Fenomena Rojali Marak, Pendapatan Mal Merosot Meski Kunjungan Naik


Fenomena Rojali alias rombongan jarang beli kembali menjadi sorotan di tengah kelesuan sektor ritel. Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja mengatakan, meskipun jumlah pengunjung pusat perbelanjaan meningkat, pendapatan mal justru menurun.
“Pasti terjadi penurunan, karena sekarang masyarakat kelas menengah-bawah cenderung membeli produk yang harga satuannya murah,” ujar Alphonzus saat ditemui usai acara Gerak Bersama 100 UMKM Lisensi Merek Lokal di Cililitan, Jakarta Timur, Rabu (23/7).
Kelompok masyarakat menengah atas saat ini cenderung lebih berhati-hati dalam berbelanja, terutama karena pengaruh kondisi ekonomi global, baik secara makro maupun mikro.
Banyak dari mereka memilih berinvestasi karena ketidakpastian global turut memengaruhi nilai tukar rupiah dan harga emas. Sementara di kalangan menengah bawah, fenomena rojali lebih disebabkan oleh melemahnya daya beli.
“Daya belinya berkurang, uang yang dipegang semakin sedikit, tapi mereka tetap datang ke pusat perbelanjaan,” ujarnya.
Ia menjelaskan, fenomena rojali sudah berlangsung cukup lama, namun dampaknya makin terasa sejak ramadan dan idulfitri 2024. Momen yang seharusnya menjadi puncak penjualan ritel itu justru mencatatkan hasil di bawah target.
Ia menyebut penurunan pendapatan ritel tidak hanya disebabkan oleh daya beli yang melemah, tetapi juga diperburuk oleh pengetatan anggaran pemerintah dan faktor lainnya. Padahal setelah Idulfitri, sektor ritel biasanya memasuki masa sepi atau low season.
Alphonzus menambahkan, kunjungan ke mal memang naik, tapi tidak signifikan. APPBI tahun ini menargetkan pertumbuhan kunjungan sebesar 20%-30%, namun realisasinya kurang dari 10%.
“Ini menunjukkan adanya perubahan pola belanja masyarakat,” katanya.
Ia menilai kelompok kelas menengah atas kini lebih berhati-hati berbelanja dan memilih menempatkan dananya pada investasi, seiring ketidakpastian ekonomi global, pelemahan rupiah, dan kenaikan harga emas. Sementara kelas menengah bawah datang ke mal meski daya beli mereka terus tertekan.
“Daya belinya berkurang, uang yang dipegang semakin sedikit, tapi mereka tetap datang ke pusat perbelanjaan,"ujarnya.
Mal Harus Ubah Konsep, Bukan Sekadar Tempat Belanja
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai fenomena Rojali bukan hal baru, tapi tren ini semakin nyata pasca pandemi Covid-19.
“Kelas menengah makin terhimpit oleh biaya hidup, terutama inflasi pangan, harga rumah, dan suku bunga tinggi. Mereka ke mal hanya untuk rekreasi atau refreshing, bukan belanja,” ujar Bhima, Senin (21/7).
Ia menjelaskan, tekanan ekonomi membuat masyarakat lebih memprioritaskan kebutuhan pokok, sementara barang-barang di mal sebagian besar merupakan produk sekunder dan tersier seperti fesyen atau barang mewah.
“Ke mal itu cuma untuk cuci mata,” katanya.
Bhima juga menilai bahwa kemudahan belanja daring semakin memperkuat tren rojali. Ia memperkirakan tren ini akan terus berlanjut hingga 2026.
“Ada perang dagang, potensi PHK di sektor padat karya, daya beli yang menurun, dan efisiensi belanja pemerintah. Semua itu mengurangi ruang belanja kelas menengah,” katanya.
Untuk itu, Bhima menyarankan pusat perbelanjaan mengubah konsep, dengan lebih menonjolkan fungsi sebagai tempat makan, hiburan, dan rekreasi keluarga.
“Mal yang mengubah konsepnya itu yang bisa bertahan. Pengeluaran konsumen untuk hiburan dan rekreasi justru bisa menopang pendapatan mal,” katanya.