Pasar Tunggu Kejelasan Negosiasi Tarif AS, Harga Emas dalam Tren Menurun


Harga emas (XAU/USD) diprediksi akan mengalami tren pelemahan (bearish) dalam jangka pendek. Para pelaku pasar masih menunggu kejelasan dari hasil negosiasi tarif antara Amerika Serikat (AS) dengan sejumlah mitra dagangnya.
Harga emas telah melanjutkan reli pada Selasa (22/7) dan Rabu (23/7). Harga emas menguat lebih dari 0,9% setelah imbal hasil obligasi pemerintah AS terus mengalami penurunan. Pelemahan imbal hasil obligasi ini memicu pelemahan dolar AS, sehingga mendorong aliran dana kembali ke aset safe haven seperti emas.
Andy Nugraha, Analis Dupoin Futures Indonesia, menyebutkan pagi ini emas (XAU/USD) diperdagangkan di level US$ 3.427 atau Rp 55,81 juta (kurs Rp 16.280/US$) per ounce, setelah mengalami rebound dari titik terendah harian di US$ 3.383 atau Rp 55,09 juta per ounce.
"Kondisi ini mencerminkan sentimen pasar yang masih terombang-ambing menunggu perkembangan lanjutan terkait negosiasi perdagangan Amerika Serikat dengan mitra dagangnya," kata Andy, di Jakarta, Kamis (24/7).
Secara teknikal, grafik pergerakan harga emas (XAU/USD) menunjukkan kombinasi pola candlestick dan indikator Moving Average yang mengindikasikan penguatan kembali tren pelemahan (bearish). Andy Nugraha juga menilai momentum pelemahan masih dominan, sehingga berpotensi mendorong harga emas lebih rendah dalam jangka pendek.
“Jika tekanan jual berlanjut, harga emas berpotensi turun hingga ke level US$ 3.363 (Rp 54,76 juta) per ounce,” ujarnya. Namun, apabila harga gagal menembus support tersebut dan justru memantul kembali, harga emas berpotensi naik di sekitar level US$ 3.414 atau Rp 55,59 juta per ounce.
Pada hari Rabu (23/7), emas sempat mengalami penurunan moderat setelah pasar mencerna implikasi kesepakatan perdagangan antara Amerika Serikat dan Jepang.
Harga emas (XAU/USD) tercatat berada di kisaran level US$ 3.386 (Rp 55,14 juta) per ounce, pada Kamis (24/7), melemah dari puncak terbaru seiring membaiknya sentimen risiko akibat semakin dekatnya realisasi kesepakatan dagang AS dan mitranya.
Kesepakatan Dagang AS-Jepang
Presiden AS Donald Trump mengumumkan bahwa AS dan Jepang telah mencapai “kesepakatan besar”, yang mencakup pengurangan tarif timbal balik menjadi 15% dari semula 25%. Dari kesepakatan ini, Jepang akan berinvestasi senilai US$ 550 miliar (Rp 8,95 kuadriliun) dan memperluas akses pasar bagi produk pertanian serta otomotif AS ke negaranya.
Kesepakatan ini telah meredam sebagian kekhawatiran terkait ketegangan perdagangan, sehingga aliran modal ke aset safe haven termasuk emas menurun dalam jangka pendek. Namun, Andy menilai dukungan fundamental untuk emas tetap kokoh.
Risiko terhadap pengenaan tarif lanjutan masih menghantui karena tenggat waktu 1 Agustus semakin dekat. Sementara itu, negosiasi perdagangan antara Uni Eropa dan AS masih berlanjut tanpa kepastian akhir.
Apabila tidak tercapai kesepakatan, pemerintah AS dapat memberlakukan tarif hingga 30% pada impor dari Uni Eropa, yang kemungkinan memicu langkah balasan dari blok tersebut, termasuk terhadap sektor layanan digital dan produk dirgantara.
Di sisi lain, rilis data Penjualan Rumah Lama AS pada Rabu (23/7) menunjukkan penurunan menjadi 3,93 juta unit per tahun pada Juni, lebih rendah dari perkiraan 4,01 juta unit dan menandakan dampak dari suku bunga hipotek yang tinggi terhadap pasar perumahan. Kondisi ini berpengaruh pada ekspektasi kebijakan The Fed, karena pelaku pasar semakin mempertimbangkan risiko perlambatan sektor properti terhadap pertumbuhan ekonomi dan inflasi.
Berdasarkan variabel-variabel tersebut, Andy Nugraha merekomendasikan para trader untuk memonitor pergerakan imbal hasil obligasi AS, perkembangan negosiasi dagang, serta data ekonomi makro sebagai acuan utama.
“Level US$ 3.363 (RP 54,76 juta) dan US$ 3.414 (Rp 55,59 juta) menjadi patokan kunci hari ini. Pergerakan di luar rentang ini akan menentukan arah selanjutnya bagi harga emas,” kata Andy.