DPR Cecar Danantara Soal Inefisiensi, Erick Bandingkan dengan Pembentukan INA


Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mencecar Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara atau Danantara Indonesia berkaitan dengan efisiensi proyek yang dijalankan. DPR menilai sejumlah proyek yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) selama ini tidak efisien dibanding bila dikerjakan oleh swasta.
Dalam rapat kerja yang berlangsung Rabu (23/5) DPR juga mempertanyakan aliran setoran dividen BUMN ke kantong Danantara. Anggota Komisi VI DPR, Ahmad Labib, mengungkapkan sejumlah BUMN mendapatkan penugasan khusus untuk mengelola kuota impor komoditas strategis, mulai dari daging sapi dan gandum oleh PT Berdikari, beras dan bahan kimia oleh Sarinah, hingga baja oleh PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) serta hortikultura.
Menurut Labib, dalam pelaksanaannya BUMN kerap kali hanya menjadi perantara dan justru bergantung pada pihak ketiga. Labib menyebut, dalam banyak kasus, kuota impor tersebut sebenarnya telah dikuasai pihak swasta. BUMN hanya menjadi legalitas dan simbol BUMN saja.
“Karena itu pasti memunculkan inefisensi, bukan keuntungan. Padahal bagi swasta, peluang sekecil apapun itu potensi keuntungan. Nah ini yang terjadi di BUMN,” kata Labib dalam Rapat Kerja dengan Menteri BUMN dan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dan Danantara di Komisi VI DPR RI, Jakarta, Rabu (23/7).
Tak hanya itu, Labib menjelaskan pola ketergantungan terhadap pihak ketiga berisiko melemahkan posisi BUMN dalam jangka panjang. Ia menilai, BUMN bakal kehilangan kendali atas produk dan pasarnya sendiri.
Menurut Labib, apabila terus dibiarkan kondisi tersebut dapat mengganggu peran strategis BUMN dalam mengelola captive market yang semestinya menjadi fondasi bagi kemandirian ekonomi nasional.
Pertanyakan Aliran Dividen BUMN ke Danantara
Seiring dengan itu, Anggota Komisi VI DPR RI, Mufti Aimah Nurul Anam, juga mempertanyakan kebijakan pengalihan dividen BUMN yang kini tidak lagi masuk ke kas negara. Ia menegaskan dividen BUMN merupakan hak negara dan rakyat, serta seharusnya dicatat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Nah, pertanyaannya, kalau memang dividen BUMN diserahkan ke danantara, maka pertanyaan saya adalah, apa jaminan bahwa danantara bisa mengelola uang ini lebih baik daripada dikelola Kementerian Keuangan, Pak?” tanya Mufti.
Ia pun mempertanyakan mekanisme dividen tersebut tidak lagi dikelola oleh Kementerian Keuangan, melainkan dialihkan ke Danantara. Mufti menyebut DPR memiliki fungsi pengawasan dan pengimbang (check and balance), dan pengalihan dividen tersebut perlu menjadi pengingat agar tidak bertentangan dengan konstitusi.
Ia merujuk pada Pasal 23 UUD 1945 yang menyatakan seluruh penerimaan negara harus dimasukkan dalam APBN dan dibahas bersama DPR. “Siapa ke depan yang akan melakukan check and balance terhadap semua yang dilakukan oleh danantara, Pak? Apakah kemudian akan dilaporkan kepada Presiden?” kata Anam.
Mufti juga menyoroti aspek pengawasan terhadap Danantara. Ia menilai tidak realistis apabila setiap transaksi keuangan yang dilakukan oleh Danantara harus dilaporkan langsung kepada Presiden.
Ia mengingatkan tujuan dari pembentukan Danantara tidak menciptakan entitas berjalan sendiri tanpa pengawasan, layaknya "negara dalam negara" dalam pengelolaan keuangan.
“Padahal pengalihan dividen danantara dampaknya sangat jelas. Negara hari ini kehilangan pemasukannya. Kementerian Keuangan hari ini harus memutar otak untuk bagaimana menambal defisit,” ujar Mufti lagi.
Bandingkan Danantara dengan INA
Menanggapi pertanyaan dan kritik dari DPR, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir membandingkan proses Indonesia Investment Authority (INA) dengan pembentukan Danantara. Ia menyebut DPR perlu memahami proses Danantara, INA bahkan perlu 18 bulan untuk transisi.
“Karena tidak mungkin dan antara yang baru lahir harus langsung berlari. Inah memerlukan waktu 18 bulan untuk transisi. Danantara yang jauh lebih besar dari INA, kalau bisa 6 bulan berlari ini luar biasa, ini bayi ajaib,” kata Erick.
Erick berharap agar percepatan dapat terwujud, dan perlu dukungan dari semua pihak, baik Komisi VI maupun kementerian, demi mencapai tujuan bersama yang sejalan dengan visi Presiden dan cita-cita bangsa. Erick optimistis dalam enam bulan ke depan akan terlihat hasilnya, meski ia pun mengakui banyak tantangan, mengingat terdapat 22 program kerja untuk transformasi bisnis BUMN.
Sementara itu, Chief Operating Officer (COO) Danantara Indonesia, Dony Oskaria mengatakan terdapat 22 program yang menjadi bagian dari upaya optimalisasi portofolio BUMN yang dibagi dalam tiga klaster, yakni restrukturisasi, konsolidasi, dan pengembangan.
Dony mengatakan dalam bidang restrukturisasi, Danantara Asset Management (DAM) menyoroti empat sektor utama mencakup bisnis maskapai penerbangan, infrastruktur manufaktur baja, proyek kereta api cepat, hingga restrukturisasi sektor asuransi.
“Jadi lima hingga enam bukan kedepan, kami harapkan mampu menyelesaikan ada 22 program kerja dan sudah dikonsultasikan ke DPR,” kata Dony.
Selain itu, Dony menyebut Danantara juga mengelompokan program kerja ke dalam dua fokus utama lainnya, yakni streamlining dan konsolidasi bisnis. Konsolidasi akan menyasar sembilan sektor strategis BUMN, di antaranya konstruksi, industri pupuk, layanan kesehatan, perhotelan, industri gula, hilirisasi minyak, asuransi, pengelolaan aset, dan kawasan industri.
Kemudian delapan program lainnya untuk mendorong pengembangan sektor-sektor baru yang memiliki prospek jangka panjang. Danantara Asset Management (DAM) akan mempercepat ekspansi di sektor koperasi, ketahanan pangan, baterai, industri semen, perbankan syariah, telekomunikasi, serta industri galangan kapal.