Menaker Miris dengan Sistem Pendidikan RI yang Merugikan Buruh


Menteri Ketenagakerjaan Yassierli mengatakan, sistem pendidikan saat ini merugikan posisi buruh dalam hubungan industrial. Ia mengaku ikut andil dari masalah itu saat menjadi dosen di Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Bandung selama 25 tahun terakhir.
Ia bercerita, dua mantan mahasiswanya kini menjadi perwakilan perusahaan aplikator saat sosialisasi imbauan penyaluran Bonus Hari Raya Lebaran 2025 kepada pengemudi ojek daring.
"Loh, kok seperti ini hasil didikan saya? Walaupun saya hanya mengajar satu mata kuliah saat ini. Maka. saya menyimpulkan ada yang salah dengan sistem pendidikan di dalam negeri," kata Yassierli di Kantor Komisi Nasional HAM, Jumat (2/5).
Ia menyampaikan, pendidikan industrial di dalam negeri hingga kini mengikuti mazhab barat. Tenaga kerja dianggap sebagai alat produksi untuk menghasilkan tingkat produksi optimum.
Pada saat yang sama, Yassierli mencatat serikat buruh konsisten mengedepankan kesejahteraan buruh di lingkungan kerja. Kondisi ini menyebabkan, tidak ada titik temu antara pemberi kerja dan tenaga kerja akibat perbedaan pandangan tentang hubungan industrial.
"Pertemuan pemberi kerja dan tenaga kerja tidak akan pernah memunculkan solusi win-win dan juga tidak menghasilkan solusi win-lose. Kesepakatan yang ada akan mencederai salah satu pihak yang membuat kondisi zero sum game," katanya.
Zero sum game adalah kondisi tidak ada pihak yang diuntungkan. Yassierli menilai budaya kerja di dalam negeri belum siap untuk memunculkan kesadaran terkait hak atas pekerjaan yang layak.
Ia berargumen, sistem pendidikan saat ini membuat seluruh pemberi kerja di dalam negeri mengedepankan tingkat pengembalian investasi atau RoI untuk menghitung kinerja perusahaan. Oleh karena itu, Yassirli berpendapat harus ada pengubahan pola pikir pendidikan industrial di dalam negeri.
Ia mendorong tenaga pengajar harus menyematkan kearifan lokal saat mengajar hubungan industrial, khususnya gotong royong. Yassierli berpendapat langkah tersebut dapat memperbaiki kondisi minimnya pekerjaan layak dalam jangka panjang.
"Presiden dalam pidatonya di Monas mengatakan tidak masalah orang kaya semakin kaya, selama pengusaha memperhatikan kesejahteraan buruh. Namun sektor ketenagakerjaan di dalam negeri belum sampai bab itu," katanya.
Yassierli mengaku geram dengan argumen perusahaan aplikator terkait imbauan pemberian BHR Lebaran 2025 kepada ojol. Salah satu perusahaan aplikator menyatakan telah membantu mengurangi angka pengangguran walaupun dengan upah tidak layak.
Yassierli menceritakan dirinya saat itu dihadapkan dengan pertanyaan peningkatan angka pengangguran atau upah tidak layak oleh perusahaan aplikator. Ia mencatat argumen utama para perusahaan aplikator adalah telah membantu masyarakat dengan menciptakan lapangan kerja.
"Argumentasi yang membuat kami kesal kepada pengusaha aplikator adalah: daripada masyarakat menganggur," katanya.
Badan Pusat Statistik mendata, jumlah pengangguran terbuka pada Agustus 2024 mencapai 7,46 juta orang atau 4,91% dari total angkatan kerja. Sedangkan 62,93% pengangguran terbuka saat ini memiliki pendidikan SMA/SMK atau lebih rendah.
Sebanyak 30,72% atau 2,29 juta pengangguran berpendidikan SMA, tapi lulusan SMK memiliki angka pengangguran yang rendah, yakni 0,25% atau hanya 18.401 orang.
Yassierli menemukan, angka pengangguran terbuka pada angkatan kerja dengan pendidikan tinggi cukup banyak, yakni 13,56% dari total pengangguran atau sejumlah 1,01 juta.
Secara rinci, pengangguran dengan pendidikan diploma sebanyak 170.527 orang, sementara jumlah tuna karya dengan ijazah sarjana mencapai 842.378 orang pada Agustus 2024. Maka dari itu, Yassierli menilai tren pasar tenaga kerja pada masa depan adalah peningkatan di sisi informal.
Dengan kata lain, Yassierli mengatakan tren pekerja yang tidak memiliki perlindungan sosial atau jaminan kerja akan meningkat. Namum, Yassierli menekankan tren tersebut tidak terjadi hanya di Indonesia, tetapi terjadi secara global.
"Dalam forum BRICS beberapa hari lalu di Brasil, kata kunci tema ketenagakerjaan di semua negara anggota sama, yakni perlindungan sosial, pekerjaan layak, dan seterusnya. Kondisi kita mirip-mirip dengan India dan Brasil," ujarnya.