Prabowo, Orang Pintar, dan Nepotisme di Indonesia

Dendy Lisna Wansyah
Oleh Dendy Lisna Wansyah
29 April 2025, 07:05
Dendy Lisna Wansyah
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Presiden Prabowo Subianto tampak sangat “alergi” dengan orang pintar. Hal ini ditunjukkan dalam berbagai momen saat memberikan arahan dan sambutan dalam berbagai acara. 

Terbaru, presiden mengatakan banyak orang pintar yang justru tidak menjadi apa-apa. Prabowo mengatakan hal ini saat berbincang dengan petani di Majalengka, Jawa Barat, Senin, 7 April 2025. Dalam kesempatan itu, dia mengatakan para menterinya sudah bekerja keras dan mengeluarkan kebijakan yang masuk akal, meski bukan lulusan kampus ternama. 

Walaupun tidak menjelaskan siapa sosok “orang pintar” ini, besar kemungkinan bahwa yang disasar adalah kelompok terdidik. Bisa akademisi, pakar, hingga profesor. Tampaknya Prabowo menganggap bahwa orang pintar ini tidak bisa kerja dan hanya teoritis semata. 

Jika ditarik ke belakang, permasalahan dengan Orang Pintar sudah terjadi cukup lama. Prabowo berkali-kali menyinggungnya dalam berbagai momen. Pada tahun lalu, dia menyinggung orang-orang pintar yang memilih “omon-omon” dalam acara siniar (podcast) daripada bekerja. 

Tak hanya itu, kritik terhadap program unggulan Makan Bergizi Gratis (MBG) juga dibalas Prabowo. Dia menganggap orang-orang terdidik tidak paham permasalahan rakyat kecil di bawah. Cerita lainnya, saat masih berstatus capres (calon presiden), Prabowo menyindir orang-orang pintar yang mengkritik swasembada pangan yang dia canangkan. 

“Orang pintar” ini kerap berlawanan dan sering memberikan kritik terhadap pemerintahan Prabowo. Sayangnya kritik tersebut dianggap “angin lewat” oleh presiden. Alih-alih merespons dengan positif kritikan tersebut, Prabowo lebih memilih untuk “merendahkan” para pengkritik. 

Pendekatan Prabowo terhadap para orang pintar tersebut tampaknya mempengaruhi proses pembuatan kebijakan di pemerintahannya. Setidaknya sejak dilantik pada 20 Oktober 2024, ada berbagai kebijakan yang terlihat tidak konsisten. Tidak sedikit kebijakan pemerintah yang menjadi polemik, lalu dibatalkan. 

Contohnya, oleh polemik kebijakan Kementerian ESDM yang melarang penjualan LPG 3 kg oleh pedagang eceran. Kebijakan ini menimbulkan kelangkaan dan menuai protes masyarakat. Setelah beberapa hari, pemerintah membatalkan kebijakan tersebut. 

Begitu pula pada kasus pembatalan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% yang telah dikeluarkan Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Keuangan Sri Mulyani. 

Ketidakkonsistenan tersebut terjadi karena tidak ada dasar yang kuat dan kajian mendalam terhadap suatu permasalahan. Umumnya kebijakan yang baik selalu mengedepankan kajian akademis yang menjadi landasan dalam pembuatan kebijakan. Tentu, kajian akademis ini disusun oleh ahli di bidangnya. Fenomena kebijakan “dibuat lalu dianulir” ini adalah bentuk lemahnya partisipasi ahli tersebut. 

Kegagalan Negara Menyerap “Orang Pintar” 

Prinsip “the right man in the right place” adalah fondasi bagi negara, organisasi, dan perusahaan yang ingin berkembang secara berkelanjutan. Seleksi berbasis meritokrasi harus menjadi prioritas dalam semua sektor, meskipun sangat susah diwujudkan di Indonesia. 

Faktanya, alih-alih memberikan ruang yang luas kepada berbagai talenta, negara cenderung pada praktik nepotisme dan klientelisme. Ini tentu tidak sesuai dengan prinsip meritokrasi yang memberikan kesempatan kepada mereka yang memiliki integritas dan kredibilitas tinggi di bidangnya. 

Pos-pos penting di pemerintahan kerap menjadi tempat “bagi-bagi jabatan” dan lebih cenderung politis. Ini diberikan sebagai balas budi kepada para pendukung dalam pemilihan umum (Pemilu). Mereka diberi posisi, mulai dari menteri, kepala badan, staf ahli menteri, hingga komisaris BUMN. Tidak jarang, posisi yang diberikan tidak sesuai dengan kompetensi yang mereka miliki. 

Pentingnya Orang yang Tepat 

Menempatkan orang dengan posisi yang tepat dalam pemerintahan dapat mengurangi peluang korupsi dan nepotisme. Jika posisi diberikan berdasarkan meritokrasi, bukan karena hubungan keluarga atau politik, maka transparansi dan akuntabilitas akan meningkat. 

Tidak hanya itu, dalam suatu pemerintahan, keputusan strategis akan lebih berkualitas jika dibuat oleh orang-orang yang kompeten di bidangnya. Pasalnya mereka lebih memahami “dunianya” sehingga dapat menghadirkan kebijakan yang solutif. 

Contohnya, seorang menteri atau pejabat teknis yang memiliki latar belakang sesuai akan lebih memahami tantangan dan solusi di bidangnya. Selain itu, sistem ini akan meningkatkan kepercayaan publik. Masyarakat akan lebih percaya pada institusi yang dikelola oleh individu yang kompeten. 

Pada akhirnya, pemerintah seharusnya memanfaatkan dan menempatkan “orang pintar” tersebut pada posisi yang tepat untuk mendorong pembangunan. Bukan justru sebaliknya, “merendahkan” dan menyingkirkan mereka dalam tatanan pemerintahan. 

Jika pemerintah ingin mendorong berbagai lompatan kemajuan, langkah pertama adalah dengan menerapkan prinsip meritokrasi. Dan hal itu bisa dimulai oleh pimpinan tertinggi!

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Dendy Lisna Wansyah
Dendy Lisna Wansyah
Mahasiswa Master Cooperation Policy Studies Kobe University

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...