Daya Saing Indonesia Merosot 13 Peringkat dalam Setahun, Ini Sederet Penyebabnya


Institute of Management Development (IMD) merilis peringkat daya saing negara-negara di dunia dalam World Competitiveness Ranking (WCR) 2025. Dari laporan terbarunya Juni 2025, daya saing Indonesia ternyata turun 13 peringkat menjadi 40 dari total 69 negara dunia.
Penurunan ini cukup signifikan sebab tahun sebelumnya Indonesia berada di posisi 27. Bahkan posisi saat ini membuat Indonesia jauh tertinggal dari Malaysia yang naik ke posisi 23.
Direktur World Competitive Center (WCC) IMD Arturo Bris mengatakan, Indonesia merupakan salah satu negara dengan performa daya saing terbaik setelah masa pandemi Covid-19. Kenaikan ini didorong dari nilai ekspor migas dan komoditas. Namun, peringkat daya saing Indonesia dan sejumlah negara Asia Tenggara anjlok imbas dari perang tarif.
“Kondisi eksternal berdampak ke beberapa ekonomi Asia. Tarif yang telah dikenakan pada ekonomi Asia Tenggara menghilangkan benefit dari kebijakan mereka sendiri,” kata Bris dalam pernyataan tertulisnya dikutip Rabu (24/6).
Indonesia Masih Bergulat dengan Masalah Struktural
Ekonom Departemen Ekonomi Universitas Andalas Syafruddin Karimi mengungkapkan penurunan daya saing RI yang drastis mencerminkan kenyataan pahit. “Indonesia masih bergulat dengan masalah-masalah struktural yang belum terselesaikan,” kata Syafruddin kepada Katadata.co.id.
Ia menjelaskan, infrastruktur dasar Indonesia masih tertinggal terutama di luar Jawa. Hal ini menyebabkan biaya logistik tetap tinggi dan efisiensi ekonomi lemah.
Sementara itu, kualitas sumber daya manusia belum memadai untuk kebutuhan industri masa depan. Selanjutnya juga ketimpangan pembangunan antar wilayah menciptakan ketidakstabilan sosial yang berpotensi menghambat konsolidasi pasar domestik.
Di sisi kelembagaan, birokrasi masih berbelit, kepastian hukum rendah, dan tata kelola pemerintah belum mampu menghadirkan efisiensi layanan publik yang mendukung dunia usaha.
“Dunia usaha pun masih menghadapi regulasi yang berubah-ubah, beban pajak tinggi, dan minimnya insentif inovasi,” ujar Syafruddin.
Ia menilai, peringkat Indonesia ini menjadi cermin global atas persepsi pelaku ekonomi internasional terhadap arah kebijakan RI. Jika pemerintah tidak segera memperbaiki ekosistem investasi, pendidikan vokasi, dan birokrasi digital, Syafruddin memperingati Indonesia akan semakin kehilangan momentum pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Alarm Kalangan Investor Menyala
Ia menegaskan, peringkat daya saing bukan sekadar indikator reputasi. Hal ini ini merupakan kompas utama bagi investor global dalam memetakan risiko dan potensi suatu negara.
“Ketika Indonesia merosot ke posisi 40 hanya dalam satu tahun, alarm langsung menyala di kalangan investor. Mereka membaca sinyal ketidakstabilan kebijakan, lemahnya efisiensi pemerintah, dan rendahnya daya dukung infrastruktur,” kata Syafruddin.
Ia mengatakan, investor cenderung menghindari ketidakpastian dan mencari negara dengan peringkat daya saing tinggi. Sebab negara tersebut dapat menawarkan prediktabilitas, kemudahan berusaha, serta sistem hukum yang dapat diandalkan.
“Dalam dunia investasi, persepsi sama pentingnya dengan realitas. Jika ranking Indonesia rendah, kepercayaan investor bisa runtuh, bahkan sebelum mereka membuka laptop untuk studi kelayakan,” ujar Syafruddin.
Pergantian Pemerintahan Punya Pengaruh
Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia melihat indikator-indikator yang menyusun indeks peringkat daya saing Indonesia ini muncul dari dua dimensi. Keduanya yaitu efektivitas dari kelembagaan pemerintah dan juga efektivitas daripada kelembagaan swasta.
“Jadi ini menurut saya memang ada kaitan yang cukup berat dengan pergantian pemerintahan,” kata Faisal.
Sebab, Faisal mengatakan peringkat daya saing RI pada 2024 masih lebih bagus di posisi 27. Penurunan yang terjadi pada tahun ini menurutnya karena ada keraguan terhadap efektivitas daripada kelembagaan pemerintah baru saat ini.
“Khususnya bagaimana pemerintah dalam hal menjalankan program-program dan memastikan dampaknya terhadap ekonomi dan terhadap daya saing,” ujar Faisal.
Faisal menekankan, saat ini pemerintahan Prabowo Subianto memiliki pekerjaan rumah yang besar. Khususnya dalam memulihkan kepercayaan bahwa pemerintahannya betul-betul efektif.
“Tapi dibuktikannya secara konkret ya, jadi artinya memang dari sisi rencana dan mobilisasi dan koordinasi serta kecepatan dalam respons dari permasalahan yang harus betul-betul serius,” kata Faisal.
Sementara itu, Faisal juga menyoroti pihak swasta seharusnya bisa lebih responsif terhadap permasalahan ekonomi. Dengan begitu jika kepercayaan dari pemerintah dipulihkan dan peran swasta maksimal akan meningkatkan daya saing RI dengan negara-negara tetangga dalam menarik investasi.