KPPU Berpotensi Tolak Merger Grab dan Gojek
Startup penyedia layanan on-demand Gojek dan Grab dikabarkan tengah berdiskusi terkait merger usaha. Walaupun kabar itu dibantah Gojek, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menanggapi kemungkinan merger usaha kedua decacorn tersebut.
Perusahaan yang berencana merger atau akuisisi semestinya melaporkan hal itu ke KPPU terlebih dulu. Jika benar Grab dan Gojek melakukan merger usaha, KPPU berpotensi menolak aksi korporasi tersebut.
"Apabila dua pelaku usaha menguasai pangsa pasar yang dominan, tentunya berpotensi ditolak oleh KPPU," kata Komisioner KPPU Guntur Syahputra kepada Katadata.co.id, Rabu (11/3).
Pertimbangan itu mengacu pada pasal 28 Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pelaku usaha dilarang melakukan penggabungan atau peleburan badan usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
Karena itu, KPPU akan menilai ukuran konsentrasi pasar dari kedua perusahaan yang berencana merger atau akuisisi. Penilaiannya berdasarkan Herfindahl-Hirschman Index (HHI). "Tentunya akan dilihat nilai pasca-terjadi merger atau akuisisi," ujar Guntur.
(Baca: Dikabarkan Merger dengan Gojek, Grab Justru Dapat Investasi Rp 11,8 T)
Hal senada disampaikan oleh Ketua Asosiasi Modal Ventura Indonesia (Amvesindo) Jefri R Sirait. Menurut dia, perlu dikaji dampak merger terhadap harga pasar. "Ini hal yang perlu menjadi perhatian stakeholder lain dari sisi dampak,” kata dia kepada Katadata.co.id, beberapa waktu lalu (26/2).
Apalagi, menurutnya Grab dan Gojek merupakan pemain utama di industri berbagi tumpangan (ride hailing). Selain itu, keduanya sama-sama mengembangkan aplikasi super (superapp).
Sebelumnya, para pemegang saham Grab dan Gojek dikabarkan tengah melobi SoftBank untuk mendorong realisasi merger. "Sejumlah pemegang saham berpengaruh jangka panjang di kedua perusahaan ingin membendung kerugian atau menemukan cara untuk keluar dari investasi mereka," kata pemegang saham Grab yang enggan disebutkan namanya, dikutip dari Financial Times, beberapa waktu lalu (8/3).
Kabar pembicaraan terkait merger usaha itu pertama kali dilaporkan oleh The Information. Menurut sumber yang mengetahui pembicaraan itu, kesepakatan ini merupakan langkah baru terkait konsolidasi bisnis pasar pesan-antar makanan dan berbagi tumpangan.
(Baca: Gojek dan Grab Dikabarkan Bakal Merger, Menteri Kominfo: Makin Semarak)
Hal itu bertujuan meminimalkan kerugian antara Grab dan Gojek. "Perusahaan mencoba untuk membendung kerugian yang disebabkan oleh pertarungan mahal untuk merebut pangsa pasar," demikian dikutip dari The Information beberapa waktu lalu (24/2).
Valuasi Grab disebut-sebut mencapai US$ 14 miliar (Rp 194,6 triliun), sementara Gojek US$ 9 miliar (Rp 125,1 triliun). Jika merger itu benar terjadi, maka akan terbentuk startup dengan valuasi yang cukup tinggi.
Manajemen Gojek kemudian membantah kabar tersebut. "Tidak ada rencana merger, dan pemberitaan yang beredar di media terkait hal tersebut tidak akurat," kata Chief Corporate Affairs Gojek Nila Marita kepada Katadata.co.id, beberapa waktu lalu (25/2).
Di tengah kabar merger, Grab justru mendapat pendanaan US$ 850 juta atau sekitar Rp 11,84 triliun, kemarin (25/2). Pendanaan itu diperoleh dari investor Jepang, Mitsubishi UFJ Financial Group Inc dan TIS Inc.
(Baca: Gojek Luruskan Kabar Rencana Merger dengan Grab)
Dana segar itu akan digunakan decacorn asal Singapura untuk menyediakan layanan keuangan yang dapat diakses konsumen di Asia Tenggara. Bank terbesar di Jepang, MUFG akan menginvestasikan US$ 706 juta atau sekitar Rp 9,84 triliun. Sedangkan TIS menanamkan modal US$ 150 juta atau Rp 1,46 triliun.
"Dukungan berkelanjutan dari investor terkemuka dunia menunjukkan kepercayaan mereka pada strategi aplikasi super Grab,” kata Presiden Grab Ming Maa dalam siaran pers, beberapa waktu lalu (25/2).
Upaya merger sebenarnya pernah dilakukan juga oleh Grab dengan Uber pada 2018. Namun, keduanya malah didenda US$ 13 juta atau Rp 187 miliar oleh pengawas persaingan usaha Singapura saat upaya merger dilakukan untuk kuasai pangsa pasar Asia Tenggara.