Pemerintah segera Susun Aturan Pelaksana UU Konservasi Hayati dan Ekosistem

Ajeng Dwita Ayuningtyas
24 Juli 2025, 20:32
konservasi, biodiversitas, ekosistem
ANTARA FOTO/Budi Candra Setya/tom.
Petugas Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) bersama wisatwan memeriksa kamera trap di dalam kawasan Taman Nasional Baluran, Situbondo, Jawa Timur, Rabu (26/2/2025).
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Pemerintah segera menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksana perundang-undangan konservasi hayati yang sebelumnya ditolak uji formilnya oleh Mahkamah Konstitusi (MK). 

Pada 17 Juli lalu, MK menyatakan menolak seluruh permohonan pemohon dalam uji formil Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya. 

Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Kehutanan, Satyawan Pudyatmoko, menyebut keputusan tersebut membuka jalan pemerintah untuk menyusun aturan turunan berupa Peraturan Pemerintah (PP). Aturan turunan ini ditargetkan rampung dalam setahun ke depan.

Satyawan menambahkan, revisi atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 yang usianya sudah 34 tahun, merupakan bentuk penguatan dan bukan perubahan terhadap pengelolaan konservasi di Indonesia.

"Ini adalah penguatan yang kita lakukan terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990," ujar Satyawan, dalam keterangan tertulis, Rabu (23/7).

Beberapa penguatan itu dilakukan dalam rangka menghadapi semakin kompleksnya permasalahan konservasi di Indonesia. Penguatan tersebut mencakup konvensi-konvensi internasional, pembagian peran pemerintah daerah dan masyarakat, penegakan hukum terutama mengenai sanksi pidana yang terlalu ringan dan pendanaan-pendanaan konservasi.

"Memang ada beberapa penguatan yang ingin kita masukkan dalam rangka untuk menghadapi semakin kompleksnya permasalahan konservasi di Indonesia," ujarnya.

MK Tolak Uji Formil UU 32 Tahun 2024

Uji formil Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 diajukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) (Pemohon I), Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) (Pemohon II), Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) (pemohon III), dan Mikael Ane (Pemohon IV).

Amar putusan MK menyatakan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya, dengan beberapa pertimbangan hukum sebagai berikut:

  1. Proses pembentukan UU KSDAHE telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, melalui rangkaian rapat yang partisipatif, termasuk Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dan konsultasi publik yang melibatkan akademisi, praktisi, lembaga swadaya masyarakat (LSM), pelaku usaha, dan instansi pemerintah. Beberapa lembaga yang diundang dalam RDPU antara lain Yayasan Konservasi Alam Nusantara, POKJA Konservasi, WGII, ISKINDO, serta perwakilan Masyarakat Hukum Adat dari Bali.
  2. Dokumen terkait proses legislasi yang sebelumnya didalilkan tidak dapat diakses, dinilai telah tersedia dan dapat diakses secara terbuka melalui situs resmi DPR RI, khususnya pada bagian Prolegnas Periodik.
  3. Partisipasi publik yang tidak serta-merta harus diadopsi seluruhnya oleh pembentuk undang-undang. MK menegaskan bahwa Presiden selaku pembentuk undang-undang memiliki kewenangan untuk menyusun DIM dengan mempertimbangkan berbagai aspek materi muatan UU.
  4. UU 32/2024 telah memenuhi asas kejelasan tujuan dan disusun secara proporsional. Tujuan undang-undang ini, antara lain, adalah untuk meningkatkan konservasi sumber daya alam hayati serta memberikan ruang bagi peran serta masyarakat hukum adat, yang sebelumnya tidak diatur secara eksplisit dalam UU 5/1990.

Menanggapi kekhawatiran pemohon soal rumusan norma yang tidak jelas dan membuka ruang interpretasi, MK menyampaikan hal tersebut bukan ranah pengujian formil, melainkan pengujian materiil. 

Meskipun demikian, terkait substansi masyarakat hukum adat, hakim menyatakan bahwa pengakuan terhadap masyarakat hukum adat telah tercantum secara eksplisit dalam Pasal 37 ayat (3) dan (4) UU 32/2024, termasuk dalam bagian Penjelasan Umum undang-undang tersebut.

Penggunaan istilah 'masyarakat' dalam UU 32/2024 mencakup pula 'masyarakat hukum adat', yang pengaturan secara lebih rinci akan diatur dalam RUU Masyarakat Hukum Adat yang telah masuk dalam Prolegnas Prioritas.

"Proses persidangan Mahkamah Konstitusi ini akan menjadi pembelajaran bagi Pemerintah, khususnya bagi Kementerian Kehutanan dalam menyusun Peraturan Perundang-undangan ke depan, seperti yang saat ini sedang berproses yaitu Revisi UU Nomor 41 Tahun 1999," ujar Satyawan.

Poin pembelajaran tersebut adalah adanya dissenting opinion (pendapat berbeda) yang disampaikan Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Saldi Isra. Keduanya menilai memang terdapat fakta proses pembahasan UU 32/2024 dilakukan secara tertutup tanpa disertai alasan valid yang berdampak pada pengabaian asas keterbukaan dan keterlibatan publik dalam mewujudkan prinsip meaningful participation.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Ajeng Dwita Ayuningtyas

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...