PLN Diminta Renegosiasi Kontrak Pembangkit Swasta, Dimulai dari PLTU
Guna menghindari kerugian akibat pandemi virus corona (Covid-19), PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) berencana melakukan renegosiasi kontrak dengan pengembang listrik swasta atau Independent Power Producer (IPP).
Langkah renegosiasi dengan IPP dijalankan PLN karena, penurunan konsumsi listrik di sejumlah wilayah berimbas pada berlebihnya pasokan listrik. Di samping itu, PLN menerapkan kontrak dengan sistem take or pay (TOP).
Sistem TOP sendiri terikat dalam skema power purchase agreement (PPA) antara PLN dengan IPP. Melalui sistem TOP ini, PLN diwajibkan menyerap listrik dari pembangkit IPP dengan minimal yang tertera dalam PPA. Jika PLN membeli di bawah kapasitas tersebut, maka akan terkana denda TOP.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai, renegosiasi kontrak PLN dengan IPP sebaiknya difokuskan pada kontrak dengan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Pasalnya, secara kapasitas jumlah PLTU tergolong besar dan dengan adanya klausul TOP, maka PLN berpotensi dihadapkan dengan penalti yang cukup besar jika tidak dapat mengambil listrik sesuai perjanjian.
(Baca: PLN Tak Mampu Diskon Tarif Listrik Pelanggan Nonsubsidi 900 VA ke Atas)
Selain itu, pertimbangan lainnya adalah PLN berkewajiban memenuhi target Rencana Umum Energi Nasional, yakni 23% bauran energi terbarukan di 2025. Dengan kondisi saat ini, PLN justru mengalami kesulitan memenuhi target tersebut.
"Saya berharap PLN jangan sampai melakukan renegosiasi kontrak dengan pembangkit listrik tenaga bersih, karena ini dapat berpengaruh terhadap kemampuan PLN memenuhi target energi terbarukan," ujar Fabby, kepada Katadata.co.id, Kamis (30/4).
Selain itu, ada cukup banyak PLTU IPP yang sudah lewat masa pembayaran pinjaman dengan kreditornya. Dengan begitu, PLN dapat memprioritaskan renegosiasi tahap awal pada PLTU yang sudah berusia di atas 15 tahun.
Ketua Umum Asosiasi Panasbumi Indonesia (API) Prijandaru Effendi mengatakan, hingga saat ini penyerapan listrik dari PLTP belum terpengaruh adanya pandemi Covid-19 dan konsumsi listrik yang terus menurun. Meski demikian, jika pandemi ini terus berangsur lama dikhawatirkan dapat berdampak pada penyerapan listrik dari PLTP.
Lebih lanjut, ia menjelaskan, PLTP memiliki kontrak jangka panjang yang sudah disepakati bersama antara penjual dan pembeli. Sehingga jika demand listrik menurun, maka dispatcher akan meminta penjual menurunkan supply.
(Baca: Bangun Pembangkit & Transmisi, PLN akan Terbitkan Surat Utang Rp 1,7 T)
"PLN membayar sesuai dengan level take or pay yg sudah disepakati bersama. Ini adalah project financing yg dibiayai hutang jangka panjang, sehingga terms and condition sudah disepakati diawal," kata Prijandaru.
Sebelumnya, Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini mengatakan akan melakukan renegosiasi kontrak dengan IPP. Hal ini dilakukan guna menghindari pembayaran denda kontrak dengan sistem TOP.
"Mitigasi risiko kami lakukan untuk menghindari denda TOP pada pembangkit dan pasokan gas dengan melakukan assessment terhadap penerapan klausul kontraktual yang diajukan maupun yang akan diberlakukan oleh PLN," ujar Zulkifli.
Pasalnya, di tengah pandemi corona telah terjadi penurunan beban di sejumlah wilayah di Indonesia akibat anjloknya konsumsi listrik power utility, yakni dari sisi penjualan kilowatt hour (KWh).
Adapun, penurunan ini lantaran kebijakan dari pemerintah yang memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar PSBB yang membuat konsumsi listrik dari bisnis, industri, perkantoran menurun.
(Baca: PLN Sebut Proyek Listrik 35.000 MW akan Tersendat Imbas Pandemi Corona)