Alasan Elon Musk dan CEO Nvidia Pilih Ilmu Fisika Ketimbang Coding saat Tren AI

Desy Setyowati
28 Juli 2025, 10:51
CEO Nvidia Jensen Huang dan CEO Tesla Elon Musk, ilmu fisika ketimbang coding,
X Elon Musk
CEO Nvidia Jensen Huang dan CEO Tesla Elon Musk
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Elon Musk, CEO Tesla dan CEO Nvidia Jensen Huang memilih belajar ilmu fisika ketimbang membuat kode komputer alias coding di tengah tren AI. Apa alasannya?

Pemilik Tesla dan SpaceX Elon Musk telah lama memperjuangkan ilmu fisika sebagai fondasi dari semua pemecahan masalah yang serius.

“Fisika dan Matematika,” kata Elon Musk menanggapi unggahan CEO Telegram Pavel Durov di X, yang mendesak siswa menguasai matematika, dikutip dari MoneyControl, Sabtu (25/7).

Elon Musk secara konsisten mengatakan bahwa memahami prinsip-prinsip dasar, kebenaran fundamental yang diturunkan dari fisika, adalah kunci untuk membangun inovasi yang terukur.

Dukungan Elon Musk pada ilmu fisika selaras dengan proyek-proyeknya di dunia nyata. Dari roket hingga mobil otonom, tantangan yang ia hadapi menuntut penguasaan fisika yang jauh melampaui logika perangkat lunak alias software.

Begitu juga dengan CEO Nvidia Jensen Huang. Ketika ditanya wartawan mengenai jurusan apa yang akan dia pilih, jika masih berusia 20 tahun saat ini.

“Untuk Jensen Huang yang masih muda, berusia 20 tahun, yang sekarang ini lulus, dia mungkin akan memilih ilmu fisika ketimbang perangkat lunak atau software,” kata CEO Nvidia dalam perjalanan ke Beijing, Cina, dikutip dari The Economic Times, Selasa (22/7).

Jensen Huang sebenarnya lulus kuliah pada usia 20 tahun. Pemilik perusahaan termahal di dunia ini memperoleh gelar sarjana teknik elektro dari Oregon State University pada 1984  dan gelar master dari Stanford University pada 1992, menurut profil LinkedIn.

Ia mendirikan Nvidia bersama rekan engineer, Chris Malachowsky dan Curtis Priem pada April 1993, sambil makan malam di restoran Denny’s di San Jose, California. Kini Nvidia menjadi perusahaan pertama di dunia yang mencapai kapitalisasi pasar US$ 4 triliun.

Jensen Huang pernah menyampaikan, selama satu setengah dekade terakhir, dunia telah bergerak melalui beberapa fase kecerdasan buatan. “AI modern baru benar-benar muncul sekitar 12 hingga 14 tahun yang lalu, ketika AlexNet muncul dan visi komputer mengalami terobosan besar,” ujar CEO Nvidia dalam The Hill & Valley Forum di Washington DC, Amerika Serikat, pada April, dikutip dari CNBC Internasional.

AlexNet adalah model komputer yang diluncurkan selama kompetisi pada 2012 yang menunjukkan kemampuan mesin untuk mengenali gambar menggunakan mesin pembelajaran alias machine learning. Hal ini memicu tren AI modern.

“Gelombang pertama disebut ‘AI Persepsi’,” kata Jensen Huang. Periode kedua yakni AI generatif seperti ChatGPT, yang belajar memahami makna informasi dan menerjemahkannya ke dalam berbagai bahasa, gambar, kode, dan lainnya.

“Kita sekarang berada di era yang disebut ‘AI Penalaran’ di mana kini ada AI yang mampu memahami, menghasilkan, dan memecahkan masalah, serta mengenali kondisi yang belum pernah kita lihat sebelumnya,” ujarnya. AI, dalam bentuknya saat ini, dapat memecahkan masalah menggunakan penalaran.

“AI penalaran memungkinkan kita menghasilkan semacam robot digital. Kami menyebutnya Agen AI,” Huang menambahkan. Agen AI ini pada dasarnya adalah robot tenaga kerja digital yang mampu bernalar.

Saat ini, agen AI menjadi fokus utama banyak perusahaan teknologi, seperti Microsoft dan Salesforce .

Jensen Huang memperkirakan gelombang berikutnya yakni AI fisik. “Gelombang berikutnya mengharuskan kita memahami hal-hal seperti hukum fisika, gesekan, inersia, sebab dan akibat,” kata Jensen Huang.

Kemampuan penalaran fisik, seperti konsep kekekalan objek, atau fakta bahwa objek tetap ada meskipun tidak terlihat, akan menjadi hal penting dalam fase kecerdasan buatan berikutnya, ujarnya.

Penerapan penalaran fisika meliputi memprediksi hasil, seperti di mana bola akan menggelinding, memahami seberapa besar gaya yang dibutuhkan untuk mencengkeram suatu objek tanpa merusaknya, dan menyimpulkan keberadaan pejalan kaki di belakang mobil.

“Dan ketika Anda mengambil AI fisik itu dan kemudian memasukkannya ke dalam objek fisik yang disebut robot, Anda mendapatkan robotika,” Huang menambahkan. “Ini sangat, sangat penting bagi kami sekarang, karena kami sedang membangun pabrik di seluruh Amerika Serikat.”

“Jadi harapannya, dalam 10 tahun ke depan, seiring kita membangun pabrik dan pabrik generasi baru ini, semuanya sangat robotik dan membantu kita mengatasi kekurangan tenaga kerja parah yang terjadi di seluruh dunia,” kata Huang.

Saran dari Jensen Huang dan Elon Musk menandai pergeseran pemikiran yang lebih luas. Meskipun coding tetap menjadi keterampilan penting, para pemimpin ini menganjurkan kembalinya ke akar ilmiah yang mendorong inovasi dunia nyata.

AI fisik dan robotika dipandang sebagai masa depan kolaborasi manusia-mesin, dan keberhasilan di bidang ini tidak terlalu bergantung pada coding, melainkan pada pemahaman tentang cara kerja dunia.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...