Membangun Inklusi Keuangan di Perdesaan dengan Perspektif Gender

Edwin Nurhadi dan Vitasari Anggraeni
Oleh Edwin Nurhadi - Vitasari Anggraeni
18 Maret 2025, 06:55
Edwin Nurhadi dan Vitasari Anggraeni
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Masyarakat desa menghadapi tantangan struktural yang kompleks dalam mengakses layanan keuangan, termasuk kesenjangan akses antara perempuan dan laki-laki. Untuk mengatasinya, pendekatan berperspektif gender dalam program perluasan dan pemerataan layanan keuangan, seperti Ekosistem Keuangan Inklusif, menjadi kunci.

Tantangan ini semakin nyata di desa-desa kategori Terdepan, Tertinggal, dan Terluar (3T), seperti yang terlihat di Kilfura, Maluku, di mana masyarakat harus menyeberang pulau untuk mengakses layanan keuangan. Keterbatasan infrastruktur internet juga menghambat penyediaan layanan keuangan digital. Di Desa Puger Kulon, Jawa Timur, masyarakat memilih untuk meminjam kepada pengambek (pemberi pinjaman informal) daripada ke bank karena tidak perlu membutuhkan jaminan. Sementara itu di Desa Karang, Jawa Tengah, perempuan pelaku usaha mikro menghadapi dilema, antara mengikuti pelatihan usaha atau merawat anak. 

Untuk memastikan layanan keuangan menjangkau setiap desa terpencil dan menjawab tantangan ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menggagas program Ekosistem Keuangan Inklusif (EKI) yang diimplementasikan bersama Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD) dan lembaga nirlaba.

Menjembatani Ketimpangan Desa dan Kota

Riset Women’s World Banking (2024) menemukan bahwa akses keuangan di Indonesia masih terkonsentrasi di perkotaan. Antara 2018–2022, hanya 52% desa di Indonesia yang memiliki agen bank, dan hanya 16% yang memiliki ATM. Ketimpangan secara geografis juga masih terjadi. Di wilayah Indonesia Barat, 34% penduduk masih kekurangan akses keuangan; di wilayah Indonesia Tengah, 35% menghadapi tantangan serupa, dengan 11% bahkan belum terlayani sama sekali; sementara di wilayah Indonesia Timur, hanya 10% penduduk yang memiliki akses keuangan formal, dan 67% masih belum tersentuh layanan keuangan.

Data Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2024, yang dilakukan oleh OJK dan BPS, memperkuat temuan ini. Indeks literasi keuangan di desa tercatat 59,25%, lebih rendah dibanding kota (69,71%). Indeks inklusi keuangan di desa pun lebih rendah (70,13%) dibanding kota (78,41%). Berdasarkan pekerjaan, petani, peternak, pekebun, dan nelayan adalah kelompok dengan indeks literasi (23,72%) dan inklusi keuangan (6,94%) yang paling rendah.

Ketimpangan ini membatasi akses masyarakat terhadap layanan keuangan formal dan mendorong mereka untuk bergantung pada pinjaman nonformal dengan bunga dan risiko tinggi. Akibatnya, masyarakat, terutama kelompok rentan, semakin terjerat utang dan tidak terlindungi karena lembaga-lembaga ini tidak diregulasi. 

Oleh karena itu, membangun inklusi keuangan dari desa adalah strategi penting bagi Indonesia untuk membangun resiliensi keuangan individu dan ketahanan desa jangka panjang. Pada 2024, pemerintah melalui OJK mewujudkan hal ini dengan mengimplementasikan program EKI di beberapa desa, tiga di antaranya didukung oleh Women’s World Banking. Pelaksanaan EKI mengungkapkan tiga wawasan utama.

Pertama, lensa gender penting diterapkan dalam merancang program inklusi. Program EKI dilaksanakan melalui tiga tahapan, yaitu tahapan prainkubasi, inkubasi, dan pascainkubasi. Pada tahap prainkubasi, pemetaan kebutuhan dan potensi desa dilakukan, termasuk mengidentifikasi tantangan gender yang ada. Pemetaan harus menghasilkan data kuantitatif dan kualitatif untuk menggambarkan hambatan perempuan dalam mengakses layanan keuangan. Banyak perempuan di sektor pertanian dan perikanan tidak menganggap diri mereka sebagai pelaku ekonomi aktif, tetapi sebagai ibu rumah tangga. Akibatnya, mereka tidak mendapatkan kesempatan pelatihan atau akses pembiayaan.

Kedua, kepemimpinan TPAKD dan pemerintah desa berperan vital dalam keberhasilan inklusi keuangan. Koordinasi antara dinas terkait, lembaga jasa keuangan, dan desa memastikan masyarakat tidak hanya mendapat manfaat dari program, tetapi juga bisa mengembangkan usahanya. Di Kilfura, pemerintah desa mengadvokasi bantuan perahu dan kotak penyimpanan ikan untuk nelayan sebagai pelengkap program peningkatan kapasitas, yang kini telah diterima warga. Di Desa Karang dan Puger Kulon, pemerintah desa mendorong penguatan UMKM yang akan melengkapi program literasi dan inklusi keuangan.

Ketiga, keterlibatan kader desa dan tokoh lokal terbukti membuat literasi dan edukasi keuangan lebih efektif. Di Desa Karang, bank syariah terbesar di Indonesia bekerja sama dengan kelompok pengajian ibu-ibu untuk mencetak kader keuangan perempuan. Di Desa Kilfura, fasilitator EKI yang tinggal di desa membuat proses pendampingan tepat sasaran. Dengan pemberdayaan kader desa yang memahami kondisi lokal, program literasi dan inklusi keuangan dapat menjangkau semua kelompok, termasuk penyandang disabilitas, kaum muda, perempuan, petani, dan nelayan.

Pentingnya Penerapan Perspektif Gender

Untuk memperluas inklusi keuangan, pemahaman akan dinamika gender diperlukan. Perempuan di desa berperan penting dalam ekonomi rumah tangga dan usaha produktif, tetapi keterlibatan mereka dalam ekonomi nasional masih tertinggal dibandingkan laki-laki. Hal ini terlihat dari tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan yang lebih rendah, yaitu 55,81% dibandingkan laki-laki yang mencapai 64,25%."

Dalam beberapa tahun terakhir, beragam upaya telah dilakukan untuk mendorong literasi dan inklusi perempuan. Data SNLIK 2024 menunjukkan hasil yang positif: tingkat literasi keuangan perempuan kini lebih tinggi (66,75%) dibandingkan laki-laki (64,14%), begitu pula dengan tingkat inklusi keuangan (76,08% berbanding 73,97%).

Meski ada kemajuan, tantangan gender tetap ada dan memengaruhi sejauh mana perempuan dapat memperoleh manfaat penuh dari layanan keuangan. Di desa, misalnya, banyak perempuan tidak memiliki aset atas nama mereka, sehingga mereka kesulitan mengajukan pinjaman. Selain itu, seperti yang terjadi di Desa Karang dan Desa Kilfura, banyak perempuan tidak mengidentifikasi diri sebagai pelaku ekonomi, sehingga mereka tidak memenuhi syarat untuk mengakses bantuan alat kerja produktif dari pemerintah. 

Perbedaan tantangan antara perempuan dan laki-laki ini perlu dianalisis dengan perspektif gender. Analisis gender penting untuk mengungkap bagaimana norma sosial, relasi kuasa, dan faktor struktural menciptakan ketimpangan dalam akses terhadap layanan keuangan dan sumber daya. Dengan demikian, intervensi yang dirancang dapat lebih tepat sasaran dan efektif.

Sejumlah program telah berupaya menjawab tantangan ini, seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan pembiayaan Ultra-Mikro, yang mendorong peningkatan kapasitas pengelolaan keuangan perempuan. Program-program ini dapat diperkuat dengan inisiatif literasi dan inklusi keuangan agar dampaknya lebih luas, terutama bagi perempuan di perdesaan.

Perspektif gender juga diterapkan dalam program EKI agar perempuan mendapatkan manfaat optimal dari kegiatan peningkatan kapasitas dan layanan keuangan. Di Desa Kilfura, program EKI melatih perempuan untuk mengembangkan produk turunan dari sagu yang kini dipasarkan ke desa-desa lain. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan desa memiliki potensi besar dalam mendiversifikasi sumber daya, sekaligus menegaskan perlunya akses layanan keuangan formal dan aman untuk mendukung usaha mereka. Di Desa Karang, program EKI juga mempertimbangkan peran perempuan dalam kerja perawatan. Pelatihan bagi pelaku UMKM perempuan dirancang lebih inklusif dengan menyediakan mainan anak di tempat pelatihan. Dengan begitu, perempuan tetap dapat meningkatkan kapasitas usahanya sambil memastikan anaknya aman dan terlindungi.

Dengan memahami perbedaan kebutuhan dan peran antara perempuan dan laki-laki melalui perspektif gender, program EKI di setiap desa berperan penting dalam mewujudkan inklusi keuangan yang lebih setara dan merata. EKI membangun landasan kuat untuk mendorong model kolaboratif lintas sektor, mempercepat inklusi keuangan, mengembangkan program literasi yang lebih tepat sasaran, serta memastikan integrasi lensa gender di setiap tahap pelaksanaannya.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Edwin Nurhadi dan Vitasari Anggraeni
Edwin Nurhadi
Direktur Inklusi Keuangan Otoritas Jasa Keuangan

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...