Jepang akan Tawarkan Insentif untuk Pengembangan PLTB Lepas Pantai


Jepang kemungkinan besar akan menawarkan insentif bagi para pengembang untuk membangun sektor pembangkit listrik tenaga angin lepas pantai yang masif. Jepang ingin mengembalikan ambisi energinya ke jalur yang benar di tengah-tengah kemerosotan proyek-proyek di seluruh dunia yang dilanda lonjakan biaya dan penundaan.
Pemerintah Jepang menargetkan untuk memiliki 45 gigawatt (GW) kapasitas angin lepas pantai pada tahun 2040. Proyek ini sangat penting untuk mengurangi ketergantungan Jepang pada batu bara dan gas impor untuk pembangkit listrik, mengurangi emisi karbon, dan meningkatkan keamanan nasional.
Namun, rencana tersebut terhenti setelah tiga putaran lelang besar untuk mengembangkan kapasitas. Februari lalu, Mitsubishi yang menjadi pemenang lelang pertama pemerintah pada tahun 2021, memperingatkan lonjakan biaya telah memaksanya untuk meninjau kembali rencananya. Perusahaan ini belum memulai pembangunan proyek apa pun.
Peringatan Mitsubishi, muncul bersamaan dengan kerugian lebih dari US$ 300 juta (Rp 4,87 triliun) dalam proyek pembangkit listrik tenaga angin lepas pantai. Mitsubishi mengikuti keputusan Orsted dari Denmark yang menarik diri dari Jepang tahun lalu dalam restrukturisasi global.
Shell juga baru-baru ini memangkas timnya yang berfokus pada pembangkit listrik tenaga angin lepas pantai Jepang. Tigas sumber Reuters di industri mengatakan pemangkasan ini seiring dengan pengurangan operasi rendah karbon.
Shell menolak berkomentar mengenai operasi angin lepas pantai. Mereka mengatakan masih terus mengevaluasi peluang untuk mengoptimalkan portofolio globalnya.
Jepang mengadakan pembicaraan dengan para pemain industri untuk mengatasi masalah yang melanda energi terbarukan secara global. Beberapa operator global telah membatalkan atau memperkecil proyek-proyek di Eropa, Amerika Serikat, dan Asia.
Mereka mendesak pemerintah Jepang mengambil langkah-langkah untuk mengurangi risiko dan membantu memangkas biaya proyek-proyek mereka.
"Ini adalah industri yang sangat baru di Jepang dan ada proses pembelajaran yang sangat besar yang terjadi di semua pihak. Kuncinya adalah penerimaan pemerintah untuk bekerja sama dengan industri," kata Yuriy Humber, CEO K.K. Yuri Group, sebuah perusahaan riset dan konsultasi yang berbasis di Tokyo, seperti dikutip Reuters, Senin (26/5).
Di antara perubahan-perubahan yang mungkin terjadi, pemerintah Jepang mempertimbangkan untuk memperpanjang durasi proyek menjadi 40 tahun dari 30 tahun saat ini. Pemerintah juga akan mengklarifikasi hukum cabotage untuk memungkinkan kapal-kapal berbendera non-Jepang beroperasi di area ladang angin lepas pantai.
Para pemain industri juga mendorong lelang kapasitas yang memungkinkan pembeli utilitas dan industri untuk mengunci daya di bawah kontrak multi-tahun, bukan kontrak tahunan. Selain itu, industri angin lepas pantai ingin agar pemerintah memberikan keringanan pajak atau subsidi kepada para pengguna industri besar sebagai imbalan atas penandatanganan kesepakatan pembelian tenaga angin jangka panjang.
Sumber-sumber Reuters mengatakan, permintaan itu mungkin akan sulit terwujud mengingat dukungan pemerintah yang sudah tinggi kepada rumah tangga yang menghadapi kenaikan harga.
Reuters berbicara dengan enam sumber industri yang terlibat dalam diskusi antara para pemain angin lepas pantai dan kementerian industri Jepang, atau METI, dan kementerian pertanahan. Mereka semua berbicara dengan syarat tidak disebutkan namanya karena pembicaraan tersebut bersifat rahasia.
Lobi bisnis terbesar di Jepang, Keidanren, yang anggotanya terdiri dari para pengguna listrik besar, tidak segera dapat dimintai komentarnya mengenai dukungan pajak tersebut.
Pemerintah juga mempertimbangkan untuk mengganti sistem tarif bagi mereka yang memenangkan putaran lelang besar pertama dari "feed in tariff" menjadi "feed in premium" (FIP).
"Hal ini memungkinkan pengembang tenaga angin lepas pantai untuk mendapatkan keuntungan dari harga pasar," kata sumber Reuters dan dokumen pemerintah. Aturan tersebut sudah berlaku untuk lelang kedua dan seterusnya.
Seorang pejabat METI yang bertanggung jawab atas sektor angin lepas pantai mengatakan usulan peralihan ke FIP dari FIT ini merupakan klarifikasi aturan dan bukan revisi. Namun, pejabat tersebut tidak berkomentar lebih lanjut mengenai potensi perubahan aturan.
Permulaan yang Belum Merata
Sejauh ini, Jepang telah melelang sekitar sepersepuluh dari kapasitas angin lepas pantai yang ditargetkannya. Meskipun terlambat masuk ke angin lepas pantai, Tokyo memikat banyak pemain asing yang tertarik dengan ambisinya untuk meningkatkan swasembada energi negara tersebut.
Pada putaran pertama, Mitsubishi memimpin konsorsium domestik dalam memenangkan hak untuk membangun tiga ladang angin lepas pantai. Putaran berikutnya dimenangkan oleh operator lokal dan asing termasuk RWE Jerman, Iberdrola Spanyol, dan BP.
Sumber-sumber industri mengatakan Mitsubishi telah menghadapi penundaan setidaknya beberapa tahun dalam peluncuran ladang minyak dari rencana semula untuk mulai beroperasi antara tahun 2028 dan 2030.
Perusahaan mengatakan mereka memantau dengan seksama diskusi dengan METI mengenai kemungkinan perubahan peraturan dan sedang meninjau rencana bisnisnya dengan mempertimbangkan arah diskusi atau revisi tersebut.
Pemerintah Jepang mengakui peluncuran energi terbarukan dan solusi rendah karbon lainnya mungkin tidak mencapai target. Pada Februari lalu, METI mengatakan Jepang mungkin perlu meningkatkan impor gas alam cair lebih dari 10% menjadi sekitar 74 juta metrik ton pada tahun 2040, membalikkan tren penurunan karena pusat data dan industri semikonduktor mendorong permintaan listrik.
Meskipun tidak memenangkan satu pun lokasi di putaran awal angin lepas pantai, beberapa operator asing termasuk Equinor dan Total telah mempertahankan kehadiran mereka di Jepang. Kedua perusahaan tersebut tidak membalas permintaan komentar dari Reuters.
“Mereka yang ingin masuk nanti ketika segala sesuatunya lebih mudah mungkin harus membayar premi untuk melakukan itu,” kata Humber.