Menakar Efek Bea Keluar ke Emiten Tambang: BRMS, ADRO hingga MDKA, Mana Menarik?


Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan memberlakukan kebijakan pungutan bea keluar untuk komoditas batu bara dan emas secara fleksibel. Kebijakan ini akan diterapkan saat harga komoditas sedang tinggi dan akan dihentikan jika harga pasar tidak stabil.
“Artinya kalau harga lagi bagus, boleh kan berbagi pendapatan dengan negara Tapi kalau harganya belum ekonomis, kami tidak menyusahkan pengusaha,” kata Bahlil Lahadalia, Menteri ESDM saat ditemui di DPR, Senin (14/7).
Menanggapi rencana penerapan bea keluar secara fleksibel, tim riset Kiwoom Sekuritas menilai kebijakan tersebut berpotensi menurunkan daya saing komoditas Indonesia di pasar ekspor global. Mereka menyebut saat harga komoditas tinggi dan bea keluar diberlakukan, biaya ekspor otomatis meningkat.
Menurut Kiwoom pungutan tambahan dapat membuat harga jual menjadi kurang kompetitif dibandingkan negara pengekspor lain seperti Australia, China, Afrika Selatan, Rusia, dan Kanada. Selain itu, risiko peralihan pembeli ke negara lain juga meningkat, terutama dari pasar-pasar yang sangat sensitif terhadap harga, seperti India, China, dan sejumlah negara berkembang.
Kemudian saat harga komoditas berada di level rendah dan bea keluar tidak diberlakukan, Kiwoom Sekuritas menilai dampaknya cenderung netral hingga positif dan bisa bersaing secara harga.
“Namun saat harga global rendah, permintaan pun cenderung melemah,” tulis tim riset Kiwoom Sekuritas dalam risetnya, Selasa (15/7).
Kiwoom dalam risetnya menjelaskan, daya saing global terancam saat harga sedang tinggi justru ketika seharusnya margin ekspor optimal. Hal ini dapat menekan volume ekspor dan mengurangi pangsa pasar Indonesia secara global.
Saat ini, kondisi batu bara global tengah oversupply, lantaran masyarakat dunia juga makin intensif ke arah green energy. Batu bara Indonesia yang kebanyakan low-calorie semakin kehilangan pasarnya.
Peralihan pasar misalnya terlihat dari kebijakan Cina dan India yang memutuskan untuk mengurangi impor batu bara Indonesia dan beralih ke batu bara berkadar energi tinggi dari Australia, Mongolia, Af-Sel dan Tanzania demi menyeimbangkan permintaan dan kesadaran untuk menjaga emisi.
Dampak Bea Keluar ke Emiten Eksportir Emas dan Batu bara
Kiwoon dalam riset terbaru menjelaskan, penerapan bea keluar saat harga tinggi justru bisa melemahkan daya saing ekspor Indonesia, padahal margin seharusnya maksimal. Kondisi pasar global yang oversupply serta pergeseran ke energi hijau membuat batu bara Indonesia, yang umumnya low-calorie, semakin tersisih.
Penerapan bea keluar dinilai berdampak netral hingga negatif, tergantung pada profil bisnis dan pasar tujuan masing-masing emiten. Bagi emiten dengan fokus ekspor murni seperti PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG), PT Alamtri Resources Indonesia Tbk (ADRO), PT Dian Swastatika Sentosa Tbk (DSSA), serta PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA), kebijakan ini berpotensi memberikan sentimen negatif.
Menurut tim analis Kiwoom Sekuritas, porsi ekspor yang mencapai 70–100% dari total penjualan membuat mereka rentan terhadap beban margin tambahan saat harga tinggi akibat pungutan bea keluar. Selain itu, daya saing di pasar global bisa tertekan, yang pada akhirnya berisiko menurunkan volume ekspor dan laba bersih perusahaan.
Dampak Bea Keluar ke Emiten yang Terhubung dengan Hilirisasi
Sementara itu, emiten yang fokusnya pada penjualan domestik atau telah melakukan hilirisasi cenderung lebih terlindungi dari dampak bea keluar. Ia mencontohkan PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS) menjual seluruh produksinya ke smelter domestik milik sendiri, sehingga dampak kebijakan tersebut sangat minim.
Sedangkan PT Bukit Asam Tbk (PTBA), meskipun masih melakukan ekspor, memiliki porsi penjualan domestik (DMO) sebesar 53% pada 2024 dan sisanya 47% untuk ekspor. Ketika harga komoditas tinggi, ekspor PTBA tetap terdampak pungutan.
"Namun ketika harga rendah, pengaruhnya netral karena bea dibebaskan,” tulis tim riset Kiwoom Sekuritas.
Lebih jauh, kebijakan bea keluar ini pada dasarnya ditujukan untuk memaksimalkan penerimaan negara, bukan untuk mendongkrak keuntungan korporasi. Alhasil, meski berpotensi positif bagi APBN, pasar saham justru cenderung merespons dengan hati-hati, terutama terhadap saham-saham eksportir saat harga komoditas berada di level tinggi.
Dari sisi investor, Kiwoom Sekuritas menyebut kebijakan ini menambah elemen risiko baru. Mekanisme yang bersifat fleksibel dinilai sulit diprediksi, sehingga menambah ketidakpastian regulasi dan meningkatkan volatilitas valuasi saham.
Kiwoon menulis, kebijakan bea keluar dapat mendorong investor untuk menyematkan "regulatory risk premium" pada emiten berbasis ekspor yang rentan terkena dampak pungutan bea keluar.
“Apalagi jika dasar pengenaan dan waktu pemberlakuan tidak konsisten,” ucap tim analis dalam riset Kiwoom.