Aplikator Disebut Bisa Melanggar HAM Driver Ojol jika Lanjutkan Model Kemitraan


Kementerian Hak Asasi Manusia menilai aplikator seperti Gojek, Grab, Maxim hingga inDrive bisa melanggar HAM pengemudi taksi online dan ojol, jika melanjutkan model kemitraan.
Direktur Jenderal Pelayanan dan Kepatuhan HAM KemenHAM Munafrizal Manan mengatakan model kemitraan antara pengemudi ojol dan taksi online dengan aplikator yang berlangsung hingga saat ini masih bersifat tidak setara atau imbalance power.
"Kementerian HAM berpendapat, model kemitraan versi sekarang tidak boleh diteruskan atau dipertahankan. Apabila masih diteruskan atau dipertahankan, maka itu menjadi wujud itikad buruk perusahaan aplikator untuk sengaja melanggar HAM terhadap para pengemudi ojol (dan taksi online)," kata Munafrizal di Kantor Kementerian HAM, Jakarta, Selasa (1/7).
Hal itu merupakan kesimpulan KemenHAM dari tindak lanjut penanganan pengaduan HAM atas permasalahan pengemudi ojol. Instansi pada 22 Mei menerima audiensi para driver ojek online yang tergabung dalam Koalisi Ojek Nasional.
Salah satu pokok aduan para pengemudi ojol ialah praktik hubungan kemitraan yang bermasalah. Mereka merasa model kemitraan yang selama ini dijalankan tidak menciptakan kondisi yang saling menguntungkan.
KemenHAM pun menyoroti model kemitraan ojol, karena posisi tawar pihak penyedia aplikasi lebih tinggi dan dominan ketimbang pengemudi. Para driver ojek online seperti dikondisikan untuk menerima skema apa pun yang dibuat secara sepihak oleh penyedia aplikasi.
"Adanya sifat imbalance power antara keduanya menunjukkan hubungan tidak murni berbentuk kemitraan, tetapi justru berbentuk subordinasi. Penyedia aplikasi dalam posisi superior, sedangkan pengemudi ojol inferior," kata Munafrizal.
KemenHAM menegaskan status kemitraan dan pekerjaan pengemudi ojol sebagai ‘bantalan sosial’ tidak boleh dijadikan dalih untuk menghindari kewajiban terhadap hak-hak dasar pengemudi ojol.
Ditegaskan pula bahwa penggunaan istilah ‘mitra’ tidak boleh dijadikan sebagai perisai menghindari kewajiban hukum. KemenHAM mendapati adanya kecenderungan perusahaan aplikator ojol memanfaatkan istilah ini untuk menghindari kewajiban sebagai pemberi kerja.
Kondisi tersebut bertalian dengan fakta bahwa aplikator mengubah tatanan sistem transportasi umum. Aplikator berperan penuh dalam membuat sistem layanan online dari awal hingga akhir, sehingga pemerintah tidak dapat mengintervensi sistem itu.
"Kementerian/lembaga terkait tidak dapat mengakses data digital perusahaan aplikator, karena tidak mempunyai kewenangan, kecuali jika ada laporan yang berhubungan dengan penyalahgunaan data pribadi pengguna aplikasi," ujar Munafrizal.
Menurut KemenHAM, regulasi transportasi online yang ada saat ini memberi celah hukum bagi perusahaan aplikator untuk menempatkan entitas dalam posisi yang lebih dominan dan superior dibandingkan pengemudi ojol.
Oleh karena itu, KemenHAM merekomendasikan kementerian/lembaga terkait untuk memperjelas status perusahaan aplikator sebagai penyelenggara transportasi online yang tunduk pada hukum transportasi umum atau hanya sebagai penyelenggara aplikasi digital yang tunduk pada hukum teknologi digital.
Hal itu dapat dilakukan dengan cara pembaruan dalam pemberian izin usaha.
Selain itu, kementerian/lembaga terkait direkomendasikan untuk menghadirkan regulasi yang lebih kuat dan komprehensif guna mengatur tata kelola transportasi online yang lebih adil dan humanis, salah satunya dengan menerbitkan regulasi yang mengatur pengakuan dan perlindungan pengemudi.
Regulasi lainnya yang dipandang KemenHAM perlu untuk diterbitkan, yaitu pembedaan klasifikasi pengemudi ojol penuh waktu yang berstatus sebagai pekerja dan paruh waktu yang berstatus sebagai mitra dengan hak dan kewajiban yang berbeda.
Di sisi lain, KemenHAM merekomendasikan pihak perusahaan aplikator ojol untuk memastikan adanya penghormatan HAM dalam kegiatan usaha, yang meliputi hak mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak, hak atas perlindungan dari perlakuan diskriminatif, serta hak atas jaminan sosial.