Sejarawan Ungkap Titik Lemah Penetapan 17 Oktober Hari Kebudayaan, Apa Dasarnya?


Keputusan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menetapkan 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan Nasional (HKN) mendapat sorotan dari sejarawan dan akademisi. Mereka memberikan catatan terkait pertimbangan Fadli Zon yang merujuk Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 66 Tahun 1951 tentang Lambang Negara sebagai dasar penetapan HKN pada 17 Oktober.
Sejarawan Asvi Warman Adam mengatakan PP yang mengatur lambang negara Indonesia yakni Garuda Pancasila, dengan semboyan ‘Bhinneka Tunggal Ika’ tidak relevan sebagai dasar penentuan hari kebudayaan. Ia menyebut PP tersebut bukan peristiwa yang berkaitan langsung dengan kebudayaan nasional secara umum.
“Apa hubungannya lambang negara dengan kebudayaan? 17 Oktober saya kira bukan hari kebudayaan,” kata Asvi saat dihubungi lewat sambungan telepon pada Selasa (15/7).
Asvi beranggapan penetapan 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan Nasional lebih bersifat politis seiring tanggal tersebut juga merupakan tanggal kelahiran dari Presiden Prabowo Subianto pada 1951 silam. “Jangan-jangan keputusan ini bersifat politis,” kata Asvi.
Pensiunan Profesor Riset Bidang Sejarah Sosial Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) itu juga menganggap penetapan 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan Nasional mengandung konteks sejarah tertentu yang sensitif bagi militer.
Menurut dia, 17 Oktober 1952 atau dikenal sebagai ‘Peristiwa 17 Oktober’ adalah di mana saat tentara yang dipimpin oleh Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Kolonel Abdul Haris Nasution mengerahkan tank dan pasukan ke sekitar Istana untuk menekan Presiden Soekarno agar membubarkan parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS).
“Peristiwa itu kurang nyaman bagi tentara. Jadi tanggal 17 Oktober juga sebagian ada yang menolak,” ujar Asvi.
Dinilai Picu Sentimen Negatif
Pernyataan serupa juga disuarakan oleh Dosen Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Humaidi. Ia pun menilai 17 Oktober cenderung identik dengan peristiwa 1952. “Saat itu ketika KSAD dan tujuh panglima daerah bersama dengan aksi demonstrasi mahasiswa, meminta Soekarno untuk membubarkan DPRS,” ujar Humaidi melalui pesan singkat WhatsApp pada Selasa (15/7).
Pada kesempatan tersebut, Humaidi menyarankan momen alternatif yang dapat dijadikan rujukan sebagai Hari Kebudayaan Nasional. Humaidi menilai tanggal 5-7 Juli bisa menjadi acuan alternatif Hari Kebudayaan Nasional.
Menurutnya, penanggalan tersebut lebih relevan karena saat itu adalah momen Kongres pertama kebudayaan di Surakarta, Jawa Tengah pada 5-7 Juli 1918. Di mana dalam forum tersebut, dipertemukan para intelektual, budayawan, dan tokoh pergerakan dari berbagai latar belakang.
“Meskipun Kongres ini membahas modernisasi kebudayaan Jawa dalam konteks perubahan sosial-politik masa kolonial, tetapi juga menandai kesadaran kolektif akan identitas lokal yang kelak berkontribusi pada pembentukan nasionalisme Indonesia,” ujar Humaidi.
Humaidi menjelaskan bahwa jika alasan menetapkan 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan Nasional karena Garuda Pancasila dianggap simbol kebudayaan, maka sebenarnya hal itu sudah terwakili oleh Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni.
“Di mana tentunya lambang burung garuda menjadi sebuah identitas yang menyatu, karena setiap orang melihat simbol burung garuda, akan terkait dengan Pancasila,” kata Humaidi.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon sebelumnya menetapkan 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan Nasional. Ketetapan tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Kebudayaan Nomor 162/M/2025 tentang Hari Kebudayaan tertanggal 7 Juli.
Fadli Zon menjelaskan, pemilihan 17 Oktober merujuk kepada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 66 Tahun 1951 tentang Lambang Negara yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Sukiman Wirjosandjojo.
PP tersebut menetapkan lambang Negara Indonesia, yaitu Garuda Pancasila, dengan semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" sebagai bagian integral dari identitas bangsa. Fadli Zon mengatakan usulan penetapan 17 Oktober sebagai HKN berawal dari usulan dari kalangan seniman dan budayawan Yogyakarta.
Fadli menyebut kajian penetapan HKN telah berjalan sejak Januari 2025 dan selanjutnya disampaikan ke Kementrian Kebudayaan. Politisi Partai Gerindra itu mengatakan tanggal 17 Oktober memiliki makna yang kuat dalam sejarah Kebudayaan Indonesia.
“Pada 17 Oktober 1951, Presiden Soekarno secara resmi menetapkan Bhineka Tunggal Ika sebagai bagian dari lambang Garuda Pancasila melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 1951,” kata Fadli Zon dalam siaran pers pada Senin (14/7).