Kesepakatan Dagang RI-AS Dinilai Merugikan, Ekonom Sebut RI Banyak Mengalah

Rahayu Subekti
24 Juli 2025, 13:55
Dagang
Youtube/Joint Congressional Committee on Inaugural Ceremonies
Presiden Amerika Serikat Donald Trump berpidato usai pelantikannya, Senin (20/1). Foto: Youtube/Joint Congressional Committee on Inaugural Ceremonies
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Kesepakatan dagang Indonesia-Amerika Serikat (AS) dinilai merugikan karena Indonesia terlalu banyak memberi konsesi, sementara imbal balik dari AS minim. Sejumlah ekonom menyebut Indonesia menghapus hampir seluruh tarif untuk produk AS, namun justru mendapat tarif lebih tinggi untuk beberapa produk ekspornya.

Kesepakatan ini mencakup sejumlah poin penting, seperti penghapusan tarif produk impor dari AS, penghapusan hambatan non-tarif, hingga pembukaan akses data lintas batas.

Di sisi lain, tercantum pula komitmen pembelian produk-produk Amerika oleh Indonesia, termasuk pesawat Boeing serta komoditas pertanian dan energi.
Namun, para ekonom menilai perjanjian ini cenderung merugikan Indonesia.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menyebut perjanjian tersebut justru menunjukkan ketimpangan yang signifikan.

“Begitu banyak yang harus dikorbankan untuk mendapatkan balasan tarif resiprokal dari AS sebesar 19%,” kata Faisal kepada Katadata.co.id, Kamis (24/7).

Ia menjelaskan bahwa Indonesia bersedia menurunkan tarif impor produk asal AS menjadi 0%. Namun sebaliknya, AS hanya menurunkan tarif ekspor produk Indonesia menjadi 19%, yang dalam beberapa kasus justru lebih tinggi dari tarif sebelumnya.

“Contohnya, produk tekstil Indonesia yang sebelumnya dikenai tarif 5%-15%, kini naik menjadi 19%. Jadi, secara nominal ini bukan penurunan, malah kenaikan,” ujarnya.

Faisal juga membandingkan posisi Indonesia dengan Vietnam. Meski Vietnam memberi tarif 0% untuk produk AS, negara itu tidak menyerahkan terlalu banyak aspek strategis dalam negosiasi.

“Vietnam mungkin tarifnya serupa, sekitar 20%, tapi mereka tidak sebanyak kita dalam hal konsesi. Kita terlalu banyak memberikan,” kata dia.

Ketimpangan Hak dan Kewajiban

Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi menilai perjanjian dagang ini timpang dan tidak berlandaskan prinsip timbal balik yang sejati. Hal ini menunjukkan ketimpangan mendasar dalam distribusi hak dan kewajiban antara kedua negara.

“Indonesia diwajibkan menghapus 99% tarif produk AS, serta menghapus berbagai regulasi pengaman seperti kandungan lokal dan lisensi impor,” ujar Syafruddin.

Ia juga menyoroti pembukaan akses pasar digital dan pertukaran data lintas batas yang harus dilakukan Indonesia, tanpa komitmen imbal balik setara dari AS.

“Amerika hanya menurunkan tarif sampai 19% dan tetap mempertahankan ruang proteksi domestiknya,” katanya.

Bukan Mitra, Hanya Pasar

Syafruddin menyatakan bahwa perjanjian ini menunjukkan posisi Indonesia hanya sebagai konsumen, bukan mitra sejajar dalam sistem perdagangan global.

“Pembelian besar-besaran pesawat, energi, dan hasil pertanian dari AS mencerminkan bahwa Indonesia bukan bagian dari rantai nilai global yang adil. Kita hanya jadi pasar bagi produk negara maju,” ucapnya.

Ia pun mengingatkan agar pemerintah tidak buru-buru mengesahkan perjanjian ini tanpa kajian kritis yang mendalam. Jika tidak, Indonesia bisa terjebak dalam ketergantungan ekonomi terhadap negara besar dan ketimpangan sistem perdagangan global.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Rahayu Subekti

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...