SBY Sebut Konflik Global Bisa Jadi Peluang Bagi Negara di Asia Tenggara

Kamila Meilina
26 Juni 2025, 10:35
sby, cina, amerika,
ANTARA FOTO/ Fakhri Hermansyah/foc.
Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyampaikan pidato politiknya di Jatisampurna, Bekasi, Jawa Barat, Rabu (7/2/2024).
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY, Presiden Indonesia keenam, menilai konflik global bisa menjadi peluang bagi negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Ia menyampaikan, kondisi global saat ini dibayangi kompleksitas yang meningkat. Kekuatan besar seperti Amerika Serikat, Cina, Rusia, dan Eropa sedang mendefinisikan ulang peran mereka di panggung dunia, yang mengarah pada peningkatan rivalitas strategis.

“Ketegangan ini menimbulkan risiko, tetapi juga menawarkan peluang. Ketika beberapa industri mempertimbangkan relokasi dari Cina, Asia Tenggara bisa menjadi tujuan utama. Hal ini bukan hanya karena tenaga kerja murah, tetapi juga sebagai pusat inovasi, logistik, dan integrasi kawasan” kata SBY dalam acara Tech In Asia: Asia Economic Summit 2025 pada sesi bertajuk  ‘Uniting for prosperity: A shared vision for Southeast Asia’s economic future’ di Jakarta, Kamis (26/6).

Menurut dia, Indonesia melihat Cina sebagai sumber modal teknologi yang penting. Pada saat yang sama, melihat Amerika dan negara-negara Barat lainnya sebagai sumber modal finansial yang tak tergantikan.

“Oleh karena itu, kami perlu menjaga hubungan dengan keduanya, berdasarkan prinsip saling menghormati, saling percaya, dan saling menguntungkan,” ujar SBY.

SBY mengungkapkan Asia Tenggara menjadi rumah bagi hampir 700 juta orang, dengan nilai ekonomi mencapai US$ 4 triliun. Kelas menengah yang tumbuh dan demografi generasi muda yang banyak, menjadi kekuatan wilayah ini.

“Keragaman kita yang sering menjadi kekuatan, juga dapat menyulitkan koordinasi kebijakan. Contohnya, Produk Domestik Bruto atau PDB per kapita Singapura melampaui US$ 90 ribu, sementara di Laos kurang dari US$ 2.000. Rata-rata regional bahkan kurang dari US$ 5.000,” katanya.

Oleh karena itu, menurut dia negara-negara di Asia Tenggara perlu melakukan tiga hal untuk bisa mengambil peluang di tengah konflik global. Pertama, meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia atau SDM.

“Tanpa pekerja terampil dan pemikir kritis, kita akan tertinggal di era otomasi dan kecerdasan buatan atau AI,” kata dia.

Kedua, memperkuat ketahanan ekonomi. Sebagian besar ekonomi di Asia Tenggara beroperasi dengan rasio pajak terhadap PDB yang rendah yakni hanya 10% hingga 15%. Selain itu, pasokan uang yang terbatas dibandingkan dengan PDB.

“Kita (negara-negara di Asia Tenggara) harus memperluas ruang fiskal dan memperbaiki intermediasi keuangan, terutama bagi usaha kecil dan menengah,” kata SBY.

Terakhir, menceritakan kisah negara masing-masing dengan lebih baik. “Dunia semakin kompleks dengan lanskap yang terfragmentasi. Kita harus menyusun narasi regional yang lebih menarik, yang menonjolkan keterhubungan, dinamisme, dan nilai-nilai. Di era ekonomi digital, kemampuan bercerita adalah strategi penting,” ujar dia.

SBY juga mengungkapkan sektor bisnis yang bisa didorong oleh negara-negara di Asia Tenggara di tengah konflik global. Banyak negara mulai mengembangkan AI, sehingga membutuhkan infrastruktur dan pembangkit listrik ramah lingkungan. Hal ini bisa menjadi peluang.

Sektor kunci seperti kesehatan, pertanian, keanekaragaman hayati, dan manufaktur canggih yang belum sepenuhnya tersentuh oleh teknologi dan AI, juga bisa menjadi peluang.

“Di sinilah, negara-negara Asia Tenggara bisa memperoleh peningkatan produktivitas, daya saing ekonomi, dan relevansi regional. Singkatnya, teknologi bukanlah takdir. Ia adalah alat. Dan kita harus menggunakannya dengan bijak, inklusif, dan berkelanjutan,” kata SBY.

Menurut dia, kerja sama di antara negara-negara Asia Tenggara merupakan keharusan. Kemitraan ini mencakup empat bidang. Pertama, ketahanan pangan dan energi untuk mengurangi kerentanan di dunia yang tidak stabil.

Kedua, infrastruktur dan konektivitas digital untuk meningkatkan integrasi. Ketiga, mobilitas tenaga kerja dan kerangka pendidikan, untuk memastikan pertumbuhan yang inklusif. Terakhir, rantai pasok dan perjanjian dagang agar tetap relevan dalam perdagangan global.

“Kepercayaan antar-pemerintah, sektor publik dan swasta, dan antara negara dengan warganya penting dalam menarik investasi asing jangka panjang. Investor ingin tahu bahwa aturan stabil, sistem adil, dan masyarakat tangguh,” ujar SBY.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Kamila Meilina

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...