringi oleh kewajiban hukum yang kuat. Di Indonesia, ESG diadopsi oleh perusahaan-perusahaan besar, sebagian karena tekanan pasar modal atau tuntutan investor luar negeri. POJK No 51/2017 mewajibkan laporan keberlanjutan bagi sektor jasa keuangan, emiten dan perusahaan publik. Belum ada aturan yang secara tegas mengharuskan penerapan prinsip ESG bagi seluruh sektor industri, terlebih lagi yang memasukkan isu lingkungan seperti mikroplastik sebagai indikator penting dalam penilaian kinerja perusahaan.
Apabila dilihat perbandingannya di negara maju, ESG telah berevolusi menjadi kerangka regulatif yang menyatu dalam sistem hukum dan tata kelola perusahaan. Di Uni Eropa, misalnya, pelaporan keberlanjutan telah diwajibkan melalui Corporate Sustainability Reporting Directive (CSRD), yang mengharuskan perusahaan untuk menyampaikan informasi terstandar mengenai dampak lingkungan, termasuk penggunaan plastik dan jejak karbon. Hal serupa terjadi di Amerika Serikat dan Inggris, di mana indikator ESG digunakan tidak hanya sebagai alat penilaian reputasi, tetapi juga sebagai komponen penentu dalam keputusan investasi, pemberian insentif fiskal, dan akses pembiayaan. Dengan kata lain, ESG telah menjadi alat kebijakan publik dan mekanisme pasar yang terintegrasi yang didukung oleh kebijakan terkait.
Sebaliknya, di negara berkembang seperti Indonesia, ESG masih cenderung diposisikan sebagai pelengkap laporan tahunan atau instrumen komunikasi korporat. Ketiadaan kewajiban hukum yang mengikat, belum adanya standar indikator lingkungan yang terukur, serta lemahnya mekanisme audit independen menyebabkan ESG belum mampu memainkan peran substansial sebagai penggerak transformasi keberlanjutan. Akibatnya, potensi ESG untuk menjawab persoalan lingkungan yang mendesak termasuk krisis mikroplastik belum sepenuhnya dimanfaatkan, padahal sektor-sektor industri yang berkontribusi besar terhadap pencemaran memiliki ruang besar untuk diarahkan melalui pendekatan ESG yang lebih sistemik dan terukur
Dalam praktiknya, muncul fenomena ESG Washing di mana perusahaan menyampaikan klaim keberlanjutan secara strategis untuk membangun citra, tanpa adanya perubahan substansial dalam praktik bisnisnya. Fenomena ini kerap terjadi ketika laporan keberlanjutan hanya menampilkan program CSR simbolik, narasi hijau yang tidak diverifikasi, atau target jangka panjang yang tidak disertai dengan roadmap implementasi yang jelas.
Menurut Kuzey et al. (2023), ESG washing menjadi bentuk disonansi antara citra publik dan kenyataan operasional, terutama ketika tidak ada mekanisme audit independen atau regulasi yang mengikat untuk mengevaluasi keabsahan klaim tersebut. Fenomena ini melemahkan kepercayaan publik terhadap kerangka ESG dan berpotensi menghambat transisi menuju ekonomi yang benar-benar berkelanjutan.
Di Indonesia, pelaporan ESG masih menggunakan pendekatan yang bersifat output-oriented, bukan pada outcome dan dampak nyata terhadap lingkungan maupun masyarakat. Ketika ESG hanya menjadi alat untuk memenuhi ekspektasi pasar atau pemegang saham, tanpa korelasi langsung terhadap transformasi struktural dalam cara perusahaan beroperasi, maka yang muncul bukanlah keberlanjutan yang substantif, melainkan hanya dokumentasi yang jauh dari esensi tanggung jawab lingkungan dan sosial.
Krisis mikroplastik ini juga menunjukkan kegagalan ESG dalam merespons secara sosial. Konsumen kelas menengah ke bawah dan masyarakat pesisir yang merupakan kelompok yang paling rentan terhadap pencemaran jarang terlibat secara langsung dalam pembahasan keberlanjutan atau mekanisme ESG perusahaan. Alih-alih menjadi alat transformasi sosial dan lingkungan, ESG justru menjadi instrumen branding korporasi yang jauh dari realitas lapangan.
Meskipun wacana ESG di Indonesia semakin mengemuka dalam beberapa tahun terakhir, secara implementatif, hal ini masih berada pada tahap awal. Banyak perusahaan baru mengenal ESG sebatas kewajiban administratif atau strategi komunikasi korporat, belum sebagai kerangka manajerial yang benar-benar mengubah cara bisnis dijalankan.
Minimnya regulasi lintas sektor, belum adanya standar nasional yang mengikat, serta kurangnya kapasitas audit dan verifikasi independen menjadi kendala utama. Akibatnya, ESG belum sepenuhnya menjelma sebagai alat akuntabilitas atau pendorong transformasi berkelanjutan, melainkan masih berfungsi sebagai instrumen untuk memenuhi tekanan pasar modal, bukan untuk menjawab krisis lingkungan yang nyata seperti mikroplastik.
ESG sebagai Solusi Keberlanjutan
Lalu, bagaimana agar ESG benar-benar menjadi solusi berkelanjutan di masa depan? Setidaknya ada empat jalan keluar yang perlu segera ditempuh untuk memitigasi krisis mikroplastik.
Pertama, perlu disusun regulasi nasional ESG yang mengikat lintas sektor, termasuk kewajiban pelaporan penggunaan plastik dan emisi mikroplastik. Hal ini harus dilengkapi dengan standar penetapan baku mutu mikroplastik oleh otoritas terkait, agar isu ini masuk dalam sistem standar pengawasan dan penilaian kinerja lingkungan perusahaan. Kedua, pemerintah bersama Otoritas Jasa Keuangan perlu membangun mekanisme audit ESG yang independen dan terstandar guna memastikan laporan keberlanjutan dapat diverifikasi.
Ketiga, penguatan skema Extended Producer Responsibility (EPR) menjadi penting di mana perusahaan wajib bertanggung jawab atas limbah yang dihasilkan selama dan setelah siklus hidup produk, termasuk jejak mikroplastiknya. Selain itu, dibutuhkan pembangunan sistem pemantauan yang melibatkan peneliti, komunitas. Terakhir, ESG harus semakin terintegrasi dalam sistem insentif fiskal dan pembiayaan berkelanjutan, seperti potongan pajak, kemudahan kredit hijau, serta sanksi bagi pelanggar.
Langkah ini akan memperkuat ESG bukan hanya sebagai laporan tahunan, tetapi sebagai kerangka nyata untuk menghadapi krisis mikroplastik dan membangun keberlanjutan jangka panjang.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.