Pemutihan Terumbu Karang Cetak Rekor hingga 84%, Dipicu Pemanasan Suhu Laut


Data terbaru Coral Reef Watch menyatakan pemutihan terumbu karang dunia tercatat telah mencapai 84%, terburuk dari yang pernah tercatat dalam sejarah. Terumbu karang yang sedikitnya berada di 82 negara tersebut telah terpapar panas yang levelnya memicu tingkat pemutihan.
Terumbu karang dikenal sebagai hutan hujan laut karena konsentrasi keanekaragaman hayatinya yang tinggi yang mendukung sekitar sepertiga dari semua spesies laut dan satu miliar orang. Pada 1998, pemutihan terumbu karang mencapai 21%, lalu meningkat pada 2017 menjadi 68%.
Direktur Coral Reef Watch, Derek Manzello mengatakan suhu laut yang sangat tinggi telah menyebar seperti api bawah laut di atas karang di seluruh Samudra Pasifik, Atlantik, dan Hindia, merusak dan membunuh banyak sekali karang. Fakta bahwa begitu banyak kawasan terumbu karang telah terdampak, menunjukkan bahwa pemanasan laut telah mencapai tingkat di mana tidak ada lagi tempat berlindung yang aman. Pasalnya, selama ini terumbu karang dianggap oleh para ilmuwan sebagai tempat berlindung dari meningkatnya panas laut.
“Fakta bahwa begitu banyak kawasan terumbu karang telah terdampak, termasuk yang disebut sebagai tempat perlindungan termal seperti Raja Ampat dan Teluk Eilat, menunjukkan bahwa pemanasan laut telah mencapai tingkat di mana tidak ada lagi tempat berlindung yang aman dari pemutihan karang dan konsekuensinya,” kata Manzello.
Dia mengatakan, banyak daerah telah mengalami pemutihan selama dua tahun berturut-turut, termasuk sistem terumbu karang terbesar di dunia, Great Barrier Reef di Australia. Terumbu karang Ningaloo yang terdaftar sebagai warisan di lepas pantai Australia Barat telah mengalami tingkat stres panas tertinggi yang pernah tercatat.
Para ilmuwan di sisi lain Samudra Hindia telah melaporkan pemutihan dalam beberapa minggu terakhir yang memengaruhi terumbu karang di lepas pantai Madagaskar dan pantai Afrika timur, termasuk taman lahan basah iSimangaliso yang merupakan Warisan Dunia di Afrika Selatan.
Dr Britta Schaffelke, dari Institut Ilmu Kelautan Australia dan koordinator Jaringan Pemantauan Terumbu Karang Global (GCRMN), mengatakan peristiwa itu belum pernah terjadi sebelumnya. "Terumbu karang belum pernah mengalami hal ini sebelumnya," ujarnya.