Antisipasi Kasus WeWork, Investor Cermati Siasat ‘Bakar Uang’ Startup
Investor asing dan lokal mulai mencermati strategi ‘bakar uang’ startup, sebelum memutuskan untuk memberikan modal. Hal ini guna mengantisipasi persoalan seperti WeWork yang valuasinya diperkirakan turun dari US$ 47 miliar menjadi US$ 10 miliar, karena terus merugi.
Turunnya valuasi seperti itu merugikan investor. Chief Excecutive Office Mandiri Capital Eddi Danusaputro pun mengatakan, sejatinya investor mendanai startup yang memiliki jalur jelas untuk menuju profit. “Jadi sudah kelihatan kapan mereka bisa untung,” katanya kepada Katadata.co.id di Bali, akhir pekan lalu (15/11).
Menurut dia, perusahaan rintisan harus menunjukkan sinyal bakal meraup untung pada tahun ketiga atau kelima. Karena itu, startup tersebut tidak bisa menerapkan strategi ‘bakar uang’ terus menerus.
Ia mengakui, promosi seperti diskon atau uang kembali (cashback) diterapkan oleh banyak perusahaan yang menyasar konsumen luas. “Karena pra-senstivity di Indonesia itu tinggi,” katanya. Begitu promosi berkurang maka pelanggan beralih.
(Baca: Investasi di Uber dan WeWork Sebabkan Softbank Menderita Kerugian)
Promosi dilakukan untuk menarik konsumen dan meningkatkan daya saing. “Tujuan utama perusahaan ‘bakar uang’ untuk mematikan (bisnis) pesaing,” kata dia. Cara seperti ini tidak sehat.
Hal senada disampaikan oleh CEO Telkomsel Mitra Inovasi (TMI) Andi Kristianto. ”Durasinya (promosinya) lebih pendek, sehingga investor bisa lebih waspada. Kan kami berkaca dari kasus WeWork,” katanya.
Meski begitu, sepengetahuannya ada juga investor yang memberi keleluasan bagi startup—yang disuntik modal—untuk menerapkan strategi ‘bakar uang’ lebih lama. Hal ini sepanjang ada kepastian laba atas investasi (Return on Investment/ROI).
Karena itu, kebanyakan investor menyuntik modal startup yang punya strategi jelas untuk mendapat untung. Bisa juga penanam modal memilih perusahaan rintisan yang menguntungkan induk usahanya.
Dalam hal ini, TMI berinvestasi di startup penyedia layanan tanda tangan digital, PrivyID. “kami mendapatkan value berupa aset (teknologi) mereka yang bisa bermanfaat bagi perusahaan," katanya.
(Baca: Kasus WeWork Sinyal Berakhirnya Startup Rugi yang Gencar 'Bakar Uang')
Sedangkan Vice President Investment BRI Ventures William Gozali mengatakan, setiap investor punya perhitungan waktu ideal bagi startup menerapkan 'bakar uang'. Ia mencontohkan, umumnya durasi pendanaan 10 tahun. Selama itu, investor dan pimpinan startup saling belajar terkait bisnis yang digarap.
"Investor punya perhitungan masing-masing, misalnya, bakar uang sekian jadi startup mengeluarkan dana sekian,” kata dia. Karena itu, ia sepakat menerapkan promosi ssepanjang masuk akal dan pada koridor yang tepat.
Meski begitu, ia mengakui bahwa tren investasi semakin singkat. Hal ini menunjukkan bahwa penanam modal ingin startup segera meraup untung. “Kami tidak ingin produk digital hanya bermain perang harga tetapi juga ingin menunjukkan hasil terbaiknya," katanya.
(Baca: Berkaca dari WeWork, Startup Harus Bisa Jaga Keberlangsungan Bisnis)
Portfolio Manager Salim Group Edmund Carulli menambahkan, persoalan 'bakar uang' berlebihan seperti WeWork sangat merugikan investor. Padahal, penanam modal mencermati kemampuan perusahaan rintisan meraup untung dan tumbuh berkelanjutan.
"Sejak awal, kami tidak percaya dengan startup yang ‘bakar uang’. Kami cari yang bisa menunjukkan pertumbuhan berkelanjutan,” kata dia, Kamis (14/11).
Head of Business Development Astra Digital Suwandi sepakat bahwa startup lokal harus memiliki model bisnis yang jelas, supaya tidak bernasib sama dengan WeWork. “Pada akhirnya harus profit,” kata dia.
Ia menilai, startup yang mampu bertahan lama bisa diukur dari animo pelanggan. Jika penggunaan (usecase) tetap tinggi meski promosi hilang, itu menunjukkan hal positif. “Berarti startup tersebut sudah bisa suistanable," katanya.
(Baca: Fokus Pertumbuhan Bisnis, Kapan Gojek Berhenti ‘Bakar Uang’?)