Alarm Bahaya Ekonomi RI Menyala, Apa Tanda-tandanya?

Rahayu Subekti
8 Mei 2025, 15:36
perlambatan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, ekonomi
ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/Spt.
Seorang pria memotret deretan gedung bertingkat di Jakarta. Pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat di bawah 5% pada kuartal I 2025.
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I 2025 hanya mencapai 4,87%, melambat dibandingkan periode yang sama tahun lalu 5,11%. Institute for Development of Economics and Finance atau Indef melihat, pertumbuhan ekonomi yang turun sebagai salah satu tanda atau alarm bahaya dari kondisi ekonomi Indonesia saat ini. 

“Pelemahan ini bukan sekadar akibat global, tapi lebih pada terjadinya kegagalan domestik melakukan transformasi struktural,” demikian tertulis dalam laporan terbaru Indef, dikutip Kamis (8/5).

Menurut Indef, ada sejumlah faktor lain yakni ketidakefisienan belanja fiskal, minimnya dorongan produktivitas sektoral, dan stagnasi investasi swasta masih wait and see. Ini artinya, ambisi pertumbuhan tinggi 8% hanya jargon politis tanpa dasar empiris dan data.

Investasi yang stagnan dan konsumsi rumah tangga yang melemah juga memperlihatkan bahwa daya dorong utama pertumbuhan lumpuh. Lebih ironis lagi, menurut Indef, mengungkapkan konsumsi pemerintah yang seharusnya menjadi jangkar pertumbuhan justru dikontraksi oleh efisiensi anggaran sebesar Rp 300 triliun.

“Kebijakan fiskal tersebut mencerminkan disorientasi dan maltujuan, bukannya ekspansif di tengah ancaman pelemahan dengan menciptakan peluang, justru menciptakan kontraksi yang semakin kontraproduktif,” kata Indef.

Menurut mereka, pertumbuhan tinggi sektor pertanian yang berbasis musiman hanya menutupi stagnasi mendalam sektor manufaktur dan pertambangan yang merupakan dua pilar utama hilirisasi. Indef menilai pemerintah terlihat masih belum berhasil mendorong sektor-sektor ini menjadi mesin pertumbuhan yang memberikan nilai tambah besar dan berkelanjutan.

Lembaga ini menjabarkan sejumlah tanda-tanda bahaya yang dihadapi ekonomi Indonesia dan seharusnya menjadi sinyal bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan.

Rentan Terhadap Ekonomi Global dan Harga Komoditas

Indef mengungkapkan, ekonomi Indonesia rentan terdampak perlambatan ekonomi global. Dana Moneter Internasional atau IMF kini sudah merevisi proyeksi perlambatan ekonomi global ke level 2,8% dari sebelumnya 3,3% pada 2025.

“Ini menandai fase stagnasi dunia pascakrisis. Hal ini akan berimplikasi pada melemahnya ekonomi Indonesia,” kata Indef.

Menurut lembaga ini,  ketergantungan pada ekspor komoditas mentah tanpa lompatan industrialisasi menjadikan Indonesia rentan terhadap dinamika eksternal. Pemerintah terlihat tidak cukup agresif dalam merespons tren perlambatan ekonomi global ini dengan strategi diversifikasi dan peningkatan daya saing manufaktur berbasis teknologi tinggi.

Di sisi lain, Indef juga mewaspadai dual shocks yang akan menggerus neraca perdagangan akibat volatilitas harga komoditas. “Implikasi volatilitas harga komoditas menciptakan risiko ekonomi domestik dual shocks bagi Indonesia,” tulis Indef.

Satu sisi menunjukan positive revenue shock dari lonjakan harga batu bara dan minyak mentah. Hal ini berpotensi menambah penerimaan devisa dan royalti namun sifatnya temporer dan tidak inklusif.

Sementara di sisi lain, ada dampak negative margin shock dari anjloknya harga nikel dan CPO. Hal ini berdampak langsung terhadap sektor hilirisasi dan tenaga kerja di daerah berbasis tambang dan perkebunan.

Rezim Suku Bunga Tinggi dan Lesunya Dunia Usaha

Indef memaparkan, rezim suku bunga tinggi dan kebijakan efisiensi anggaran membuat likuiditas perekonomian mengering. Kebijakan BI-Rate, suku bunga SRBI, dan yield SBN naik mendorong migrasi likuiditas perekonomian mengarah pada aset-aset berimbal hasil tinggi.

Situasi diperparah dengan kebijakan efisiensi anggaran yang kebablasan. “Ini semakin menyusutkan perputaran likuiditas di sektor riil untuk mendorong pertumbuhan ekonomi,” tulis Indef.

Pertumbuhan kredit pada Maret 2025 melambat menjadi 8,7% dibandingkan bulan sebelumnya 9,7% meskiada momentum Ramadan dan Lebaran Idulfitri.

“Hal ini menggambarkan semakin lemahnya dukungan sektor keuangan bagi peningkatan aktivitas sektor riil yang ujungnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi,” tulis Indef.

Indef melihat adanya urgensi kombinasi kebijakan optimalisasi potensi domestik, stimulus fiskal tepat sasaran, dan dukungan ekosistem industri untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Ini penting, terutama di saat ekonomi global sedang mengalami ketidakpastian.

“Maka Indonesia perlu melihat potensi ekonomi domestik. Lebih dari itu pemerintah juga perlu menguatkan fungsi stimulus fiskal yang berdampak langsung terhadap konsumsi,” kata Indef.

Selain itu, menurut Indef, perlunya industri pengolahan mendapat dukungan dari berbagai sektor yang menjadi ekosistem industri. Hal ini seperti dukungan energi, logistik, infrastruktur, tenaga kerja, fiskal, perdagangan, dan lainnya.

Kehabisan Sumber Pertumbuhan

Peringatan juga datang dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI). Dalam laporan Indonesia Economic Outlook Kuartal II 2025 yang baru mereka rilis, lembaga ini memperingatkan bahwa tren meningkatnya kerentanan masih berlanjut.

“Meskipun proporsi penduduk miskin menurun menjadi 9,0%, kelompok rentan justru meningkat menjadi 24,2%,” kata Ekonom LPEM FEB UI Teuku Riefky.

Riefky menjelaskan, kelas menengah terus menyusut dan kini levelnya setara dengan tahun 2017 yaitu 17,1%. Ia pun menegaskan pelemahan ini bukan semata-mata akibat disrupsi struktural dari pandemi Covid-19 lantaran kontraksi sebenarnya sudah mulai terjadi sejak 2018.

“Lima tahun terakhir menunjukkan bahwa Indonesia mulai kehabisan sumber pertumbuhan,” kata Riefky.

Riefky menjelaskan, model pertumbuhan yang ada memang mampu mencegah banyak orang jatuh kembali ke kemiskinan. Namun belum cukup kuat untuk menghindarkan mereka dari kerentanan.

Menurut Riefky, hal itu bisa jadi menandai berakhirnya dua dekade perbaikan kesejahteraan yang membentuk dua dekade pertama milenium ini. “Dengan tren yang ada, fundamental ekonomi berbasis konsumsi di Indonesia mulai menunjukkan tanda tanda kemunduran,” ujar Riefky.

Rupiah Terus Rentan

Tanda bahaya lainnya adalah risiko berlanjutnya pelemahan rupiah. Bank Indonesia mengumumkan rencana intervensi agresif di pasar valuta asing. Ini didorong oleh depresiasi rupiah yang signifikan dan telah mencapai titik terendah sejak krisis keuangan 1998.

Selain tindakan di pasar valuta asing, Bank Indonesia juga melakukan pembelian obligasi pemerintah di pasar sekunder dan mengoptimalkan instrumen likuiditas rupiah. Meskipun langkah-langkah ini dimaksudkan untuk mengurangi beberapa tekanan, Riefky menyebut, rupiah kemungkinan akan tetap rentan dalam waktu dekat.

“Ini terutama karena perselisihan perdagangan yang sedang berlangsung terus membebani pasar global,” kata Riefky.

Setelah libur Idulfitri 2025 pada awal April, rupiah melanjutkan pelemahannya akibat kondisi ekonomi global. Perselisihan dagang telah menjadi hal yang cenderung biasa.

Pada 8 April 2025, saat hari pertama aktivitas pasar setelah libur, rupiah melemah ke level Rp 16.860 per dolar AS, level terendah sejak krisis 1998.

Sebelumnya, pada 7 April 2025, rupiah sempat anjlok ke level terendah sepanjang sejarah terhadap dolar AS di pasar non-deliverable forward (NDF) luar negeri. Kala itu rupiah menyentuh Rp 17.261 per dolar AS. Meskipun hanya sebentar, angka ini menandai level terlemah sepanjang sejarah.

 

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Rahayu Subekti
Editor: Agustiyanti

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...