Riset: 5G dan AI Akan Sumbang Rp 2.121 Triliun ke Ekonomi Asia Pasifik


Internet 5G diperkirakan menyumbang hingga US$ 130 miliar atau Rp 2.121 triliun (kurs Rp 16.317 per US$) ke ekonomi Asia Pasifik pada 2030, menurut laporan Lee Kuan Yew School of Public Policy atau LKYSPP. Salah satu alasannya, infrastruktur ini mendukung penggunaan AI yang tengah tren.
Kombinasi 5G dan AI dinilai menjadi fondasi penting bagi masa depan konektivitas cerdas di ASEAN, mulai dari smart manufacturing, pertanian presisi hingga mobilitas otonom.
Mengutip studi GSMA 2024, LKYSPP mencatat bahwa keseluruhan ekosistem mobile diprediksi menyumbang US$ 1 triliun atau Rp 16.317 triliun terhadap ekonomi Asia-Pasifik pada akhir dekade ini. Angka ini menunjukkan pertumbuhan 15%, atau lebih tinggi ketimbang rata-rata global 12%.
Laporan itu menyebut 5G sebagai tulang punggung transformasi digital yang akan memungkinkan penerapan teknologi lanjutan seperti blockchain, Internet of Things alias IoT, immersive technologies, dan bahkan quantum computing.
Practice Professor at the Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapore (NUS), Vu Minh Khuong mengatakan 5G bukan sekadar evolusi dari 4G, melainkan infrastruktur strategis yang akan membentuk fondasi bagi era baru transformasi digital berbasis AI.
“Kekuatan penuh dari 5G hanya bisa dicapai bila dikombinasikan dengan AI,” dalam Media Briefing Peluncuran Laporan Lkyspp: Leveraging 5g To Accelerate Ai-Driven, Transformation In Asean secara online, Selasa (22/7).
Target nilai ekonomi itu bisa dicapai jika banyak pihak menyadari pentingnya adopsi 5G untuk memperkuat kesiapan dalam menghadapi era AI, mulai dari kebijakan spektrum hingga pembangunan infrastruktur, berbagai upaya kini dipercepat untuk menyambut revolusi ini.
Menurut laporan tersebut, 5G akan menjadi penggerak utama industri masa depan, seperti pabrik pintar, logistik otomatis, serta layanan kesehatan dan pendidikan berbasis digital.
Selain itu, teknologi seperti Fixed Wireless Access (FWA) memungkinkan akses internet berkecepatan tinggi di wilayah terpencil tanpa kabel fisik, menjadikan 5G sebagai alat untuk pembangunan yang inklusif.
Vu juga mengangkat potensi 5G Non-Terrestrial Networks (NTN), yang menggunakan satelit untuk mendukung konektivitas di wilayah maritim dan pedalaman.
Ia mencontohkan, proyek Pelabuhan Tuas di Singapura menunjukkan bagaimana perencanaan visioner, pendekatan eksperimental, dan dukungan pemerintah (misalnya melalui hibah IMDR alias Innovation and Digitalisation Research berhasil menciptakan pelabuhan otomatis penuh dengan teknologi canggih.
“Operasi komersial dimulai pada tahun 2022, dan pelabuhan tersebut kini menangani 10 juta ton kargo, berkat kemitraan dengan Singtel dan penyedia teknologi global,” katanya.
“Proyek Tuas ini menegaskan pentingnya memiliki visi yang jelas, melakukan eksperimen daripada terburu-buru dalam penerapan, serta membangun ekosistem yang mengintegrasikan AI, IoT, dan 5G,” Vu menambahkan.
Selain menjadi enabler AI, 5G dinilai sebagai landasan utama menuju 6G yang diperkirakan hadir mulai akhir 2020-an. Oleh karena itu, keputusan strategis dan investasi yang diambil hari ini akan sangat menentukan kesiapan daya saing digital ASEAN di masa depan.
“2025 adalah titik balik. Kita memasuki fase 5G Standalone, bukan lagi transisi dari 4G,” kata Vu. “Negara atau perusahaan yang masih berpikir dengan pola lama akan tertinggal.”