LPS: Stabilitas Perbankan dan Ekonomi Fondasi Soemitronomics


Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan, peran LPS dalam menjaga stabilitas perbankan telah mencerminkan pemikiran begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo. Dalam perjalanannya, LPS telah berkembang menjadi ‘sahabat nasabah’, dari sebelumnya sebagai ‘malaikat maut’ perbankan.
Menurut Purbaya, salah satu fondasi pemikiran begawan ekonomi Indonesia itu terdapat pada disertasinya yang terbit menjadi buku berjudul Kredit Rakyat di Masa Depresi. Hal ini terungkap dalam Simposium Nasional Sumitronomics, di Hotel JS Luwansa, Jakarta Selatan, Selasa (3/6).
“Ini kita lihat bagaimana Pak Soemitro bisa melihat ke belakang sambil memberikan data-data di masa Indonesia belum ada,” kata Purbaya dalam sesi sambutan kunci.
Sumitro Djojohadikusumo ialah begawan ekonomi lintas zaman. Ia, yang juga merupakan ayah dari Presiden Prabowo Subianto, pernah menjabat sebagai Menteri Perdagangan dan Industri, Menteri Keuangan, dan Menteri Riset, baik di Orde Lama hingga Orde Baru.
Buku itu, kata Purbaya, menjelaskan perlunya pemerintah belajar menjaga stabilitas perbankan di masa krisis agar tercipta pemerataan kesejahteraan untuk masyarakat. Periode dalam buku itu terjadi di masa The Great Depression di Amerika Serikat yang berdampak hingga Indonesia pada 1930 silam.
“Kala itu likuiditas perbankan di Indonesia relatif ample bahkan di masa-masa depresi. Sebabnya, sulitnya penyaluran kredit, sehingga membuat likuiditas berlimpah,” ujar Purbaya.
Menurut Purbaya, selain belajar dari masa krisis, Indonesia perlu belajar untuk melakukan pembangunan yang merata agar tercipta stabilitas. Pembelajaran itu bisa berkaca dari negara-negara maju seperti Jepang, Korea Selatan, hingga Cina.
“Kita bisa melihat Jepang berhasil menjadi negara maju dengan mencatat pertumbuhan ekonomi rata-rata sekitar 10 persen pada 1959-1970,” tutur Purbaya.
Masalah di Indonesia selama dua dekade terakhir, kata Purbaya, adalah soal mesin pertumbuhan ekonomi yang belum seimbang. Pada masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), swasta lebih berperan, sementara pada era Joko Widodo pemerintah berperan penting.
“Jadi di era SBY kebijakannya lebih private sector, di era Jokowi lebih state driven,” imbuh Purbaya.
Purbaya menjelaskan, agar pertumbuhan ekonomi bisa lebih berdampak untuk masyarakat, pemerintah perlu melakukan bauran intervensi antara swasta dan pemerintah. Bauran itu berasal dari inovasi digerakkan oleh swasta, tapi regulatornya perlu diawasi oleh pemerintah.
“Pemerintah berperan sebagai regulator yang mengkatalis proses inovasi,” kata dia.
Dalam kaitannya dengan peran pemerintah, LPS berperan penting untuk menjaga stabilitas perbankan dan turut membantu pemerataan daya saing. Peran kritikal LPS antara lain mencakup penjaminan simpanan perbankan, penanganan resolusi bank, hingga menjalankan restrukturisasi perbankan.
Sejak beroperasi pada 2005 hingga 23 Mei 2025 misalnya, LPS telah melikuidasi total 143 bank, yang terdiri dari 128 Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan 15 Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS).
Bank yang telah selesai likuidasinya sebanyak 122 BPR atau BPRS. Jumlah itu terdiri dari 111 BPR dan 11 BPRS. Saat ini, masih terdapat 20 bank yang dalam proses likuidasi.
Kinerja LPS itu membuktikan bahwa peran LPS selaras dengan cita-cita pemikiran Sumitronomics tentang stabilitas ekonomi yang merata. Sebab, LPS senantiasa menjaga stabilitas perbankan dan turut membantu pemerataan daya saing industri.
“Itu agar penyaluran kredit kepada masyarakat, terutama usaha mikro kecil dan menengah (kredit rakyat) dapat terus terjaga,” tandas Purbaya.