Kemendag: Proses Gugatan Diskriminasi Sawit ke WTO Butuh 1,5 Tahun

Image title
20 Juni 2019, 07:15
Proses gugatan diskriminasi sawit ke WTO
ANTARA FOTO/Akbar Tado
Ilustrasi, biji buah sawit. Kemendag menyampaikan, proses gugatan terkait diskriminasi sawit oleh Uni Eropa ke Organsasi Perdagangan Dunia (WTO) butuh 1,5 tahun.

Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyampaikan, proses gugatan terkait diskriminasi sawit oleh Uni Eropa (UE) ke Organsasi Perdagangan Dunia (WTO) butuh waktu lama. Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Oke Nurwan memperkirakan, proses gugatan bisa berlangsung hingga 1,5 tahun.

Lamanya proses gugatan karena ada beberapa hal yang harus disiapkan oleh pemerintah Indonesia. "Prosesnya selama 1,5 tahun, dimulai dari mendaftarkan (gugatan) ke WTO," kata dia usai Rapat Koordinasi Dewan Negara Penghasil Kelapa Sawit (CPOPC) di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Rabu (19/6).

Bahkan, ia tidak menutup kemungkinan proses gugatan dapat berlangsung hingga lima tahun. Sebab ada beberapa tahapan yang harus dilalui. Setelah mendaftarkan gugatan ke WTO, Indonesia akan diberi waktu untuk memilih ‘rujuk’ atau tahapan konsultasi. Kemudian, panel akan dibentuk bila tidak ada kesepakatan bersama dengan Uni Eropa. Setelah itu, masih ada tahapan lainnya dalam pengajuan gugatan.

(Baca: Biaya Gugatan Sawit ke WTO Akan Gunakan Dana Pungutan)

Pemerintah pun sudah memilih lima kandidat firma hukum internasional yang akan mewakili Indonesia ke WTO. Namun, Oke belum bisa memastikan jumlah firma hukum yang akan digunakan. Rencananya, Oke yang memimpin rapat penetapan kuasa hukum di Jakarta, pada 20 Juni.

Setelah itu, firma hukum yang terpilih akan menentukan waktu pendaftaran gugatan ke WTO. Proses persiapan gugatan tersebut juga membutuhkan waktu beberapa bulan. Namun, gugatan tersebut bisa diajukan kapan saja.

"Mungkin panjang, setahun, enam bulan atau tiga bulan, tergantung kesiapan kami," katanya. Selama proses tersebut, firma hukum akan menyiapkan materi maupun presentasi untuk dibawa ke WTO.

(Baca: Kemendag Kaji Firma Hukum untuk Bawa Kasus Sawit Uni Eropa ke WTO)

Saat ini, pemerintah masih fokus pada pengajuan gugatan ke WTO. Gugatan yang diajukan ke Mahkamah Eropa (Court of Justice of the European Union/CJEU) masih dipertimbangkan. "Tetapi, pengusaha akan menggugat ke member state," katanya.

Gugatan yang akan diajukan terkait aturan Delegated Act, yang merupakan turunan dari regulasi energi terbarukan II atau Renewable Energy Directive (RED II). Delegated Act mengklasifikasikan minyak kelapa sawit sebagai sumber energi yang tidak berkelanjutan dan termasuk dalam komoditas berisiko tinggi terhadap perusakan hutan (deforestasi) atau indirect land-use change (ILUC).

Pemerintah juga sedang membahas TOR Joint Working Group ASEAN-EU dan bilateral Indonesia-EU. Terakhir, Pemerintah telah membentuk Project Management Office (PMO) yang bertugas mengakomodasi dan merumuskan langkah-langkah yang dilakukan oleh berbagai pihak terkait respons terhadap EU Delegated Act atau RED II.

(Baca: Harga Sawit Turun, Kemenperin Pangkas Target Pertumbuhan Sektor Mamin)

Ke depan, pemerintah menggagendakan Senior Officials Meeting (SOM) CPOPC ke-18 pada 15 Juli dan Ministerial Meeting CPOPC ke-7 pada 16 Juli 2019 di Malaysia. Masa kepengurusan CPOPC periode ini telah berakhir pada 31 Mei 2019.

Pengurus CPOPC periode 2019-2022 yang terpilih adalah Tan Sri Datuk Dr Yusof Bin Basiron sebagai Executive Director dan Mohammad Jaaffar Bin Ahmad sebagai Director of Strategy and Policy. Keduanya berasal dari Malaysia. Pengurus dari Indonesia akan menempati posisi Deputy Executive Director dan Director of Sustainability and Smallholders Development, yang saat ini sedang diseleksi oleh internal.

(Baca: Diskriminasi Sawit, Pemerintah Siapkan Konsultan Hukum untuk Gugat UE)

Reporter: Rizky Alika

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...