Dampak Masalah Komunikasi Pemerintah terhadap Stabilitas Keuangan

Fikri C. Permana dan Metta Melani L
Oleh Fikri C. Permana - Metta Melani L
16 April 2025, 07:05
Fikri C. Permana dan Metta Melani L
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Dalam beberapa pekan terakhir, dinamika pasar keuangan Indonesia menunjukkan anomali signifikan yang tidak selaras dengan tren global. Ketika bank sentral utama dunia mengarah ke pelonggaran moneter dan prospek global membaik, Indonesia justru mengalami tekanan tajam. 

Depresiasi rupiah ke level terendah sejak krisis 1998, lonjakan imbal hasil Surat Utang Negara (SUN) 10 tahun, serta pelemahan tajam pasar saham mencerminkan ketidakstabilan yang nyata. Penyebab utamanya bukan semata-mata eksternal, melainkan ketidakpastian akibat komunikasi pemerintah yang tidak efektif dan membingungkan pelaku pasar.

Indikator paling mencolok dari gangguan pasar adalah lonjakan yield SUN 10 tahun ke 7,15% pada akhir Maret 2025. Tingkat imbal hasil ini merupakan yang tertinggi dalam dua tahun terakhir. Kenaikan ini tidak selaras dengan tren global di mana yield obligasi menurun seiring ekspektasi pelonggaran The Fed. 

Situasi ini mencerminkan persepsi risiko terhadap kebijakan fiskal dan arah ekonomi Indonesia. Krisis kepercayaan diperparah oleh pernyataan pejabat tinggi yang tidak jelas. Menteri Keuangan menyebut fiskal “tidak baik-baik saja” saat pemerintah meningkatkan pembiayaan defisit melalui obligasi. Alih-alih menenangkan pasar, komunikasi tersebut memicu kekhawatiran atas kredibilitas fiskal. 

Presiden terpilih Prabowo Subianto pun menambah persepsi negatif. Dalam wawancara, dia menyatakan, “Harga saham memang naik turun, yang penting pangan aman, negara aman,” yang dinilai pelaku pasar kurang sensitif terhadap tekanan aktual.

Selain itu, respons Indonesia terhadap dinamika eksternal seperti ancaman tarif Presiden AS Donald Trump juga tampak lambat dibanding negara lain. Pada Februari 2025, Trump umumkan tarif 10% untuk semua impor dan hingga 60% bagi produk Cina. Indonesia kini menjadi negara kedelapan dengan tarif impor tertinggi. 

Vietnam segera meningkatkan impor pertahanan dari AS guna mengurangi surplusnya sebesar US$123 miliar. Cina membalas dengan tarif 10%-15% dan kontrol ekspor mineral penting. Sebaliknya, Indonesia hanya menyatakan kesiapan menyesuaikan kebijakan jika diperlukan, tanpa aksi konkret, menciptakan ketidakpastian di pasar.

Dalam teori ekonomi modern, komunikasi yang tidak konsisten menciptakan ketidakpastian tinggi. Teori Rational Expectations (Muth, 1961; Lucas, 1972) menyatakan bahwa pelaku pasar membentuk ekspektasi berdasarkan informasi yang tersedia, termasuk komunikasi resmi. Jika ambigu atau kontradiktif, ekspektasi menjadi tidak stabil dan memicu volatilitas. Policy Uncertainty Theory (Baker, Bloom & Davis, 2016) juga menyatakan bahwa ketidakpastian arah kebijakan meningkatkan risiko pasar dan menekan investasi.

Dampak langsung juga terlihat pada rupiah yang melemah ke Rp17.261 per dolar AS pada 7 April 2025, sekaligus yang terendah dalam sejarah. Bank Indonesia menyatakan pelemahan rupiah dipicu oleh reaksi pasar atas pernyataan sejumlah otoritas yang menciptakan persepsi negatif. Ketika persepsi ini tidak diklarifikasi melalui komunikasi koheren dan kredibel, ketidakpastian menjadi sistemik. 

Kegagalan menyampaikan narasi ekonomi konsisten, juga menyebabkan pelebaran spread obligasi korporasi. Investor menuntut premi risiko lebih tinggi karena kekhawatiran makroekonomi dan tata kelola fiskal. Akibatnya, biaya pendanaan sektor swasta meningkat dan menekan pertumbuhan ekonomi. 

Buruknya komunikasi juga melemahkan efektivitas kebijakan. Ketika pasar tidak memahami arah fiskal atau moneter, mereka mengambil posisi defensif dan spekulatif. Hal ini tercermin dari naiknya permintaan lindung nilai seperti Credit Default Swap (CDS) Indonesia dari 95 ke 109 bps.

Masalah komunikasi bukan sekadar isu teknis, tetapi mencerminkan kelemahan tata kelola kebijakan publik. Pemerintah sebagai institusi ekonomi utama perlu memahami peran sentralnya sebagai signaler dalam teori Signaling (Spence, 1973). 

Komunikasi harus berbasis data, konsisten, dan dilakukan oleh otoritas kredibel. Untuk menghindari gejolak ke depan, pemerintah perlu membangun kerangka komunikasi strategis yang terintegrasi dengan kebijakan fiskal dan moneter. 

Setiap pernyataan publik harus dievaluasi dampaknya ke pasar. Penguatan koordinasi antara otoritas fiskal, moneter, dan pasar keuangan menjadi kunci menjaga stabilitas di tengah ketidakpastian global. 

Krisis ini bukan semata akibat tekanan eksternal, melainkan buah dari komunikasi otoritas yang sembrono. Dengan strategi komunikasi yang lebih disiplin, akuntabel, dan berbasis fakta, Indonesia bisa memulihkan kepercayaan pasar dan mengoptimalkan peluang dari membaiknya kondisi global.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Fikri C. Permana dan Metta Melani L
Fikri C. Permana
Senior Economist PT KB Valbury Sekuritas

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...