Test ProPS Ekonomi Sirkular
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Gapmmi) Adhi S Lukman mengatakan ekspor makanan olahan mengalami peningkatan di tengah pandemi virus corona. Peningkatan ekspor makanan olahan adalah tujuan Tiongkok.
"Permintaan pangan olahan meningkat karena mereka ketakutan untuk makan di restoran. Waktu itu, restoran juga banyak yang tutup," kata dia kepada Katadata.co.id, Kamis (30/4).
Adhi menjelaskan peningkatan eskpor ke Tiongkok pada Januari hingga Februari sebesar 10% dan masih terus bertambah sampai saat ini. Ia memperkirakan peningkatan ekspor tersebut dapat menurunkan defisit neraca perdagangan untuk produk pangan olahan hingga 50% pada akhir tahun.
Produk yang diekspor ke Tiongkok meliputi mi, minuman aloe vera, dan produk instan lainnya. Namun, kata Adhi, masih ada persyaratan yang harus diurus lebih lanjut seperti pendaftaran label hingga perizinan.
Pada 2019, Adhi mencatat defisit neraca perdagangan untuk produk pangan olahan Indonesia mencapai US$ 400 juta. Adapun, realisasi impor produk pangan olahan pada 2019 sebesar US$ 850 juta. Sedangkan, realisasi ekspor produk tersebut hanya US$ 450 juta.
(Baca: Daya Beli Masyarakat Terpukul Corona, Penjualan Makanan Olahan Diramal Anjlok 30%)
Ia pun berharap, kebutuhan pangan olahan di dalam negeri juga meningkat seiring dengan penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). "Terlebih lagi, konsumen mengedepankan makanan daripada membeli baju," ujar dia.
Berbanding terbalik dengan volume ekspor, sebelumnya Gapmmi menyatakan potensi penurunan penjualan makanan olahan di dalam negeri sebesar 30%. Penurunan disebabkan menurunnya daya beli masyarakat di tengah pandemi corona.
Wakil Ketua Umum Gapmmi Rachmat Hidayat pada 11 April menyatakan angka potensi penurunan penjualan didapatkan dari survei terhadap anggota Gapmmi di seluruh Indonesia.
Kendati begitu Rachmat menyatakan produksi akan tetap berjalan. Karena produksi makanan tetap diperbolehkan selama masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) oleh pemerintah. Meskipun kegiatan produksi tak menjamin harga barang akan stabil.
(Baca: Kebutuhan Bahan Baku Besar, Harga Makanan Terancam Naik Usai Lebaran)
Ia pun berharap, kebutuhan pangan olahan di dalam negeri juga meningkat seiring dengan penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). "Terlebih lagi, konsumen mengedepankan makanan daripada membeli baju," ujar dia.
Berbanding terbalik dengan volume ekspor, sebelumnya Gapmmi menyatakan potensi penurunan penjualan makanan olahan di dalam negeri sebesar 30%. Penurunan disebabkan menurunnya daya beli masyarakat di tengah pandemi corona.
Wakil Ketua Umum Gapmmi Rachmat Hidayat pada 11 April menyatakan angka potensi penurunan penjualan didapatkan dari survei terhadap anggota Gapmmi di seluruh Indonesia.
Kendati begitu Rachmat menyatakan produksi akan tetap berjalan. Karena produksi makanan tetap diperbolehkan selama masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) oleh pemerintah. Meskipun kegiatan produksi tak menjamin harga barang akan stabil.
Ia pun berharap, kebutuhan pangan olahan di dalam negeri juga meningkat seiring dengan penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). "Terlebih lagi, konsumen mengedepankan makanan daripada membeli baju," ujar dia.
Berbanding terbalik dengan volume ekspor, sebelumnya Gapmmi menyatakan potensi penurunan penjualan makanan olahan di dalam negeri sebesar 30%. Penurunan disebabkan menurunnya daya beli masyarakat di tengah pandemi corona.
Wakil Ketua Umum Gapmmi Rachmat Hidayat pada 11 April menyatakan angka potensi penurunan penjualan didapatkan dari survei terhadap anggota Gapmmi di seluruh Indonesia.
Kendati begitu Rachmat menyatakan produksi akan tetap berjalan. Karena produksi makanan tetap diperbolehkan selama masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) oleh pemerintah. Meskipun kegiatan produksi tak menjamin harga barang akan stabil.