OJK Soroti Kesenjangan Perlindungan Asuransi, Minta Industri Lebih Inovatif

Karunia Putri
22 Mei 2025, 16:56
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Ogi Prastomiyono dalam acara Indonesia Insurance Summit 2025 yang digelar OJK di Bali, Kamis (22/5).
Katadata / Karunia Putri
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Ogi Prastomiyono dalam acara Indonesia Insurance Summit 2025 yang digelar OJK di Bali, Kamis (22/5).
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Ogi Prastomiyono menyoroti kesenjangan perlindungan atau protection gap yang sedang santer dibicarakan industri asuransi global. Menurut Ogi meski istilah tersebut tidak akrab di masyarakat namun harus menjadi perhatian serius dunia asuransi.  

“Mungkin istilah ini masih belum umum bagi sebagian kita, namun di tingkat global, protection gap telah menjadi isu utama yang terus dibahas, termasuk dalam berbagai forum internasional seperti International Association of Insurance Supervisors,” kata Ogi dalam acara Indonesia Insurance Summit 2025 yang digelar OJK di Bali, Kamis (22/5).

Ogi menjelaskan kesenjangan perlindungan adalah selisih antara kerugian ekonomi akibat risiko tertentu dengan jumlah yang benar-benar dilindungi oleh asuransi atau skema perlindungan lainnya. Menurut Ogi, saat ini banyak risiko yang sebenarnya dihadapi oleh masyarakat namun belum mendapatkan perlindungan yang memadai.

Berdasarkan kajian dari Global Asia Insurance Partnership, ada lima jenis protection gap yang perlu diperhatikan. Pertama adalah bencana alam. Paparan bencana alam yang tinggi karena lokasi geografis negara di benua Asia, khususnya Indonesia berada di Cincin Api Pasifik atau (Ring of Fire) dinilai mampu meningkatkan protection gap. 

Kemudian ada kematian. Kata Ogi, kurangnya jaminan kematian menyebabkan beban keuangan yang ditanggung anggota keluarga yang masih hidup menjadi lebih tinggi. Selanjutnya dunia maya risiko kejahatan siber. Kemajuan teknologi sejalan dengan tingginya disebut dapat meningkatkan risiko siber.

Kesenjangan asuransi lainnya berkaitan dengan bidang kesehatan. Menurut Ogi, meningkatnya kesadaran kesehatan tidak seimbang dengan perlindungan yang memadai. 

Persoalan terakhir berkaitan dengan tabungan pensiun. Dalam paparannya, Ogi mengatakan rasio penggantian saat ini dinilai masih rendah dan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pensiun.

“Artinya hanya sebagian kecil masyarakat yang saat ini memiliki akses terhadap perlindungan atas risiko disebut,” ujar Ogi.

Seiring dengan tantangan tersebut, Ogi menilai sektor asuransi diharapkan mampu mengambil peran yang lebih aktif, terutama dalam mengembangkan strategi dan inovasi produk. Hal ini diyakini dapat memperkecil kesenjangan dan memperluas akses perlindungan risiko bagi semua lapisan masyarakat, termasuk kelompok rentan dan mereka yang tinggal di daerah terpencil.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh GAIP, pada 2022 kesenjangan perlindungan di Asia-Pasifik, termasuk Indonesia diperkirakan mencapai US$ 886 miliar atau sekitar Rp 14.000 triliun. Angka ini meningkat sebesar 38% selama lima tahun terakhir. Dengan kata lain, penduduk Asia tergolong kurang terlindungi asuransi sehingga rentan mengalami kerugian ekonomi.

Aset Industri Asuransi Nasional Naik 1,49%

Ogi membeberkan, industri asuransi Indonesia mengalami kenaikan nilai aset sebesar 1,49%. Per Maret 2025, total aset industri asuransi nasional tercatat mencapai Rp 1.145,63 triliun. Jika melihat dari sisi Compound Annual Growth Rate (CAGR) selama periode 2014–2024, sektor ini tumbuh rata-rata sebesar 8,30% per tahun.

Sementara itu, data per Maret 2025 menunjukkan penyedia program asuransi kini berjumlah 148 perusahaan dengan total premi sebesar Rp 133,95 juta yang naik 2,68% secara year on year. Kemudian jumlah klaim sebesar 103,65 juta, meningkat 0,72% yoy dan rasio klaim sebesar 77,28%, naik 3,49% dari Februari 2025 lalu.

Selain itu, hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan yang dilakukan oleh OJK bersama BPS menunjukkan tren peningkatan yang konsisten dalam tingkat literasi asuransi. “Kita tidak dapat menutup mata terhadap tantangan yang masih dibayangi sektor ini,” kata Ogi.

Kepercayaan Publik Masih Rendah

Tak hanya itu, Ogi juga membeberkan beberapa masalah yang ada di sejumlah perusahaan asuransi. Di antaranya adalah meningkatnya jumlah pengaduan konsumen sehingga menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat. 

Lebih jauh lagi, kontribusi sektor asuransi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia juga masih tergolong rendah. Hingga akhir 2024, rasio aset industri asuransi terhadap PDB baru mencapai 5,12%. Angka ini jauh tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia. Ia juga mengatakan pergeseran sektor perasuransian menjadi lebih susut terjadi pasca pandemi Covid-19.

“Angka ini mencerminkan bahwa masih terdapat ruang pertumbuhan bagi industri perasuransian yang sangat besar. Dinamika dan perubahan yang terjadi secara masif dalam beberapa tahun terakhir, terutama pasca pandemi Covid-19,” tutup Ogi.




Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Karunia Putri

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...