Menakar Prospek PGEO dari Kerja Sama Danantara dan Ekspansi, Cek Proyeksi Harga


Pemerintah melalui Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) tengah menggencarkan proyek strategis nasional demi mencapai swasembada energi, khususnya Energi Baru Terbarukan atau EBT. Melalui proyek tersebut, analis menilai sejumlah emiten sektor energi dan mineral berpotensi bakal mengeruk untung.
PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) disebut akan menjadi leading di bidang geothermal nasional dan EBT. Apalagi perseroan telah merencanakan penandatanganan Head of Agreement (HoA) dan Memorandum of Understanding (MoU) antara Danantara dan PGEO terkait pelaksanaan proyek investasi prioritas negara pada Selasa (24/6).
Berdasarkan hasil diskusi antara jajaran direksi PGEO di kantor Danantara yang turut dihadiri oleh CEO Danantara, Rosan Roeslani mengatakan salah satu prioritas adalah pengembangan energi panas bumi hingga kapasitas 3 gigawatt (GW). Tak hanya itu, Bos Danantara itu juga menyinggung soal Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034 agar dapat menjadi perhatian utama. Khususnya dalam integrasi proyek-proyek panas bumi.
Rosan berharap, duet antara PGEO dan Danantara bisa menjadi katalis bagi percepatan hilirisasi energi serta mendorong pertumbuhan ekonomi hijau di tingkat nasional.
Melalui berbagai rencana ekspansi yang akan dilakukan PGEO dengan bantuan investasi dari Danantara tersebut, Analis MNC Sekuritas Hijjah Marhama, atau sering disapa Rahma, menyebut prospek PGEO akan cerah hingga akhir tahun 2025.
Rahma bahkan memproyeksikan laba penuh tahun 2025 yang diproyeksikan mencapai US$ 132 juta hingga US$ 138 juta atau setara dengan Rp 2,25 triliun (dengan kurs 16.329 terhadap dolar Amerika Serikat).
“Target fundamental PGEO di Rp 2.350,” kata Rahma ketika dihubungi Katadata, Jumat (18/7).
Dia juga menilai fundamental PGEO masih solid untuk saat ini. Tingkat pengembalian ekuitas atau Return on Equity (ROE) PGEO diperkirakan dapat tumbuh hingga 12-13%.
Di samping suntikan modal investasi Danantara, Rahma menyebut PGEO akan diuntungkan dengan pendapatan rutin dari PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) yang akan mendapat royalti lebih kurang 4% dari EBITDA BREN.
Adapun BREN, melalui anak usahanya PT Star Energy Geothermal) memiliki dan mengelola beberapa wilayah kerja panas bumi, salah satunya adalah WKP Gunung Salak dan Darajat. Aset ini merupakan aset panas bumi yang dikembangkan bersama dengan Pertamina, induk PGEO) dan PLN sehingga operasionalnya dilakukan melalui skema kerjasama.
Di lain sisi, Senior Analyst Riset Kiwoom Sekuritas Sukarno Alatas menyebut, bila Danantara benar-benar akan masuk ke PGEO, maka anak usaha Pertamina ini akan mendapatkan tiga keuntungan. Pertama memperoleh pendanaan yang cepat untuk melakukan ekspansi proyek-proyeknya.
Kemudian, bila pendanaan tersebut benar tercurahkan kepada PGEO, maka perseroan dapat mempercepat penyelesaian proyek-proyek yang tengah digarapnya. Khususnya pengembangan kapasitas panas bumi baru.
“Dan dukungan kebijakan dan kepastian regulasi karena Danantara berperan sebagai perpanjangan tangan pemerintah dalam berinvestasi,” kata dia.
Menakar Potensi PGEO Lewat Ekspansi Teranyar
Di tengah berbagai sentimen positif, PGEO baru saja merampungkan salah satu proyek terbarunya, yakni Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Lumut Balai Unit 2 berkapasitas 55 megawatt (MW) di Sumatera Selatan. Merujuk keterbukaan informasi yang disampaikan perseroan kepada BEI, manajemen PGEO menyebut, pembangkit ini kini telah resmi beroperasi dan menyalurkan listrik ke jaringan nasional, setelah dinyatakan layak operasi melalui penerbitan Surat Layak Operasi (SLO) pada 29 Juni 2025.
Dengan beroperasinya PLTP Lumut Balai Unit 2, PGEO kini mengelola kapasitas terpasang sebesar 727,5 MW dari enam wilayah operasi. Direktur Utama PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE) Julfi Hadi berharap proses integrasi dan sinkronisasi proyek dengan jaringan kelistrikan nasional ini dapat berjalan dengan lancar serta memberikan kontribusi positif terhadap bauran energi nasional dari sumber energi baru terbarukan, khususnya dari panas bumi.
Dia juga menyampaikan, aksi ini semakin mendekatkan langkah PGEO menuju target kapasitas terpasang yang dikelola mandiri sebesar 1 gigawatt (GW) pada 2-3 tahun mendatang. PGEO juga menargetkan dapat berkontribusi mencapai target perluasan kapasitas pembangkit EBT hingga 76% dalam periode 2025-2034.
“Ke depannya, kami optimistis untuk terus mendukung percepatan target peningkatan kapasitas panas bumi nasional sebesar 5,2 GW pada periode tersebut,” kata Julfi dalam keterbukaan informasi BEI, dikutip Jumat (18/7)..
Selain PLTP Lumut Balai Unit 2, PGEO juga tengah mengembangkan beberapa proyek strategis lainnya seperti PLTP Hululais Unit 1 dan 2 (110 MW), serta sejumlah proyek cogeneration berkapasitas total 230 MW.
Pada 26 Juni, PGE turut meresmikan eksplorasi (green field) PLTP Gunung Tiga yang terletak di Lampung dengan potensi kapasitas sebesar 55 MW. PGEO juga berencana menjalankan dua bisnis baru yaitu jasa pengujian laboratorium dan usaha komersialisasi alat ukur fluida dua fasa.
Kedua lini usaha ini mengacu pada anggaran dasar dan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) 2020. manajemen PGEO mengatakan perluasan lini bisnis ini untuk meningkatkan keuntungan dan kinerja keuangan perusahaan serta meningkatkan peran panas bumi dalam menunjang kebutuhan energi nasional.
Perseroan melalui konsultan PT Karya Persada Panas Bumi (KPP) telah menunjuk Kantor Jasa Penilai Publik Ruky, Safrudin & Rekan (RSR) untuk mempersiapkan studi kelayakan bisnis.
Berdasarkan analisis keuangan yang telah dilakukan RSR, kegiatan usaha ini dinilai layak secara finansial untuk dijalankan. Bisnis jasa uji laboratorium diproyeksikan mulai mencatatkan penjualan pada tahun 2026.
Pada tahun berikutnya, yakni 2027, penjualan diperkirakan tumbuh signifikan sebesar 141,50%. Mereka juga memproyeksikan pertumbuhan 7,72% untuk periode 2027–2034. RSR juga memproyeksikan laba setelah pajak pada tahun 2027 sebesar 130,59%.
Sementara itu, marjin laba setelah pajak diperkirakan tetap stabil dengan rata-rata 7,58% dari tahun 2026 hingga 2034. Dalam analisisnya, RSR mengatakan investasi awal sebesar Rp 155,8 juta dapat diproyeksikan kembali dalam waktu 3 tahun 12 bulan.