Belajar dari Sukses Korsel Gelar Pemilu Saat Corona Untuk Pilkada 2020
Kementerian Dalam Negeri dan Komisi II DPR sepakat pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2020 dilaksanakan pada 9 Desember. Kesepakatan diambil dalam rapat kerja melalui sambungan jarak jauh antara kedua lembaga, berikut KPU, Bawaslu, dan DKPP pada 14 April.
“Sekaligus memperhatikan kesiapan pelaksanaan tahapan lanjutan pilkada,” kata Ketua Komisi II, Ahmad Doli Kurnia dalam rapat.
Pilkada 2020 semula akan dilaksanakan pada 23 September. Namun pemerintah, DPR dan pelaksana pemilu sepakat menundanya untuk meminimalisasi penyebaran virus corona. Terdapat tiga opsi tanggal pelaksanaan baru yang ditawarkan KPU, yakni 9 Desember 2020, 17 Maret 2021, dan 29 September 2021. Dengan keputusan ini, maka opsi pertama yang diambil.
Di tengah pandemi corona, Indonesia bukan satu-satunya yang mesti menunda pemilu. Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) per 23 April mencatat 51 negara menunda pemilu. 17 negara di antaranya menunda pemilu nasional.
Namun, IDEA juga mencatat 8 negara menyelenggarakan pemilu di tengah corona. Salah satunya Korea Selatan (Korsel) yang menyelenggarakan pemilu DPR pada 15 April. Dengan 10 ribu lebih orang positif covid-19, Korsel justru berhasil mencetak partisipasi pemilu terbaik sejak 1992. Angka partisipasinya sebesar 66% atau meningkat 8,1% dari tahun sebelumnya.
Dalam pemilu itu, dari 35 partai yang menjadi kandidat, Partai Minjoo (Demokrat) sebagai petahana mendapat kursi terbanyak. Salah satu penyebabnya adalah keberhasilan pemerintah menangani covid-19 yang terus menjadi bahan kampanye. Sementara di posisi kedua adalah Partai Bersatu Masa Depan yang menjadi oposisi utama.
Kesuksesan Korsel lakukan pemilu di tengah pandemi tak lepas dari tiga faktor utama: sistem pemilu yang baik, penanganan covid-19 yang sigap, dan kepercayaan masyarakat kepada penyelenggara.
(Baca: Nasib Suksesi Kepala Daerah di Tengah Pandemi)
Sistem Pemilu yang Baik
Pemilu di Korsel terselenggara di bawah National Election Comission (NEC). Mereka membuat peraturan dan teknis pelaksanaan seluruh tahapan pemilu. Salah dua teknis yang berfungsi dalam keadaan darurat adalah pemungutan awal sebelum hari pencoblosan dan pemilihan melalui surat. Keduanya telah diatur sejak jauh hari sebelum masa pandemi.
Pada praktiknya, pemilih bisa mencoblos dua hari sebelum hari H agar tidak terjadi penumpukan orang di tempat pemungutan suara (TPS). Pemilu DPR ini pemilihan awal dilakukan pada 13 April atau dua hari sebelum hari H. Sementara memilih melalui surat adalah dengan mengisi blanko surat suara dari rumah yang kemudian dikirim melalui kotak pos ke alamat otoritas pemilu. Keduanya pun berhasil mencegah penumpukan massa di tengah pandemi corona.
Korsel juga memiliki anggaran pemilu memadai untuk menopang berjalannya sistem. Dalam pemilu kali ini, terlihat dari pembuatan TPS baru di sekitar tempat isolasi pasien covid-19 yang tanpa kendala. Begitupun penyediaan alat pelindung diri (APD) bagi petugas pemilu, hand sanitizer, pengukur suhu tubuh, dan perlengkapan lain yang bisa mencegah corona secara massif. Padahal semuanya membutuhkan biaya mahal.
Hasilnya, seperti diberitakan BBC, para pemilih yang datang ke TPS merasa aman. Pengecekan suhu bisa dilakukan di tiap TPS. Bagi yang memiliki suhu di atas 37,5 derajat celcius akan dipindahkan ke tempat khusus.
(Baca: Empat Negara yang Dinilai Sukses Kendalikan Penyebaran Corona)
Sigap Mencegah Covid-19
Selanjutnya adalah kesigapan mencegah covid-19. Korsel tak menerapkan karantina wilayah atau lockdown untuk mencegah pandemi. Namun, negara gingseng melakukan sejumlah langkah lain yang efektif. Di antaranya, melakukan tes besar-besaran dan pelacakan kontak dari para pasien corona.
Pemerintahan Presiden Moon Jae-In menyediakan tempat pengetesan corona gratis di area publik. Metode ini kemudian diikuti negara lain, termasuk Amerika Serikat. Lalu memanfaatkan rekaman CCTV, transaksi kartu debit dan kredit, dana data komunikasi ponsel, untuk melacak siapa yang harus dites.
Pelacakan seperti itu dinilai efektif seiring penggunaan massif CCTV dan transaksi nontunai di Korsel. Pelacakan pun tetap dilakukan meskipun telah banyak hasil tes keluar, sebab banyak orang menderita gejala ringan corona.
Selain itu, pemerintah Korsel menerapkan sanksi bagi pelanggar masa karantina 14 hari. Denda bagi penduduk asli Korsel dan deportasi bagi warga negara asing.
Seluruh langkah itu berhasil melandaikan jumlah kasus corona di Korsel. Penambahan kasus yang semula mencapai ratusan orang per hari, kini hanya puluhan. Pada 14 April, hanya terdapat 27 kasus baru di Korsel.
(Baca: Pemerintah Ajak Daerah Integrasikan Data Covid-19 Agar Transparan)
Kepercayaan Masyarakat Kepada Penyelenggara
Melalui sistem pemilu yang baik dan kesigapan menangani covid-19, menurut IDEA, telah membuat masyarakat percaya kepada penyelenggara. Mereka yakin pemilu kali ini berjalan dengan lancar dan tak menyebabkan penyebaran baru corona.
Ditambah pula dengan apresiasi dunia atas langkah Korsel menangani pandemi. Menurut IDEA, hal itu membuat situasi politik kian kondusif dan masyarakat semakin bersemangat memilih. Sebab, masyarakat menjadi memiliki kebanggaan untuk menjadi bagian dari kesuksesan pesta demokrasi di negaranya.
Penyelenggara pemilu di Korsel pun transparan selama pemungutan suara. Mereka mengundang stasiun televisi dan media untuk mengadakan siaran langsung dari TPS. Dengan begitu publik bisa tetap menyaksikan proses penghitungan suara dari rumah masing-masing tanpa perlu takut suaranya hilang atau terjadi kecurangan.
(Baca: Ringankan Beban Nasabah, Pegadaian akan Beri Bunga 0%)