The Global Environment Facility Targetkan Konservasi Satwa Langka Afrika


Dana iklim multilateral tertua di dunia, The Global Environment Facility (GEF), merencanakan penerbitan obligasi konservasi satwa liar untuk negara-negara Afrika. Ini merupakan upaya GEF membantu negara-negara tersebut menyelamatkan spesies dan ekosistem yang terancam punah.
Obligasi satwa liar pertama kali dirintis pada 2022. Bersama World Bank atau Bank Dunia, pendanaan ini dimulai dengan obligasi badak. Obligasi GEF menyediakan pendanaan berbiaya rendah sebagai imbalan untuk mengurangi perburuan liar atau tindakan lainnya.
Sejak pertama kali dirilis, sejumlah proyek pendanaan telah dilakukan. Beberapa proyek sebelumnya adalah perlindungan simpanse di Rwanda pada tahun 2024 dan konservasi lemur di Madagaskar pada Juni lalu.
Kepala Pemrograman GEF, Fred Boltz, menyatakan bahwa pihaknya bertujuan untuk melakukan satu program untuk setiap 54 negara di Afrika, bersama dengan Bank Dunia. Hal tersebut disampaikan Boltz kepada Reuters disela-sela pertemuannya dengan Menteri Lingkungan Hidup Afrika.
Ia mengatakan langkah tersebut akan membutuhkan investasi sebesar US$ 150 juta atau sekitar Rp 2,4 triliun (kurs Rp 16.330/us$) dari GEF. Jumlah ini kemudian akan ditingkatkan sepuluh kali lipat untuk menyediakan total US$ 1,5 miliar (Rp 24,5 triliun) untuk upaya konservasi melalui pinjaman lainnya.
Menurut ahli keuangan iklim, uang yang dipinjam menggunakan obligasi satwa liar biasanya tidak masuk ke pembukuan pemerintah penerima manfaat. Pembiayaan seperti ini yang sangat dibutuhkan bagi negara-negara miskin.
Pengelola pendanaan biasanya menargetkan spesies yang bersifat simbolis agar dapat menarik minat investor spesialis dan dermawan kaya. Pembayaran mereka terkait langsung dengan konservasi, semakin baik hasilnya, semakin sedikit pemerintah biasanya diharuskan membayar.
Harapan Boltz, GEF dapat memperluas jangkauan untuk mencakup seluruh ekosistem, termasuk lahan basah.
Upaya Konservasi oleh GEF
Dorongan oleh dana tersebut dibentuk setelah KTT Bumi Rio yang bersejarah pada tahun 1992. Program ini muncul ketika pemotongan dana bantuan dan pembangunan oleh Amerika Serikat dan negara-negara ekonomi besar lainnya mengancam beberapa proyek konservasi.
"Banyak negara bertanya, bahkan menyarankan, bahwa dalam lingkungan bantuan pembangunan resmi yang sulit ini, mempertahankan tingkat pengisian terakhir mungkin sulit. Kita mungkin perlu mencoba berbuat lebih banyak dengan sumber daya yang lebih sedikit," kata Boltz.
GEF secara total telah menginvestasikan US$ 7,7 miliar (Rp 125,7 triliun) di Afrika dalam berbagai proyek, seperti upaya senilai US$ 85 juta (Rp 1,38 triliun) untuk memerangi penggurunan di wilayah Sahel.
Saat ini ia tengah mendesak para donatur untuk mengisi kembali dananya untuk siklus program empat tahun berikutnya, yang dimulai tahun depan.
Penggalangan dana terakhirnya untuk siklus saat ini berhasil mengumpulkan US$ 5,3 miliar (Rp 86,5 triliun), meningkat lebih dari 30% dibandingkan periode operasi terakhirnya. Padahal, operasi sebelumnya dilakukan di tengah lonjakan dukungan bagi upaya internasional untuk memenuhi target alam dan iklim.
Putaran pendanaan kali ini mendapat uang dari 29 negara, dengan AS sebagai salah satu donor terbesar, menyumbangUS$ 700 juta (Rp 11,4 triliun).