Catatan dari T20 untuk G20:
Kerja Sama Multilateral
Kunci Pemulihan Global
Perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-17 G20 Indonesia semakin mendekati puncak. KTT yang akan diselenggarakan di Bali pada 15-16 November 2022 tersebut merupakan klimaks dari proses dan usaha yang intensif dari seluruh alur kerja G20 (Pertemuan Tingkat Menteri, Kelompok Kerja, dan Engagement Groups) selama setahun Presidensi Indonesia.
Dari berbagai rangkaian G20, salah satunya adalah The Think20 atau T20. Forum tersebut merupakan salah satu Engagement Group yang menjadi tempat bertemunya lembaga think tank dan penelitian. Puncak dari T20 Indonesia Summit 2022 telah diselenggarakan di Nusa Dua Bali pada 5-6 September 2022.
Terdapat empat sidang pleno dan 20 sesi paralel. Tiga tema utamanya adalah arsitektur kesehatan global, transformasi digital, dan transisi energi. Ketiga tema tersebut sejalan dengan pembahasan inti G20 Indonesia.
Lead Co-Chair T20 Indonesia Bambang Brodjonegoro mengatakan peran T20 sangat vital dalam memetakan persoalan yang perlu diselesaikan oleh pemimpin-pemimpin G20.
“Forum ini juga merupakan bank ide yang menghasilkan rekomendasi kebijakan berbasis riset sebagai solusi persoalan yang terjadi saat ini kepada G20,” kata Bambang dalam pidato pembukaannya, Senin (5/9/22).
T20 memiliki keistimewaan karena dapat berkolaborasi tanpa terpengaruh ketegangan politik. Sebab, T20 tidak merepresentasikan negara. Para peneliti dari berbagai negara justru bergabung demi kepentingan bersama.
Bahkan, T20 dianggap memiliki peran strategis untuk mendorong kembali kerja sama di tengah merenggangnya hubungan antarnegara. Indonesia sebagai tuan rumah melihat peluang ini dan memaksimalkan perannya mewakili negara-negara berkembang yang tergabung dalam G20.
“Narasi seputar isu global masih didominasi oleh negara barat yang cenderung lebih kongruen dengan kebijakan dan pandangan negara maju,” ucap Bambang.
Oleh sebab itu, Presidensi Indonesia diharapkan dapat meningkatkan suara negara berkembang di forum G20. Selain itu, kepemimpinan Indonesia di G20 akan menjadi pelopor dari serangkaian konferensi G20 yang dipimpin oleh negara-negara berkembang lainnya seperti India, Brazil, dan Afrika Selatan.
T20 Indonesia melahirkan sejumlah rekomendasi yang berasal dari 764 abstrak ringkasan kebijakan dan 130 ringkasan kebijakan dengan melibatkan lebih dari 200 peneliti di dunia. Rekomendasi kebijakan tersebut dihasilkan oleh sembilan gugus tugas.
Terdapat lima rekomendasi kebijakan yang terangkum dalam “T20 Communique”. Pertama, mendorong pemulihan dan ketahanan global. T20 Indonesia merekomendasikan ekonomi dan kesehatan menjadi dua aspek penting dalam pemulihan. Hal ini meliputi rantai pasok global hingga ketahanan pangan.
Kedua, mempercepat kemajuan menuju Net Zero Emissions (NZE). T20 Indonesia menekankan pentingnya pencegahan perubahan iklim sebagai agenda dalam pembahasan G20. Rekomendasi ini menyorot transisi iklim dan pembangunan yang adil serta berkelanjutan untuk menjadi kunci pemulihan.
Ketiga, mengatur transformasi menuju masyarakat digital. T20 Indonesia mengingatkan para pemimpin dunia bahwa ada sejumlah kelompok masyarakat yang belum bisa merasakan manfaat transformasi digital. Oleh karenanya, perlu ada penyelarasan terkait prinsip transformasi digital global.
Keempat, menjadikan ekonomi lebih inklusif dan berfokus pada masyarakat. T20 Indonesia merekomendasikan reformasi ekosistem pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan agar dunia dapat bertahan di tengah ketidakpastian.
Terakhir, menghidupkan kembali tata kelola global. Adapun strateginya adalah dengan mengedepankan kerja sama multilateral dalam membantu mewujudkan pembangunan hijau, khususnya di negara berkembang.
Inklusivitas, Kunci Ketahanan Pasca Pandemi Covid-19
Pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung hampir tiga tahun ini memperberat berbagai tantangan global. Kemiskinan, ketidaksetaraan, hingga rendahnya kapasitas sumber daya manusia jadi sederet persoalan yang kian terpuruk.
Dalam sesi diskusi T20 Summit 2022 bertajuk “Rethinking Inequality, Human Capital, and Well Being Post-Covid-19 Pandemic”, Selasa (6/9/22), forum T20 menganggap perlunya pendefinisian ulang cara pandang berbagai persoalan yang ada.
Senior Research Fellow SMERU Institute Dr. Asep Suryahadi dalam sesi diskusi tersebut mengusulkan agar kebijakan global diarahkan untuk mengurangi ketimpangan, meningkatkan kapasitas sumber daya manusia, dan memperbaiki kesejahteraan dengan menjadikan ekonomi lebih inklusif dan berpusat pada masyarakat.
Strategi yang dapat dilakukan antara lain dengan membangun sistem perlindungan sosial yang komprehensif, inklusif, dan inovatif. “Masyarakat jadi belajar agar siap menghadapi persoalan lainnya di masa depan,” tutur Asep.
Program Director Global Solutions Initiative Dr. Dennis Gorlich dalam forum yang sama mengkritisi definisi ketidaksetaraan yang terfokus pada pendapatan atau kekayaan saja. Gorlich mengusulkan, elemen selain pendapatan seperti solidaritas antara warga dan kelestarian lingkungan juga diperhitungkan dalam mendefinisikan kesejahteraan.
“Jika solidaritas kuat, maka ketika menghadapi persoalan di masa depan masyarakat akan lebih siap mengelola krisis dan transformasi ekonomi,” tutur Gorlich.
Di bidang pendidikan, menurut CEO Asakreativitas dan Co-chair Task Force 5 T20 Dr. Vivi Alatas, keterampilan yang berorientasi pada pekerjaan harus masuk dalam sistem pendidikan. “Sebab di masa depan, sebagian pekerjaan yang ada sekarang akan hilang, dan akan muncul jenis-jenis pekerjaan baru seperti green jobs Keterampilan baru diperlukan untuk memenuhi kebutuhan lapangan kerja,” ucap Alatas.
Akselerasi pendidikan dan keterampilan itu harus segera direalisasikan. Sebab, penutupan sekolah selama pandemi berdampak besar pada hasil pendidikan dan perkembangan siswa.
Country Lead The Global Partnership for Education Dr. Javier Luque mengatakan, diperkirakan generasi anak-anak usia sekolah saat ini menghadapi kerugian US$ 17 triliun dalam pendapatan seumur hidup. Ini akan meningkatkan risiko pembangunan ekonomi, ketahanan pangan, sampai persoalan iklim untuk generasi mendatang.
Javier merekomendasikan dua tahap akselerasi sistem pendidikan. Dalam jangka pendek, hal yang menjadi prioritas adalah kurikulum, khususnya pada peningkatan kapasitas dan kapabilitas guru. Sementara dalam jangka menengah hingga panjang, yang difokuskan adalah membangun sistem pendidikan yang tangguh dengan meningkatkan penggunaan teknologi informasi.
Pandemi Covid-19 juga merugikan kelompok rentan seperti anak-anak, lansia, fakir miskin, wanita, dan penyandang disabilitas. Sekian juta masyarakat kehilangan pekerjaan dan terlilit hutang. Kondisi tersebut kemudian berdampak pada melonjaknya kemiskinan.
Kepala Kelompok Kerja Kebijakan TNP2K Dr. Elan Satriawan menyatakan pandemi menjadi penanda agar desain sistem perlindungan sosial setiap negara harus komprehensif, inklusif, dan berkelanjutan.
“Ada beberapa hal yang perlu dilakukan pemerintah agar sistem perlindungan ini berkelanjutan,” kata Elan.
Pertama, negara harus mengembangkan basis data penerima yang komprehensif dengan melibatkan berbagai basis sumber data yang berbeda.
Kedua, inklusivitas sosial hanya bisa dicapai melalui perluasan cakupan kelompok rentan seperti lansia, penyandang disabilitas, dan pekerja informal yang berisiko.
Ketiga, perlindungan sosial yang adaptif memerlukan penguatan kelembagaan yang meliputi kapasitas, kemitraan, dan koordinasi lintas kementerian. Pemanfaatan teknologi seperti biometrik juga perlu dijajaki untuk meningkatkan inklusivitas program perlindungan sosial.
Keempat, memperluas rasio pajak negara melalui transisi dari subsidi berbasis komoditas ke subsidi yang ditargetkan untuk rakyat. Salah satu upaya transisi dapat dilakukan dengan pengalihan subsidi bahan bakar minyak ke subsidi yang langsung berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat.
Akselerasi Transisi Energi untuk Mencapai Target NZE
Negara-negara dunia telah telah berkomitmen mencegah pemanasan global. Ditargetkan, dunia akan mencapai net zero (NZE) pada 2050. NZE sendiri merupakan kondisi emisi karbon sepenuhnya akan diserap bumi melalui berbagai kegiatan manusia dan bantuan teknologi, sehingga tidak menimbulkan pemanasan global.
Komitmen NZE mengemuka sejak COP 21 yang kemudian menghasilkan Perjanjian Paris. Perjanjian ini memperkuat upaya pencegahan perubahan iklim melalui pendanaan hijau, kerangka kerja teknologi baru, dan kerangka pembangunan dengan meningkatkan kapasitas.
Setelah Perjanjian Paris, negara-negara dunia kemudian menuangkan komitmennya dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) dan Long Term Strategy for Low Carbon and Climate Reduction pada tahun 2050 (LTS-CCR 2050).
T20 sebagai forum lembaga think tank G20 juga merekomendasikan berbagai strategi untuk mendukung pelaksanaan ekonomi hijau. Rekomendasi tersebut antara lain mengatasi hambatan dalam upaya menuju NZE, memastikan transisi energi berkelanjutan berjalan optimal, dan mengintegrasikan pembangunan ekonomi maupun pengelolaan keanekaragaman hayati dilakukan secara berkelanjutan.
Pada Parallel Session T20 Summit 2022 bertajuk “Global Convergence in Climate Action”, Selasa (6/9/22), Profesor dan Direktur Pusat Keberlanjutan Global di University of Maryland Nathan Hultman mengatakan ada beberapa risiko yang harus dimitigasi untuk mencapai target NZE.
“Caranya dengan mendukung kebijakan yang lebih kuat di bidang kesehatan masyarakat, meningkatkan kualitas hidup dan keadilan, pertumbuhan ekonomi, mengurangi konflik, serta pembiayaan dan model bisnis,” kata Nathan.
Head-New Initiatives at Council on Energy, Environment, and Water Shuva Raha menekankan bahwa pemerataan dan keadilan iklim tidak dapat diabaikan. “Sumber daya negara maju dan berkembang berbeda. Perlu ada kerja sama global,” ujar Shuva.
Pembahasan aksi iklim, juga tidak terlepas dari pendanaan. Penasihat Senior Iklim dan Keuangan WRI Preety Bhandari menyebutkan dana dalam jumlah besar diperlukan untuk pembiayaan transisi iklim. “Kita butuh setidaknya US$ 4,5-5 juta per tahun. Oleh sebab itu mobilitas modal jadi penting,” kata Preety.
Co-chair utama T20 Task Force 3 Kuki Soejahmoen menjelaskan pembiayaan transisi iklim ini bisa diambil dari penetapan harga karbon. Hanya saja persoalannya, negara-negara berkembang masih perlu membangun mekanisme penetapan harga karbon tersebut.
Senada dengan Preety, Vice President for Private Sector Operations and Public Private Partnerships Asian Development Bank Ashok Lavasa dalam sesi pleno kedua T20 Summit 2022 bertajuk “Smoothing Green and Just Energy Transition”, Senin (5/9/22), menyebutkan krisis perubahan iklim mengancam keuangan dunia.
“Jika persoalan krisis iklim tidak segera ditanggulangi, maka dunia akan kehilangan 18 persen GDP nya pada 2050,” ucap Ashok.
Dari banyak faktor, energi merupakan salah satu penghasil emisi tertinggi. Selama ribuan tahun, dunia mengandalkan energi fosil untuk menopang pembangunan. Pasokannya tidak dapat diperbarui, alur prosesnya—yang ditunjukkan dari life cycle analysis—juga menghasilkan emisi yang tinggi. Dengan pertimbangan ini, transisi energi mendesak dilakukan.
Deputy Director/Global Sector Lead for Renewable Energy Global Green Growth Institute Nishant Bhardwaj mengusulkan pengembangan instrumen manajemen risiko dan penghapusan subsidi bahan bakar fosil untuk mendukung pengembangan energi terbarukan, terutama di negara-negara berkembang.
“70 persen persoalan energi ini berasal dari fosil. Subsidi bahan bakar fosil harus dihapus,” tegas Bhardwaj.
Lead Co-Chair T20 Indonesia Bambang Brodjonegoro, Senin (5/9/22) mengatakan, pensiun dini batu bara sebagai pembangkit listrik bisa menjadi strategi mewujudkan transisi energi. “Pensiun dini batu bara akan mempercepat proses energi terbarukan,” kata Bambang.
Bambang dan semua panelis sepakat bahwa transisi energi bersih bukan hal yang mudah. Apalagi bagi negara berkembang karena upaya tersebut membutuhkan proses panjang dan biaya yang besar.
Untuk menjembatani gap pembiayaan transisi energi, Profesor The Australian National University (ANU) Frank Jotzo menggarisbawahi perlunya kerja sama global, terutama dalam investasi dan penelitian serta pengembangan untuk mempercepat transisi energi hijau.
“Transisi energi membutuhkan biaya. Baik energi surya, angin, arus laut, seluruhnya membutuhkan biaya. Penting untuk memastikan riset dan upaya transisi energi yang dikerjakan mendapat pendanaan optimal,” ucap Frank.
Bhardwaj bahkan menyebutkan negara-negara G20 membutuhkan US$ 100 triliun untuk mencapai NZE pada 2050.
Melihat banyaknya dana yang dibutuhkan, kerja sama global disertai kebijakan domestik yang melibatkan sektor swasta menjadi hal penting.
Ashok menyebutkan ada empat hal penting agar akselerasi transisi energi bisa dilakukan. Pertama, meningkatkan pembiayaan untuk transisi energi yang hijau dan adil. Hal itu dapat dilakukan dengan membangun iklim investasi kolaboratif untuk mempercepat transisi dari batu bara ke energi bersih.
Kedua, mendorong partisipasi sektor swasta yang lebih besar melalui skema pembiayaan yang inovatif. Contohnya, pinjaman lunak sebesar US$ 665 juta dan bantuan teknis dari Green Climate Fund, Uni Eropa, Inggris, dan CDP bagi negara-negara di ASEAN.
Ketiga, membangun kapasitas dan pengetahuan untuk mendukung transisi energi yang hijau dan adil. Informasi dan pemahaman mengenai green jobs disebarkan secara berkala untuk meningkatkan awareness di masyarakat.
Serta keempat, memperkuat kerja sama internasional dan kebijakan nasional untuk mendorong mitigasi dan adaptasi iklim. Seperti diberlakukannya pajak karbon serta carbon pricing. “Pasar karbon bisa menjadi pilihan penting,” ucap Vice President Asia Regional Office The Rockefeller Foundation Deepali Khana.
Pemulihan Berkelanjutan Melalui Perbaikan Tata Kelola
Perbaikan tata kelola menjadi solusi yang diusung T20 dalam pemulihan pembangunan. Salah satunya untuk mendorong kesejahteraan dalam masyarakat digital.
Menurut para peneliti, transformasi digital sangat menguntungkan kelangsungan hidup masyarakat. Namun, masih banyak hambatan yang membatasi masyarakat dalam proses digitalisasi.
Para panelis pada sidang pleno ketiga T20 Indonesia Summit 2022 yang bertajuk “Rethinking Social Well-being in Digital Society” pada Selasa (6/9/22) membahas adanya kesenjangan yang merugikan masyarakat dalam transformasi digital.
Beragam faktor sosial seperti minimnya edukasi hingga kemiskinan juga melatarbelakangi munculnya kesenjangan. Sehingga, para panelis meyakini bahwa regulasi yang disepakati bersama dapat menjadikan penggunaan internet lebih inklusif.
Wakil Presiden untuk Asia United Nations Sustainable Development Solutions Network (SDSN) Wing Thye Woo menyebutkan perlu adanya kesetaraan infrastruktur teknologi, akses dan kecepatan internet, kapabilitas atau literasi digital, serta kemampuan Bahasa Inggris untuk mendukung transformasi digital.
“Yang terpenting, jaring pengaman sosial harus dirancang dengan baik karena transformasi digital akan membutuhkan realokasi tenaga kerja yang substansial di seluruh perusahaan,” kata Wing.
Direktur Eksekutif Indonesia Services Dialogue Devi Aryani menekankan bahwa transformasi digital sangat menguntungkan, khususnya bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) serta sektor informal. Sehingga, selain adanya regulasi, kolaborasi antar aktor juga perlu dilakukan.
“Ini membutuhkan kerja sama yang erat antara pemerintah, industri, dan sektor pendidikan dalam prosesnya,” Dewi menuturkan.
Oleh karena itu, T20 Indonesia merekomendasikan sejumlah kebijakan untuk membuat digitalisasi lebih inklusif dan aman bagi masyarakat, tak terkecuali kelompok rentan, perempuan, dan anak-anak. Rekomendasi tersebut terangkum dalam “Governing Transformation to the Digital Society” pada T20 Communique.
Terdapat tiga poin utama di dalamnya. Pertama, mengurangi heterogenitas regulasi di tingkat global dengan strategi memperkuat keamanan siber untuk mendukung infrastruktur digital, harmonisasi tata kelola data, hingga membuat kerangka reformasi struktural dan pemantauan keamanan aktivitas keuangan digital.
Kedua, mendorong kolaborasi lintas sektor untuk pembangunan smart society untuk mewujudkan Sustainability Development Goals (SDGs). Adapun strateginya adalah dengan melahirkan smart city bersama dengan sektor swasta dan berkolaborasi di berbagai sektor strategis seperti agrikultur, kesehatan, dan pendidikan.
Terakhir, mengatasi kesenjangan digital berupa literasi dan infrastruktur digital serta mendukung digitalisasi UMKM. Hal ini dapat dilakukan dengan pemerataan akses dan infrastruktur internet khususnya di negara berkembang, memperkuat keamanan internet untuk anak-anak dan perempuan, dan menyelesaikan persoalan kesenjangan keahlian dan literasi digital bagi UMKM.
Di tengah ketegangan geopolitik global akibat konflik Rusia-Ukraina, T20 Indonesia juga menekankan pentingnya kerja sama dan perbaikan tata kelola multilateralisme.
Dalam pidato utama sidang pleno keempat T20 Indonesia Summit 2022 yang bertajuk “From T20 to the World” pada Selasa (6/9/22), Direktur Center for Sustainable Development Colombia University Jeffrey Sachs menyebutkan kolaborasi dan kemitraan global menjadi salah satu pilar isu keberlanjutan.
“Sayangnya, kita gagal dalam pilar ini. Padahal, kita memiliki tantangan yang sama dalam konteks kemanusiaan, masalah lintas batas, dan ekonomi global terlepas dari adanya deglobalisasi,” ucapnya.
Hal ini menjadi perhatian utama dalam rekomendasi kebijakan T20 Communique yang bertema “Reviving Global Governance”. Terdapat tiga rekomendasi di dalamnya. Pertama, mengelola risiko geopolitik & menjaga stabilitas global. Itu dapat dilakukan dengan memastikan kerja sama dalam sistem perdagangan multilateral tetap berjalan meskipun terdapat ketegangan politik.
Kedua, dengan mendukung mekanisme dialog antara G20/T20 dan pertemuan multilateral lainnya. Ketiga, menjaga dialog dengan seluruh pihak dan berkomitmen menstabilkan makroekonomi global.
Pada kesempatan yang sama, Lead Co-Chair T20 Indonesia Bambang Brodjonegoro berpendapat bahwa menghidupkan kembali multilateralisme dalam sektor ekonomi dapat menjadi permulaan kerja sama yang sebelumnya tersendat.
“Multilateralisme menjadi lebih berarti karena dunia sebetulnya sudah merasakan dampak positifnya saat melalui pandemi Covid-19,” kata Bambang.
Rekomendasi kedua adalah meninjau ulang tujuan institusi keuangan, khususnya untuk kepentingan barang publik global dan menangani ketidaksetaraan. Terdapat empat strategi di dalamnya yaitu pertama, memberikan pendanaan dan bantuan teknis kepada Bank Pembangunan Multilateral atau Multilateral Development Bank untuk pemulihan ekonomi yang berkelanjutan.
Kedua, menginisiasi pengurangan utang khususnya bagi negara berpendapatan menengah dan rendah. Ketiga, menggunakan pendanaan campuran untuk meringankan beban pemulihan ekonomi. Serta keempat, mengimplementasikan pertukaran informasi untuk isu perpajakan global.
Direktur Jenderal Research and Information System for Developing Countries (RIS) Sachin Chaturvedi pada diskusi yang sama menyoroti empat isu yang dihadapi dalam mereformasi institusi keuangan meliputi pembenahan kerangka kelembagaan, keuangan pembangunan, peninjauan kembali kerangka waktu dan parameter pembangunan, serta distribusi barang publik global khususnya di bidang kesehatan berupa vaksin dan ketahanan pangan.
“Oleh karenanya, kerja sama global sangat dibutuhkan,” ucapnya.
Rekomendasi ketiga berupa mengembangkan institusi internasional yang lebih tepat guna dalam mendukung pemulihan berkelanjutan. Strateginya adalah mereformasi atau membentuk lembaga Bretton Woords yang baru.
Masih pada kesempatan yang sama, Bambang menekankan bahwa perlu ada skema pendanaan pembangunan global yang baru. Ia menyebutkan bahwa kini dunia sudah tidak bisa menggunakan kerangka lama karena makin berkembangnya isu yang yang dihadapi.
“Sistem pendanaan pembangunan saat ini perlu melakukan reorientasi tujuan dan skema terutama untuk negara-negara berkembang agar dapat mengantisipasi potensi masalah global ke depannya,” Bambang menjelaskan.
Menurut Bambang, seluruh negara kini menghadapi transisi energi dan perubahan iklim. Namun, beban negara berkembang akan lebih banyak karena perlu menangani krisis ekonomi dan kemiskinan. Sehingga, ini adalah strategi yang tepat agar seluruh negara dapat pulih dari goncangan secara bersamaan.
Koordinator | Jeany Hartriani |
Editor | Jeany Hartriani |
Penulis Artikel & Databoks | Fitria Nurhayati, Hanna Farah Vania |
Penulis Infografik | Arofatin Maulina Ulfa, Fitria Nurhayati, Hanna Farah Vania, Sahistya Dhanesworo |
Desain Grafis | Muhamad Yana, Very Anggar Kusuma, Aris Luhur Setiawan, Andrey Rahmat Tamatalo, Zulfiq Ardi Nugroho |
Foto | Sekretariat T20 |
Teknologi Informasi | Firman Firdaus, Prita Dyah Prawitasari, Mohammad Afandi, Maulana, Daffa Ridho Alfarisi |