Utang Rp 7,5 T Jatuh Tempo Mei-Juni, Garuda Nego Tunda Bayar ke Bank
Pandemi corona menghantam bisnis maskapai penerbangan di seluruh dunia, termasuk PT Garuda Indonesia ( (Persero) Tbk. Selain menghadapi bisnis yang goyah, Garuda juga menghadapi masalah pembayaran utang jangka pendek yang akan jatuh tempo pada Juni 2020 senilai US$ 500 juta atau sekitar Rp 7,5 triliun (asumsi kurs Rp 15.000 per dolar AS).
Direktur Utama Garuda Irfan Setiaputra mengatakan perusahaannya membutuhkan kelonggaran untuk membayar utang yang jatuh tempo dalam waktu 1-2 bulan mendatang. "“Kami akan meminta penundaan pembayaran atas kewajiban perbankan yang jatuh tempo,” kata Irfan dalam rapat dengar pendapat (RDP) virtual dengan Komisi VI DPR, Rabu (29/4).
(Baca: Bos Garuda Ungkap Biaya Mahal Sewa Pesawat & 18 Bombardier di Gudang)
Berdasarkan laporan keuangan akhir 2019, Garuda mengalami kerugian US$ 669 juta dan modal usahanya minus US$ 2,1 miliar per 31 Desember. Pandemi corona membuat Garuda mengalami kesulitan arus kas (cash flow). "Pukulan terbesar Garuda ada di sisi cash flow, awal tahun (2020) kami harapkan meneruskan hasil positif tahun lalu, namun terhenti karena Covid-19," kata Irfan.
Hingga Desember 2019, total utang Garuda Indonesia mencapai US$ 984,85 juta atau sekitar Rp 15 triliun. Sebagian dari jumlah itu yakni sebesar US$ 500 juta yang dipinjam dari berbagai bank nasional dan internasional akan jatuh tempo pada Mei dan Juni tahun ini.
Garuda harus membayar utang kepada Bank Of China Limited sebesar US$ 50 juta atau setara Rp 750 miliar yang jatuh tempo pada 11 Mei 2020. Selanjutnya, kewajiban kepada Bank Panin sebesar US$ 150 juta atau setara Rp 2,25 triliun akan jatuh tempo pada 24 Mei 2020.
(Baca: Garuda Maintenance Rugi Rp 50 M Akibat Pembengkakan Beban Usaha)
Tercatat juga utang kepada PT Bank ANZ Indonesia sebanyak US$ 10 juta atau sekitar Rp 150 miliar yang akan jatuh tempo pada 31 Mei 2020. Pada hari yang sama, Garuda juga punya kewajiban yang jatuh tempo kepada BRI sebesar US$ 30 juta atau setara Rp 450 miliar.
Pada Juni pun berderet utang yang jatuh tempo. Utang Garuda kepada Bank BCA sebanyak Rp 30 miliar akan jatuh tempo pada 7 Juni 2020. Sehari kemudian, pada 8 Juni, Garuda harus melunasi utang sebesar US$ 12,8 juta atau setara Rp 190 miliar kepada Bank Maybank Indonesia.
Lalu, pada 23 Juni 2020, Garuda harus membayar utang jatuh temponya sebesar US$ 50 juta atau setara Rp 750 miliar kepada Bank CIMB Niaga. Selain itu, pada 30 Juni terdapat utang jatuh tempo kepada The Hongkong and Shanghai Banking Corporation Limited sebesar US$ 20 juta atau setara Rp 300 miliar.
Selain utang kepada perbankan, Garuda juga memiliki beberapa kewajiban pembayaran kepada pihak ketiga. Irfan menyatakan pihaknya sudah bernegosiasi meminta penundaan pembayaran (pending payement) kepada pihak ketiga seperti Pertamina, Angkasa Pura, Airnav, dan pihak lainnya.
Jika situasi semakin memburuk Garuda akan mengambil langkah restrukturisasi pembayaran. “Kami bertahan dengan melakukan treatment, kita memprediksi ini sampai Desember,” kata Irfan.
Maskapai pelat merah ini juga akan mengajukan insentif dan fasilitas perpajakan (tax holiday) kepada Pemerintah. Tujuannya, agar Perseroan mampu menjaga arus kasnya di tengah kondisi bisnis penerbangan yang sedang suram imbas virus corona.
Garuda juga akan memangkas rute-rute penerbangan yang dinilai merugikan baik domestik maupun internasional, untuk meningkatkan margin di rute-rute potensial. Awalnya, Garuda berupaya mengejar pendapatan dengan memaksimalkan perjalanan haji dan umrah, namun tak bisa terlaksana setelah pemerintah Arab Saudi menghentikan dua kegiatan tersebut.
Untuk mempertahankan kecukupan arus kas, Garuda juga akan melakukan efisiensi hingga 15%-20% dari total biaya operasional. Langkah yang sudah ditempuh yakni pemotongan gaji karyawan mulai 17 April sampai Juni mendatang. Keputusan ini berdasarkan Surat Edaran Nomor JKTDZ/SE/70010/2020 tentang Ketentuan Pembayaran Take Home Pay Kondisi Pandemi Covid-19.
(Baca: Garuda Tetap Layani Penerbangan Domestik Meski Mudik Lebaran Dilarang)